“Meski kita sudah menikah, aku tidak akan pernah menyentuhmu, Mbi. Haram bagiku menyentuh wanita yang tidak mampu menjaga kesuciannya seperti kamu!” Kalimat itu Ilham ucapkan dengan tampang yang begitu keji, di malam pertama mereka.
Selain Ilham yang meragukan kesucian Arimbi walau pria itu belum pernah menyentuhnya, Ilham juga berdalih, sebelum pulang dan menikahi Arimbi, pria itu baru saja menikahi Aisyah selaku putri dari pimpinan tertinggi sekaligus pemilik pondok pesantren, Ilham bernaung. Wanita yang Ilham anggap suci dan sudah selayaknya dijadikan istri.
Arimbi tak mau terluka makin dalam. Bertahun-tahun menjadi TKW di Singapura demi membiayai kuliah sekaligus mondok Ilham agar masa depan mereka setelah menikah menjadi lebih baik, nyatanya pria itu dengan begitu mudah membuangnya. Talak dan perpisahan menjadi satu-satunya cara agar Arimbi terbebas dari Ilham, walau akibat talak itu juga, Arimbi mengalami masa-masa sulit akibat fitnah yang telanjur menyebar.
(Merupakan kisah Mas Aidan, anak Arum di novel : Pembalasan Seorang Istri yang Dianggap Sebagai Parasit Rumah Tangga)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31 : Meminta Pendapat
“Nah, Mas saja kaget. Apalagi saya yang ibaratnya terus dijadikan target sama dia?” ucap Arimbi dan langsung mendapatkan tatapan khawatir dari mas Aidan.
“Kemarin pulang jualan, kepala saya nyaris dijahit gara-gara dilempar batu cadas yang buat jalan di gang ke rumah saya, Mas! Disidang langsung kemarin sama warga karena dia beneran enggak segan ngamuk di siang bolong yang tentu saja banyak saksi. Nah, pas ke klinik ini buat pengobatan kepala saya karena memang sampai berdarah dan jilbab saya sampai bolong, saya sengaja meminta dokter buat kasih keterangan kalau alasan kepala saya diobati karena efek luka lemparan batu. Mas Ilham jadi saksi karena dia yang tanggung jawab kan.” Arimbi mengeluarkan surat khusus yang dilengkapi dokter dan tengah ia maksud. Ia menyerahkannya kepada mas Aidan yang juga langsung menerimanya.
“Nah siang menuju sorenya, jadi kejadian dia diteriaki maling sama mamahnya mas Ilham gara-gara penampilannya. Rame bahkan heboh! Tangan ibu Siti sampai berdarah-darah gara-gara digigit dia. Ke ibu mertuanya saja dia tega, Mas. Apalagi ke orang lain dan itu ... saya!”
“Sementara sorenya, untuk pertama kalinya setelah tahu kabar termasuk foto asli dia dari tetangga, magrib-magrib Mas, dia enggak pakai cadar apalagi jilbab, dia duduk di bangku teras depan rumah orang tua mas Ilham. Dia menatap saya seseram itu. Saya pikir penampakan hantu atau demit orang pas banget magrib-magrib! Mas Rio jadi saksi soalnya dari sore dia datang dan ngikutin saya terus.”
“Sore kemarin pun saya bertemu mamah Mas yang diajak mas Azzam. Terus subuh tadi, lihat ... baju bagian punggung saya bolong gara-gara dilempar batu sama dia. Mas tahu dia lemparnya dari mana? Dari pohon mangga yang ada di halaman dekat jalan rumah mas Ilham!”
“Masih gelap, dia enggak nutup wajah apalagi kepala, wajah apalagi tatapannya super seram, berasa beneran lihat penampakan demit!” Arimbi menutup ceritanya yang ia sampaikan dengan menggebu-gebu.
Mas Aidan yang sampai memegangi bekas bolong akibat timpukan Aisyah, subuh tadi bertanya, “Dia kurang waras apa memang gangguan, sih?”
“Kayaknya sih memang menggilakan diri, Mas. Soalnya pas disidang pun, dia wajib pergi dari desa kami andai kejadiannya sampai terulang. Namun masih hitungan jam, nyatanya dia tega ngamuk ke ibu mertuanya!” balas Arimbi.
“Pertanyaan saya, semacam tingkah dia bisa dikasuskan enggak? Jujur, lama-lama saya takut. Berasa terus diteror padahal tiap harinya saya beneran fokus kerja.”
“Apalagi kalau ingat ancamannya yang selalu bilang akan mengundang teman-temannya untuk memberi saya pelajaran. Dia bilang bakalan datengin teman-temannya buat keroyo*k saya. Omongannya beneran enggak enak pokoknya!”
“Awalnya saya berpikir, temannya yang dimaksud, ya semacam para santri. Namun setelah melihat penampilan aslinya, saya jadi mikir, ... pantas dia begitu yakin akan mendatangkan teman-temannya untuk main kroyok ke saya. Karena sepertinya, teman-teman yang dimaksud memang preman.”
“Pas dilempar batu subuh tadi, saya sempat berpikir untuk menindaklanjutinya ke sidang sebelumnya yang dengan kata lain, dia sudah kembali melukai saya dengan sengaja. Masalahnya dia pinter, sengaja melakukannya di pagi-pagi buta dan memang belum banyak aktivitas warga. Bisa jadi dia akan langsung bikin drama baru andai saya melaporkannya. Ribet, yang ada saya gagal jualan.”
