Gara, cowok dengan semangat ugal-ugalan, jatuh cinta mati pada Anya. Sayangnya, cintanya bertepuk sebelah tangan. Dengan segala cara konyol, mulai dari memanjat atap hingga menabrak tiang lampu, Gara berusaha mendapatkan hati pujaannya.
Tetapi setiap upayanya selalu berakhir dengan kegagalan yang kocak. Ketika saingan cintanya semakin kuat, Gara pun semakin nekat, bahkan terlibat dalam taruhan konyol.
Bagaimana kekocakan Gara dalam mengejar cinta dan menyingkirkan saingan cintanya? Akankah Gara mendapatkan pujaan hatinya? Saksikan kisah cinta ugal-ugalan yang penuh tawa, kejutan, dan kekonyolan!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6. Gara-gara Tangga
Gara mengangkat alis, “Beda? Yang ada sekarang gue beda dalam arti harfiah. Jalan aja pincang begini. Ntar, kalau Anya lihat gue begini, gue mesti bilang apa?”
Darto nyengir sambil memberi solusi ngawur, “Ya tinggal bilang aja, lu lagi latihan buat jadi stuntman. Siapa tahu Anya kagum.”
Gara hanya bisa menepuk dahinya lagi sambil mengeluh, “Stuntman apaan yang jatuh dari ketinggian dua meter dan langsung nyium jendela? Gue udah keburu bilang ke Anya kalau gue lagi ngetes gravitasi, coba bayangin!”
Darto dan Yoyok langsung terbahak. Yoyok menepuk meja, “Ngetes gravitasi? Itu jawaban paling absurd yang pernah gue denger! Terus Anya bilang apa?”
“Dia cuma bengong, terus pas nyokapnya keluar nanya kenapa gue gelantungan, gue panik dan jawab, ‘Cuma mau bilang hai, Bu!’” Gara mengangkat sebelah tangan, menirukan dirinya saat itu. "Gue kayak maling kepergok lagi bawa-bawa niat baik.”
Yoyok tertawa makin keras sampai hampir tersedak kopi. “Astaga, Gara! Jadi cewek cakep keluar rumah ngeliat lu jatuh, terus nyokapnya keluar, dan lu jawab gitu? Gimana ekspresi mereka?”
Gara melirik ke arah Yoyok dengan tatapan putus asa. “Anya kayak nggak percaya, dan nyokapnya ngeliatin gue kayak gue alien yang lagi studi kasus tentang rumah orang. Dan parahnya lagi, waktu gue masih panik setelah nyokap Anya nanya, tiba-tiba bokapnya Anya keluar juga, dan dia tuh ... ya ampun, dia cuma bisa nahan tawa, bro,” Gara menceritakan dengan ekspresi campuran antara malu dan frustasi.
Yoyok yang mendengar itu makin penasaran, “Hah? Terus bokapnya bilang apa?”
“Dia ngakak, bro! Sambil ketawa dia bilang, ‘Kamu benar-benar ugal-ugalan dalam segala hal, Gar. Lain kali, ketuk pintu saja kalau mau bilang hai. Nggak usah gaya ala Spiderman segala!'” Gara menirukan suara ayah Anya dengan nada yang dalam.
Yoyok dan Darto langsung meledak tertawa, hampir terjungkal dari kursi masing-masing. Yoyok menepuk-nepuk meja, “Wah, gila sih itu! Bokapnya Anya ngerti banget lu, Gar. Spiderman yang gagal ngetes gravitasi.”
Darto sambil tertawa terbahak, menimpali, “Gue rasa dia nggak tahan lagi liat gaya lu yang kelewat ekstrim buat sekedar bilang hai!”
Gara tersenyum kecut, “Gue cuma bisa jawab ‘Iya, Pak,’ sambil ngangguk cepat, terus buru-buru pamit. Gue kabur sebelum mereka sempet tanya lebih lanjut, helm masih di kepala, bro. Gue beneran nggak tahan lagi.”
