Arumi harus menelan kekecewaan setelah mendapati kabar yang disampaikan oleh Narendra, sepupu jauh calon suaminya, bahwa Vino tidak dapat melangsungkan pernikahan dengannya tanpa alasan yang jelas.
Dimas, sang ayah yang tidak ingin menanggung malu atas batalnya pernikahan putrinya, meminta Narendra, selaku keluarga dari pihak Vino untuk bertanggung jawab dengan menikahi Arumi setelah memastikan pria itu tidak sedang menjalin hubungan dengan siapapun.
Arumi dan Narendra tentu menolak, tetapi Dimas tetap pada pendiriannya untuk menikahkan keduanya hingga pernikahan yang tidak diinginkan pun terjadi.
Akankah kisah rumah tangga tanpa cinta antara Arumi dan Narendra berakhir bahagia atau justru sebaliknya?
Lalu, apa yang sebenarnya terjadi pada calon suami Arumi hingga membatalkan pernikahan secara sepihak?
Penasaran kisah selanjutnya?
yuk, ikuti terus ceritanya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadya Ayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 3
Ari memicingkan matanya menatap ke arah Narendra.
“Memangnya apa alasannya? Eh, tapi terserah kakak ipar aja, sih, aku cuma berharap kak Naren nggak nyakitin kak Arumi saja. Dia sudah cukup menderita selama sama si Vino,” ungkap Ari tanpa ada yang ditutup-tutupi.
Ari sudah memerhatikan Narendra sejak dia turun dari mobil. Pun setelah bertelepon dan juga beranjak dari depan pintu kamar kakaknya setelah tersadar dari pingsannya. Pria muda itu tidak memiliki firasat buruk apapun mengenai Narendra, justru yang ia lihat, Narendra yang tidak mengenal kakaknya tapi dia masih peduli.
Masih teringat jelas di kepala Ari, ketika tatapan marah dan tangan terkepal dari Narendra setelah mendengar ungkapan kakaknya. Ari yakin, Narendra adalah pria yang baik terlepas apapun alasan pria itu menerima pernikahannya.
Ucapan Ari berhasil membuat Narendra yang tadinya cuek pun penasaran. Arumi menderita dengan Vino? Ah, sebagai seorang suami, Narendra merasa tertantang untuk menggali lebih dalam mengenai hubungan istri barunya dengan mantan kekasihnya, Vino.
“Menderita? Bukannya dia bucin banget, ya, sama Vino, bahkan dia tetap maksa pas ayah sama ibu nggak kasih dia restu?” tanya Narendra yang mulai penasaran.
“Dah, lah, suatu saat Kakak ipar pasti tahu, yang pasti, di balik sifatnya yang keras kepala, Kak Arumi itu baik dan juga nggak tegaan sama orang lain, aku titip Kak Arumi,ya, Kak,” pungkas Ari.
***
Selesai makan malam bersama, kedua orang tua Narendra berpamitan untuk pulang sementara Narendra sendiri diminta untuk tetap tinggal barang sebentar di rumah mertuanya untuk saling mengenal. Beruntung kedua keluarga itu mudah akrab sehingga kecanggungan diantara mereka tidak berlangsung lama.
Kedua orang tua Narendra tidak mempermasalahkan putranya yang tiba-tiba menikah dan saat ini bersama keluarga mertuanya sebab hal itu murni keinginan Narendra bukan paksaan dari mereka.
Baik Bagas maupun Dimas sudah tampak seperti kawan lama yang bertemu kembali, padahal keduanya baru bertemu hari ini. Mereka juga telah bertukar nomor telepon, pun dengan alamat rumahnya agar memudahkan komunikasi keduanya.
“Naren, jaga istrimu baik-baik dan segeralah bawa Arumi pulang ke rumah. Arumi, Sayang, jaga diri baik-baik, ya.” Dewi berpesan pada putra dan menantu barunya.
Senyum mengembang dari bibir Dewi ketika berpamitan pada menantunya.
“I-iya, Tante,” jawab Arumi pelan.
“Mama! Panggil saya Mama, Nak.” Dewi meralat ucapan menantunya. Sementara Arumi hanya mengangguk canggung.
“Besan, kami pamit dulu, kapan-kapan kami akan kembali berkunjung atau kalau Besan berkenan, mainlah ke gubuk kami,” pamit Bagas kemudian menyalami besannya.
“Hati-hati di jalan, Besan, saya usahakan jika sudah ada waktu senggang, kami sekeluarga akan datang berkunjung.” Dimas menjawab dengan senyum bahagia.
Dimas dan Tari begitu bersyukur dipertemukan dengan keluarga Narendra karena selain mau menutupi malu putrinya, mereka juga tidak segan menerima keluarganya dengan tangan terbuka tanpa memandang status sosialnya. Berbeda dengan keluarga Vino, mereka akan sibuk menghina semua kekurangan yang terlihat oleh mata mereka.
Malam itu, untuk pertama kalinya Arumi akan tinggal satu kamar bersama seorang pria, terlebih pria asing yang tiba-tiba menjadi suaminya.
Ada perasaan takut akan sesuatu hal, tetapi wanita itu menutupi semua itu dari orang lain. Di saat semua orang masih berada di ruang tengah, wanita itu memilih langsung masuk ke kamar setelah mertuanya berpamitan pulang.