“Kayaknya dia memang ada semacam kelainan, yang bikin dia sangat temperamental, selain dia yang sepertinya merasa kurang dihargai oleh mas Ilham. Tampaknya, Aisyah ini merasa cemburu kepada Mbak Arimbi karena sepertinya, mas Ilham lebih condong ke Mbak. Jadi sebagai pelampiasannya, dia jadi urakan begini.” Setelah terdiam sejenak, mas Aidan yang memang merenung serius sengaja berkata, “Tapi ini memang sangat merugikan. Nanti deh ... kok nanti, ya? Ini kan enggak bisa ditunda agar kalau memang dia beneran ada gangguan, bisa langsung dikarantina di RSJ. Tapi Ayah ....”
“Bagaimana, Mas?” tanya Arimbi memastikan lantaran mas Aidan malah diam, walau diamnya Mas Aidan Arimbi yakini karena pria itu berpikir keras. Namun tadi ia mendengar bahwa sekelas Aisyah dengan kelakuannya yang sangat bar-bar, bisa dikarantina di RSJ.
“Saya inginnya datang ke rumah mas Ilham biar saya bertemu dia dan pihaknya Ilham. Saya akan kasih dia peringatan karena andai kejadian yang dia lakukan ke Mbak Arimbi kembali terulang termasuk itu walau sekadar baru ancaman, kita kasus dia!” tegas Mas Aidan. “Tapi Ayah masih sakit dan memang enggak ada yang jagain. Saya enggak tega dan memang berat.”
“Enggak apa-apa, Mas. Enggak apa-apa. Nanti saya urus sendiri. Yang penting ada kepastian kalau apa yang dia lakukan memang bisa diperkarakan!” yakin Arimbi tak mau makin merepotkan mas Aidan.
“Masalahnya kalau sudah seperti ini memang wajib orang lain dan bila perlu orang yang punya kedudukan lebih tinggi dari dia, Mbak. Karena jangankan Mbak yang dia ser*ang, orang yang punya posisi lebih tinggi dari dia saja belum tentu akan dia dengarkan,” balas mas Aidan tak kalah menyenangkan.
“Gimana ya? Beneran enggak ada yang jaga ayah sih.” Mas Aidan masih merenung serius. Terus mencoba mencari tahu siapa yang bisa ia percaya membantunya menjaga pak Angga. “Dek Azzam masih di kantor. Mbak Azzura lagi hamil dan masih urus rumah makan juga. Mamah, enggak mungkin. Dek ....”
Ketika mas Aidan menoleh ke ruang karyawan klinik, ia tak sengaja melihat wanita bertubuh segar berhijab kuning. Wanita yang disapa oleh karyawan dengan panggilan ibu Septi tersebut juga langsung tersenyum semringah ketika memergoki mas Aidan.
“Eh, Mas! Ngopi ... ngopi biar enggak ngantuk!” ucap ibu Septi langsung heboh sembari menghampiri mas Aidan. Namun, adanya Arimbi yang duduk di sebelah mas Aidan walau kedua sejoli itu kompak duduk di ujung bangku, langsung mengusiknya.
“Bukan yang biasa, yang ini berjilbab. Saudara mamah, ya? Mirip mamah Arum,” ucap ibu Septi yang membiarkan tangan kanannya disalami dengan takzim oleh mas Aidan yang memanggilnya Bibi. Kemudian, walau teman perempuan mas Aidan tampak kebingungan cenderung kikuk kepadanya, wanita muda yang mengaku bernama Arimbi itu juga turut menyalami tangan kanannya dengan takzim.
“Mirip mamah Arum? Arimbi mirip mamah Arum?” pikir Mas Aidan yang memang belum menyadari itu walau ia menjadi orang pertama yang bertemu sekaligus mengenal Arimbi.
“Bibi duduk di tengaj, ya? Tapi jangan anggap Bibi se*tan hanya karena Bibi jadi orang ketiga dalam kebersamaan kalian!” ucap ibu Septi yang mengakhirinya dengan tawa lepas. Namun setelah ia duduk, ia jadi takut. “Jangan-jangan nih bangku jadi remuk gara-gara Bibi ikut duduk? Asli aman enggak sih, ini? Ada label SNI-nya, enggak? Kalau enggak, Bibi jadi waswas!”
Hadirnya wanita bernama Septi yang memiliki humor tinggi dan menjadi bagian dari kebersamaan mereka, membuat mas Aidan apalagi Arimbi, sibuk menahan tawa. Karena selain sangat lucu, wanita itu juga latah.
“Memangnya kami semirip itu, ya? Kemarin pas bertemu ibu Arimbi dan mas Azzam pun, katanya mirip banget,” lirih Arimbi jadi makin kikuk lantaran dimirip-mirikan dengan wanita yang telah melahirkan mas Aidan.
“Asli, mirip! Pas lagi mudanya gini! Sekarang pun masih mirip!” yakin ibu Septi. Singkat cerita, mas Aidan menitipkan sang ayah kepadanya.
bnyk pelajaranny...
bikin kita ga stres
malah ky orang stres ktawa mulu
thor tetep sabar dan ikhlas ya
pokoknya novelmu sungguh luar biasa...
semangat 💪
Semangat ya bikin ceritanya/Rose/