Yoyok masih tertawa keras. “Udah kayak adegan film komedi aja. Gue kebayang lu kabur bawa motor sambil helm masih dipake, kayak buronan!”
“Ya, buronan yang gagal total,” tambah Darto sambil menggelengkan kepala.
Gara hanya bisa mengelus dada sambil menunduk, “Lain kali gue seriusan bakal lebih normal, deh. *Gue udah kapok* jadi Spiderman gagal.”
Darto menggelengkan kepala sambil menahan tawa. “Udah gila, lu, Gar. Lain kali mending kirim bunga aja, deh. Lebih aman buat lutut dan reputasi.”
“Lutut gue udah kayak rembes oli,” Gara menambahkan sambil memijat kakinya. “Next time, gue seriusan mau jadi biasa aja, cukup bilang ‘hai’ dari jarak yang wajar.”
Yoyok menepuk punggung Gara, “Udah, yang penting Anya liat aksi heroik lu. Next time, kita coba ide lain. Mungkin ... lewatin api unggun sambil berdiri di atas *Si Ugal*?”
Gara langsung nyengir masam. “Gue lewat api unggun? Yang ada gue malah bakar diri.”
Darto dan Yoyok masih terus tertawa sampai perut mereka terasa kaku. Yoyok sesekali menepuk-nepuk bahu Gara sambil terpingkal, “Bro, beneran deh, kalau besok Anya nggak terkesan, gue yang terkesan! Lu tuh bakat jadi komedian, bukan stuntman.”
Gara menghela napas, menahan malu dan sakit di lututnya. “Halah, ketawa aja terus lu, gue udah trauma nih.”
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat ke warung kopi. Mereka bertiga menoleh, dan betapa kagetnya ketika melihat Pak RT berdiri di ambang pintu warung dengan wajah serius.
“Eh, Gara,” sapa Pak RT dengan nada yang terdengar sedikit tegas, “Mana tangga saya yang kamu pinjam kemarin?”
Gara langsung kaku, wajahnya pucat seketika. Dia baru ingat bahwa tangga yang digunakannya untuk manjat atap rumah Anya semalam ... masih ketinggalan di sana!
Yoyok, yang tadinya terbahak-bahak, langsung menutup mulutnya menahan tawa yang hampir meledak lagi. Darto juga mulai menyembunyikan senyumnya dengan menyeruput kopi, meskipun cangkirnya kosong.
“Eh ... tangga, Pak?” Gara mencoba menjawab dengan raut wajah bingung. “Aduh, itu ... anu, Pak ... tangganya ... ketinggalan di rumah Anya.”
Pak RT melipat tangan di dada, menatap Gara dengan tatapan tajam yang penuh tanya. “Maksud kamu, tangga saya ditinggal di rumah cewek?”
Yoyok langsung tak tahan lagi dan terbahak. “Bro, tangga lo ikut naksir Anya kali! Dia nggak mau diajak pulang sama lo!”
Pak RT melirik Yoyok dengan tatapan bingung, lalu balik menatap Gara. “Gara, kamu nggak bercanda, 'kan? Tangga itu penting buat saya, lho. Lagi perlu buat benerin genteng.”
Gara menggaruk-garuk kepala yang masih tertutup helm melonnya, sambil meringis, “Iya, Pak, maaf ... semalam saya buru-buru kabur, jadi lupa bawa tangganya balik.”
Pak RT menghela napas, sedikit frustrasi, tapi tak bisa menahan senyum tipis melihat betapa aneh situasi ini. “Ya sudah, sekarang tangganya masih ada di sana, kan? Kamu mau ambil atau biar saya ambil sendiri?”
Darto, yang sudah tak tahan, langsung berbisik ke Gara, “Gue yakin, tangga lo sekarang udah jadi spot wisata buat orang-orang di sana. Semua tetangga pasti udah pada lihat.”
Yoyok, sambil tertawa terbahak-bahak lagi, menambahkan, “Mungkin tangga itu sekarang jadi temen ngobrol Anya! Lu harus buru-buru kesana sebelum dia kasih nama tangganya.”
