Libelle Talitha, atau Belle, adalah gadis 17 tahun yang hidup di tengah kemewahan sekolah elit di Inggris. Namun, di balik kehidupannya yang tampak sempurna, tersembunyi rahasia kelam: Belle adalah anak dari istri kedua seorang pria terpandang di Indonesia, dan keberadaannya disembunyikan dari publik. Ayahnya memisahkannya dari keluarga pertamanya yang bahagia dan dihormati, membuat Belle dan ibunya hidup dalam bayang-bayang.
Dikirim ke luar negeri bukan untuk pendidikan, tetapi untuk menjauh dari konflik keluarga, Belle terperangkap di antara dua dunia. Kini, ia harus memilih: terus hidup tersembunyi atau memperjuangkan haknya untuk diakui.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tekanan
Saat mereka duduk di kantin, suasana terasa riuh oleh obrolan para siswa. Tiba-tiba, suasana kantin berubah ketika Paula dan sekelompok teman-temannya masuk, memancarkan aura penuh dominasi dan keangkuhan. Semua mata tampak tertuju pada mereka. Belle, yang duduk bersama Darwin dan Amanda, tidak bisa menahan diri untuk menatap Paula dari kejauhan. Ada rasa asing yang muncul di dalam dirinya, mengingat pertemuan-pertemuan tak terduga sebelumnya.
"Kenapa kau menatap mereka?" Amanda bertanya, memerhatikan tatapan Belle yang terpaku pada Paula.
Belle segera menggeleng pelan. "Tidak ada apa-apa," jawabnya, berusaha menutupi rasa gelisah yang tiba-tiba muncul.
Amanda mengangkat alisnya sejenak, lalu berkata, "Jangan pedulikan mereka. Lebih baik kau tidak berinteraksi dengan orang-orang seperti mereka."
Darwin, yang duduk di samping Amanda, menoleh dengan tatapan iseng. "Apa ini karena Paula merebut Draven darimu?"
Amanda melotot kecil pada Darwin sambil mencubit lengannya. "Ih, bukan gitu! Lagian, aku sudah putus lama dari Draven. Kau tak perlu cemburu." Wajahnya sedikit memerah, berusaha membela diri. "Aku tidak suka mereka karena mereka sok penguasa. Padahal, sebenarnya mereka sama saja seperti kita."
Belle tertegun mendengar Amanda menyebut nama Draven. "Jadi, Draven itu mantanmu?" tanya Belle, suaranya terdengar agak terkejut.
Amanda langsung tersenyum bangga dan mengibaskan rambutnya. "Iya, tentu saja. Aku ini kan cantik, jadi wajar saja kalau pria-pria populer tertarik padaku," ujarnya dengan nada sombong, matanya menatap Darwin penuh kemenangan.
Darwin, yang sedari tadi mendengarkan dengan tenang, tiba-tiba menunjukkan ekspresi kesal. "Oh begitu ya? Jadi aku cuma cadangan, nih?" ujarnya sambil berpura-pura cemberut, membuat Amanda tertawa kecil dan memukul bahunya pelan.
Sementara itu, pikiran Belle melayang. Dia baru menyadari bahwa Draven, pria yang beberapa kali bertemu dengannya secara tak terduga, ternyata bersekolah di tempat yang sama. Namun, sejak pagi tadi, Belle tak melihat tanda-tanda kehadirannya.
"Aku tidak melihat Draven sejak pagi," Belle bergumam dalam hatinya, sambil tetap berusaha mengikuti percakapan Amanda dan Darwin yang terus saja saling menggoda satu sama lain.
***
Di sisi lain, Draven dengan seragam sekolahnya berjalan pelan memasuki ruangan rumah sakit. Langkahnya terasa berat saat mendekati ranjang tempat ibunya terbaring lemah. Suara mesin-mesin medis yang monoton seakan menambah kesunyian di dalam ruangan. Tatapannya tajam namun penuh kesedihan ketika ia melihat kondisi ibunya yang terkulai tak berdaya.
Draven duduk di samping tempat tidur, menggenggam tangan ibunya yang dingin. Wajahnya yang biasanya tegar kini terlihat rapuh, kehilangan seluruh keceriaan yang biasa ia tunjukkan di depan teman-temannya. Perlahan, setetes air mata jatuh dari matanya dan membasahi pipinya. Dia mencoba menahan tangis, namun rasa sakit di hatinya tak dapat terbendung lagi.
"Ibu..." Draven berbisik lirih, suaranya nyaris tak terdengar. Rasa bersalah dan ketidakberdayaan berkecamuk dalam dirinya. Ia menunduk, menatap tangan ibunya yang digenggamnya erat, seolah-olah itu bisa memberinya kekuatan untuk melawan rasa sakit yang terus menusuk hatinya.
