Tipe pria idaman Ara adalah om-om kaya dan tampan. Di luar dugaannya, dia tiba-tiba diajak tunangan oleh pria idamannya tersebut. Pria asing yang pernah dia tolong, ternyata malah melamarnya.
"Bertunangan dengan saya. Maka kamu akan mendapatkan semuanya. Semuanya. Apapun yang kamu mau, Arabella..."
"Pak, saya itu mau nyari kerja, bukan nyari jodoh."
"Yes or yes?"
"Pilihan macam apa itu? Yes or yes? Kayak lagu aja!"
"Jadi?"
Apakah yang akan dilakukan Ara selanjutnya? Menerima tawaran menggiurkan itu atau menolaknya?
***
⚠️NOTE: Cerita ini 100% FIKSI. Tolong bijaklah sebagai pembaca. Jangan sangkut pautkan cerita ini dengan kehidupan NYATA.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon widyaas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Ara membalikkan badannya, mempersilakan Gevan untuk memasangkan liontin indah tersebut. Sangat cocok untuk Ara, simpel dan elegan.
"Makasih, Kak Gevan!" ucap Ara sambil tersenyum lebar. Dia sedang senang sekarang.
Gevan mengangguk seraya tersenyum tipis. Ternyata pilihannya tidak salah, liontin itu cocok untuk Ara.
"Yang satunya aku pake nanti aja, ya," ucap Ara, dan lagi-lagi Gevan mengangguk mengiyakan.
"Tumben kasih hadiah, pasti ada maunya, ya?" tanya Ara.
"Tidak," jawab Gevan singkat. Padahal memang iya, karena dia ingin mengajak Ara ke rumah kakeknya nanti, dan bisa jadi gadis itu akan takut dan berakhir menolak.
Ara manggut-manggut. Dia kembali memakan es krim nya yang sudah sedikit leleh.
Keduanya sama-sama diam menikmati pemandangan dan memakan es krim. Hingga tiba-tiba Gevan berucap;
"Lusa, kita akan bertunangan—"
Uhuk!
Ara tersedak mendengar ucapan pria itu. Lihat, benar apa katanya, pasti ada sesuatu terselubung di balik niat Gevan yang memberinya liontin tadi.
"Kak?! Yang bener aja!" seru Ara.
"Kenapa?" tanya Gevan acuh.
"Saya udah bilang kalau kita akan tunangan, dan kamu setuju. Lagi pula kita sama-sama untung di sini. Kamu mendapatkan apa yang kamu mau, sedangkan saya juga untung, memiliki calon istri," jelas Gevan.
"Iya, emang bener. Tapi, kan—"
"Gak ada tapi tapi, Ara," sela Gevan tak ingin mendengarkan penolakan gadis itu.
Bibir Ara cemberut. Jujur, dia memang suka pria tampan seperti Gevan, tapi dia juga belum siap jika bertunangan dengan pria itu. Apa kata Ayah dan kakaknya nanti? Ah, Ara melupakan sesuatu. Bukankah mereka tidak pernah peduli padanya? Benar. Itu sebabnya dia bebas melakukan apapun tanpa takut dimarahi.
"Oke. Aku ngikut Kakak aja. Terserah," ucap Ara pada akhirnya.
Kening Gevan mengerut mendengar ucapan Ara yang seolah berubah pikiran, namun dia juga senang akhirnya Ara setuju, ya meskipun agak terpaksa kelihatannya.
"Malam ini, Kakek menyuruh saya membawa kamu ke rumahnya," ucap Gevan yang membuat Ara hampir tersedak.
"Tiba-tiba banget?!" seru Ara tak terima.
"Iya. Mau kapan lagi? Lusa kita sudah bertunangan, Ara," jawab Gevan.
Ara menghela nafas. Gevan selalu saja membuatnya terkejut.
"Gak mau, malu!" tolak Ara. Sebenarnya bukan hanya malu, tapi dia juga takut jika sikap Kakek Gevan seperti mommynya Gevan. Ara tidak ingin kejadian itu terulang lagi.
"Ada saya," sahut Gevan.
"Gak! Gak mau pokoknya," ketus Ara. Dia memakan es krim nya kembali dengan cepat.
"Nanti saya jajanin kamu sepuasnya," tawar Gevan.
Namun, kali ini Ara menolaknya, karena harga dirinya lebih berharga.
"Nggak!"
"Saya akan kabulkan permintaan kamu," tawar Gevan lagi.
"Nggak, nggak, nggak!" Ara menggelengkan kepalanya berulang kali.
"Jangan paksa aku, bisa?" ketus Ara.
"Kalau gitu, saya bawa Kakek ke rumah kamu aja," ucap Gevan.
"Dih! Mana bisa gitu?" Ara menatap sinis pria di sampingnya itu.
"Apapun bisa saya lakukan," kata Gevan dengan santainya.
Ara kesal sendiri melihat tingkah Gevan yang sesukanya. Ganteng, sih, tapi ngeselin.
"Kalau gitu gak jadi tunangan!" ucap Ara mengancam.
"Kalau gitu, bayar liontin yang saya berikan tadi. Semuanya 100 juta, dan kamu harus membayar sekarang," ucap Gevan ikut-ikutan.