Gara hanya bisa mengeluh dalam hati, “Astaga, gara-gara tangga, gue makin malu aja!”
Dengan wajah terpaksa, karena rasa tanggung jawab, Gara pun menjawab, “Tenang, Pak. Saya ambil sekarang juga, sebelum tangganya minta KTP buat jadi warga tetap di rumah Anya!”
***
Gara, yang masih pincang akibat aksi manjat atapnya yang gagal total, berjalan pelan-pelan menuju rumah Anya dengan perasaan campur aduk. Lututnya masih sakit, tapi yang lebih menyiksa adalah malu yang luar biasa. Setiap langkah terasa semakin berat karena di kepalanya hanya terbayang tangga Pak RT yang masih “nongkrong” di rumah Anya.
Di kejauhan, rumah Anya sudah kelihatan, dan benar saja, tangga yang semalam ambruk itu sekarang berdiri tegak di samping jendela setelah dipakai ayah Anya memperbaiki jendela kamar Anya yang rusak oleh Gara, seolah mengejek kegagalan Gara. Dengan langkah tertatih-tatih, Gara mendekat sambil bergumam, “Aduh, malunya ini ... gue nggak siap kalau sampai ada yang lihat.”
Begitu sampai di depan rumah Anya, Gara merasa seperti buronan yang baru saja ketahuan mencuri semangka di kebun tetangga. Dia menatap ke arah jendela, berharap tidak ada yang memerhatikan aksinya kali ini. Tapi malangnya, pintu depan tiba-tiba terbuka, dan siapa yang muncul? Anya, dengan senyum kecil di wajahnya.
Anya mencoba menahan tawa, “Gara? Kamu lagi-lagi mau ngetes gravitasi?”
Gara, yang masih setengah membungkuk karena hendak mengambil tangga, langsung kaget dan hampir terpeleset. “Eh, Anya! Nggak, nggak ... kali ini ... aku cuma mau ambil tangga. Tangga ini, tuh, pinjam dari Pak RT, dan ... ya, ketinggalan semalam.”
Anya tertawa kecil, “Tangga itu kayaknya lebih beruntung daripada kamu. Setidaknya, meski dia jatuh, tapi masih bisa berdiri tegak," kata Anya yang sempat melihat Gara jalan agak pincang.
Gara, yang wajahnya sudah memerah, mencoba berdiri tegak sambil memegangi lututnya yang pincang. “Iya, iya ... tangganya kayaknya lebih jago manjat daripada gue.”
Saat Gara berusaha menurunkan tangga, masalah baru muncul. Dengan tubuhnya yang pincang, tangga itu mendadak oleng dan hampir jatuh. Gara berusaha menangkap tangganya dengan satu tangan, tapi malah tersandung kakinya sendiri, nyaris jatuh lagi. Anya, yang melihat itu, menutup mulutnya sambil menahan tawa.
Anya akhirnya mendekat, mencoba membantu. “Biar aku bantu pegangin tangganya, biar kamu nggak tambah parah jatuhnya.”
Dengan perasaan malu yang tak tertahan, Gara mengangguk sambil menahan sakit di lututnya. “Makasih, Anya. Kali ini, aku bener-bener cuma mau ambil tangga, kok. Tanpa adegan tambahan.”
Begitu tangga berhasil diturunkan, Gara pun tersenyum masam sambil menghela napas panjang. “Wah, lega. Tangga ini kayaknya lebih punya drama daripada hidup gue.”
Anya tertawa dan menatap Gara dengan senyum lebar. “Yah, setidaknya kali ini kamu berhasil selamat ... tanpa jatuh. Itu udah kemajuan besar.”
Gara, dengan wajah merah karena malu dan sakit, akhirnya pamit sambil menyeret tangga pelan-pelan, dan berkata dalam hati, “Tolong, semoga Pak RT nggak tanya kenapa gue lama banget ambil tangganya.”
...🌸❤️🌸...
.
To be continued