Dia ingat betapa ibunya selalu mendukungnya, meskipun keluarga mereka sering dilanda masalah. Kini, dia hanya bisa berharap dan berdoa agar ibunya pulih. Semua ambisinya, mimpinya, seolah tidak berarti dibandingkan kesehatan wanita yang telah memberikan segalanya untuknya.
Draven duduk diam di sana, tak ada kata-kata yang mampu menggambarkan kepedihan yang ia rasakan. Pandangannya masih terfokus pada wajah ibunya yang tenang, meskipun tubuhnya didera sakit. Hatinya terus berdoa, berharap agar ibunya bisa bangkit dan tersenyum lagi, seperti dulu.
***
Draven baru saja mengusap air mata di pipinya ketika tiba-tiba ponselnya bergetar. Ia menghela napas panjang, berharap bukan kabar yang akan membuatnya semakin tertekan. Namun saat melihat nama di layar, ia segera tahu ini bukan panggilan yang diinginkannya.
"Draven, nanti malam ada pertemuan makan malam dengan keluarga Paula. Ayah harap kau hadir nanti malam," suara dingin ayahnya, Lucas, terdengar jelas di ujung telepon. Tidak ada basa-basi, tidak ada pertanyaan tentang ibunya, hanya permintaan yang lebih terdengar seperti perintah.
Draven mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. "Aku sedang di rumah sakit, Ayah," balasnya singkat, suaranya penuh dengan nada ketidakpedulian.
"Rumah sakit atau tidak, ini penting. Keluarga Paula sudah merencanakan ini sejak lama, dan kau tahu posisi kita di mata mereka. Jangan buat masalah lagi," balas Lucas tanpa menunggu penjelasan lebih lanjut dari putranya.
Perut Draven terasa seperti diaduk-aduk, mencampur antara kemarahan, frustasi, dan keputusasaan. "Ibu sedang sakit, Ayah," ia mencoba membalas, namun tahu percuma.
"Kau datang saja nanti. Sudah, itu saja," suara Lucas terdengar lebih tegas sebelum panggilan itu terputus.
Draven berdiri di depan kamar rawat ibunya sejenak, merasakan ketegangan menjalar di sekujur tubuhnya. Matanya memandang pintu kamar ibunya yang tertutup rapat. Di dalam, ada wanita yang sangat ia cintai, yang berjuang untuk hidupnya. Dan di luar, ada tuntutan dari ayahnya yang tak peduli, terjebak dalam permainan politik keluarga yang tak pernah ia inginkan.
Tanpa berpikir panjang, Draven mengeluarkan kunci motornya dan berjalan cepat keluar dari rumah sakit. Ia butuh melampiaskan emosinya melupakan sejenak tekanan dari keluarganya, dari tuntutan yang selalu membelenggunya.
Setelah mencapai tempat parkir, ia menyalakan motor besarnya, suara mesin menggelegar di telinganya. Draven menarik napas panjang sebelum melesat pergi, meninggalkan rumah sakit. Angin dingin Manchester menyambutnya dengan kecepatan tinggi saat ia menyusuri jalan-jalan kota yang ramai.
Pikirannya terus berkecamuk. Draven tak tahu harus pergi ke mana, tapi ia tahu satu hal: ia butuh melarikan diri dari segala hal yang membuatnya merasa terjebak. Dia mempercepat laju motornya, semakin kencang, seolah ingin menghindari semua yang menghantuinya. Suara mesin motornya adalah satu-satunya yang ia dengar, menggantikan hiruk-pikuk dalam benaknya.
Selama perjalanan, ia terus berpikir tentang hidupnya yang kini terasa hampa. Apakah hidupnya hanya untuk mematuhi tuntutan keluarga dan tradisi? Apakah ia akan terus menjalani hidup ini dengan pura-pura bahagia, tanpa bisa memilih jalannya sendiri? Pertanyaan-pertanyaan itu terus mengganggu pikirannya, dan ia sadar bahwa pertemuan makan malam nanti bukanlah hal yang ia inginkan.
Draven akhirnya berhenti di suatu tempat, sebuah tempat yang sering ia kunjungi untuk menyendiri. Ia memarkir motornya dan duduk di tepi danau, pandangannya terpaku pada air yang tenang. Di sinilah ia merasa bebas, meski hanya sesaat, dari segala tekanan hidup.
serta jangan lupa untuk mampir di ceritaku ya❤️
ada beberapa kalimat yang masih ada pengulangan kata..
contoh kyk ini: Belle berdiri di jendela di bawah langit.
jadi bisa d tata struk kalimatnya;
Belle berdiri di tepi jendela, menatap langit Inggris yang kelam
atau bisa juga Belle berdiri di jendela, memandang langit kelam yang menyelimuti Inggris.
intinya jgn ad pengulangan kata Thor, dan selebihnya udah bagus