"Ya udah, nih, aku balikin!" Ara berusaha melepaskan liontin yang menggantung di lehernya.
"Tidak bisa. Liontin itu sudah kamu pegang, jadi saya tidak mau menerimanya," ucap Gevan menghentikan pergerakan Ara.
"Curang!" pekik Ara tak terima. "Artinya Kak Gevan gak ikhlas ngasih kalung ini!" lanjutnya.
Gevan mengendikkan bahunya acuh. "Kamu duluan. Saya minta baik-baik. Lagi pula Kakek saya gak gigit, kok."
Nafas Ara memburu, dia menatap penuh dendam ke arah Gevan. Dia merasa diberi harapan palsu sekarang.
"Jam 8 malam saya jemput," ucap Gevan seolah tak mendengar penolakan Ara.
Ini namanya pemaksaan! Batin Ara berteriak. Dia juga tak bisa menolak lantaran disuruh ganti 100 juta.
****
Ara menatap layar ponselnya dengan sendu, dia membaca balasan pesannya dari ayahnya. Padahal dia mengirim pesan itu sudah beberapa hari lalu, dan ayahnya baru membalas sekarang.
Tanpa membalasnya, Ara pun mematikan ponsel canggih tersebut. Dia mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi, sebentar lagi Gevan menjemputnya.
Beberapa menit kemudian, Ara duduk di depan meja rias sambil mengoles wajahnya dengan make up tipis. Setelahnya, ia memilih dress simpel favoritnya.
Saat sibuk menata rambut, ponsel Ara berdering tanda telepon masuk. Tanpa melihatnya pun, Ara sudah tau siapa pelakunya. Tentu saja Gevan, siapa lagi memangnya? Ayah atau kakaknya pun tak mungkin menelponnya.
Ara mengabaikannya dan terus fokus menata rambutnya. Biar saja Gevan menggerutu di luar sana dan terus menelpon.
"Selesai!" gumam gadis itu. Kalau seperti ini, Ara merasa tak bosan melihat wajahnya, soalnya cantik.
Ara mengambil tas selempang dan ponselnya yang tergeletak di atas ranjang, lalu segera keluar menghampiri Gevan.
Terlihat mobil mewah milik pria tampan itu sudah terparkir di halaman rumahnya, sedangkan si pemilik menatapnya datar dari kursi kemudi.
"Hai," sapa Ara setelah masuk ke dalam mobil.
Tanpa membalas, Gevan menyalakan mobilnya dan keluar dari pekarangan rumah Ara.
"Datar amat, Om. Senyum dikit coba," cibir Ara. Melihat wajah datar Gevan membuat Ara tak tahan ingin jahil.
"Kamu bicara sama saya?" sahut Gevan.
Bibir Ara mencebik tak suka. Dia menatap ke depan, tak lagi menatap Gevan. Entah kenapa, Ara selalu kalah jika berdebat dengan Gevan.
Gevan tersenyum tipis melihat ekspresi gadis cantik di sampingnya ini. Sepertinya, ekspresi Ara yang paling Gevan sukai adalah saat gadis itu kesal.
Hingga beberapa menit kemudian, mereka sudah sampai di rumah Kakek. Ternyata di sana ada mobil orang tua Gevan juga. Ara yang tak tau pun tetap santai dan keluar mengikuti Gevan.
Gevan menggenggam tangan mungil Ara dengan erat, jaga-jaga jika Ara akan kabur nanti saat melihat orang-orang di dalam sana.
"Kenapa rame banget?" tanya Ara. Dia menatap 3 mobil yang terparkir di halaman rumah Kakek.
"Banyak penjaga di sini," jawab Gevan.
Ara menatap sekeliling yang memang banyak penjaga. Dia pun menganggukkan kepalanya paham.
Mereka di sambut oleh pelayan saat memasuki rumah Kakek, dan mereka langsung diarahkan ke ruang makan.
Dari kejauhan, Ara bisa mendengar suara bising seperti suara orang dewasa berbicara. Hal itu membuat Ara menghentikan langkahnya.
"Kak, itu suara siapa? Gak mungkin, kan, itu suara bodyguard?" tanya Ara. Dia menatap curiga pada Gevan.
"Itu suara anak dan cucu Kakek. Mereka tinggal di sini," jawab Gevan bohong.
Padahal faktanya Kakek mengundang anak-anaknya untuk ikut makan malam. Sekaligus memperkenalkan Ara sebagai calon istri Gevan. Awalnya Gevan ragu mengajak Ara datang, tapi karena paksaan Kakek dan segala ancaman, akhirnya Gevan mau. Sungguh ini diluar rencananya. Dan Ara korbannya di sini.
"Dasar penipu!" bisik Ara dengan tajam.
Dia bahkan tak segan mencubit perut Gevan saat melihat perkumpulan keluarga besar di meja makan. Mustahil rumah yang cukup sederhana ini dihuni manusia sebanyak itu. Terlebih ada kedua orang tua Gevan juga di sana.
***
indah banget, ga neko2
like
sub
give
komen
iklan
bunga
kopi
vote
fillow
bintang
paket lengkap sukak bgt, byk pikin baper😘😍😘😍😘😍😘😍😘