“Nak Naren, kalau lelah istirahat sana di kamar Arum, tadi sudah ibu beresin kamarnya.” Tari memberitahu menantu barunya.
“Apa tidak apa-apa, Bu? Maksud saya, apa saya boleh?” ralat Narendra yang tampak gugup.
“Ya, tidak apa-apa, dong. Kalian, kan, sudah menikah. Sudah seharusnya tidur satu kamar berdua. Sudah, sana masuk kamar. Sudah tahu, 'kan, kamarnya?”
“I-iya, sudah, Bu.”
Tanpa menunggu waktu yang lama, Narendra bergegas menghampiri Arumi ke kamar. Pria itu segera memutar handle pintu yang kebetulan tidak dikunci. Tanpa Narendra ketahui, Arumi yang baru saja memakai baju tidurnya tersentak kaget dan berteriak.
“Aaa … kurang ajar?!” pekik Arumi membuat Narendra bergegas masuk dan kembali menutup pintu.
“Maaf, maaf. Aku kira kamu sudah tidur. Lagian, kenapa nggak dikunci tadi pintunya, untung aku yang masuk, kalau Ari yang masuk bagaimana?”
“Ari nggak mungkin, ya, lancang buka pintu kamarku tanpa diketuk dulu. Dasar! Ngapain kamu di sini?” Arumi memandang kesal ke arah Narendra.
“Ya, tentu saja mau tidur. Memangnya mau ngapain lagi? Emangnya kamu mau layani aku malam ini?” tanya Narendra dengan bibir tersungging sebelah.
“Enak aja … kalau kayak gitu, enak di kamu, nggak enak di aku, dong! Sudah, sana keluar, aku mau tidur!” usir Arumi seraya berjalan cepat menuju ke arah pintu dan membukanya dengan lebar.
“Silakan keluar Bapak Narendra yang terhormat!” ujar Arumi dengan mata melotot ke arah Narendra. Namun, ketika tangan wanita itu mempersilakan Narendra untuk keluar, sang ibu tiba-tiba datang dan menepuk keras telapak tangannya yang terbuka.
“Nggak sopan, Arumi. Suamimu sedang lelah, kenapa kamu usir dari kamar. Sudah, sana masuk dan tidur.” Tari menegur putrinya seraya mendorong masuk tangan Arumi kemudian menutup pintunya dari luar.
Awalnya wanita paruh baya itu hendak ke kamarnya yang berada di sebelah kamar Arumi. Akan tetapi, ketika mendengar Arumi yang tengah marah dan mengusir suaminya, ia sebagai mertua yang baik tentu harus membela menantunya yang tidak bersalah.
Tari harus menegur putrinya agar tidak kelewatan, sebab jika bukan karena Narendra, Arumi pasti akan menjadi buah bibir para tetangganya karena gagal menikah. Jadi, Tari sebisa mungkin menjaga Narendra agar tetap merasa nyaman dan aman agar tidak meninggalkan putrinya.
“Nak Naren, tidur di kasur, jangan di lantai!” teriak Tari ketika tersadar jika mungkin saja putrinya meminta Narendra tidur di bawah.
Arumi menggerutu sambil menghentakkan kakinya terlebih setelah mendengar teriakan sang ibu yang meminta Narendra untuk tidur di kasur, semakin membuat wanita itu dongkol. Hal itu membuat Narendra menggelengkan kepalanya menatap Arumi.
“Kamu kenapa, sih, marah-marah mulu, awas ntar gi*la, loh,” tegur Narendra.
“bagus, kalau aku gi*la, biar kamu bisa nikah lagi!” sinis Arumi.
Sebenarnya dalam hati kecilnya, ingin sekali wanita itu berterima kasih pada Narendra karena sudah bersedia menjadi pengantin pengganti yang menyelamatkan nama baiknya. Namun, ketika ia teringat perbuatan Vino, ia mengurungkan niatnya dan justru terlihat mengibarkan bendera perang pada Narendra yang sebenarnya hanyalah sebatas keluarga jauh Vino. Pun pria itu juga tidak tahu apa-apa.
“Ah, capek kalau nikah mulu. Sudah cukup di kamu saja yang terakhir!” seru Narendra kemudian segera merebahkan tubuhnya di atas kasur sesuai perintah ibu mertuanya.
Tidak ia pedulikan gerutuan Arumi yang kesal karena kasurnya ia tempati.
Arumi memicingkan matanya heran. Ia segera mendekati Narendra dengan naik ke atas kasur dan duduk di sebelahnya. “Nikah mulu? Emang kamu udah pernah nikah berapa kali?” bisik Arumi.
Narendra yang awalnya sudah mulai memejamkan matanya, kini harus kembali membukanya ketika mendengar suara Arumi di samping telinganya.
Pria itu beranjak dari tidurnya kemudian duduk dan bersandar pada sandaran kasur.
“Kamu belum tahu kalau aku ini duda? Aku udah pernah nikah, Arumi … ayah juga udah tahu, kok. Memangnya ayah nggak ada cerita sama kamu?” jawab Narendra yang mengira Arumi sudah tahu akan statusnya. Namun di luar dugaan, Arumi justru terlihat syok bukan main.
“APA?!”
🤪🤪🤣🤣🤣🤣