Perjodohan adalah sesuatu yang Mazaya benci. Dari setiap novel yang ia baca, selalu saja pihak perempuan yang jadi sosok tertindas. Kadangkala ending cerita sang suami menjadi bucin. Kadang kala ada juga yang berakhir dengan perceraian dengan sang perempuan menikah lagi kemudian hidup bahagia dan laki-laki hidup dalam penyesalan.
Namun bagaimana bila Mazaya lah yang menjadi tokoh seperti dalam novel tersebut, terpaksa menikah karena perjodohan?
Apalagi setelah ia tahu, sosok yang dijodohkan dengan dirinya telah memiliki kekasih.
Sungguh, Mazaya tak ingin melewati proses jadi istri yang tertindas.
BIG NO!!!
Namun untuk ending, siapa yang tahu. Yang pasti, ia tak mau ditindas apalagi oleh sang pelakor meskipun dia adalah wanita yang suaminya cintai. Lalu bagaimana caranya agar ia tidak ditindas oleh pasangan sialan tersebut?
Makanya, yuk tap ❤️ untuk mengikuti cerita selengkapnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Curiga
Suasana pagi ini terasa begitu canggung. Baik Mazaya maupun Gemilang, keduanya saling bungkam sejak perdebatan semalam. Bahkan Gemilang memilih tidur di ruang kerjanya. Walau tidak sepenuhnya tidur sebab apa yang Mazaya katakan semalam cukup membuatnya terus kepikiran. Namun biarpun begitu, Mazaya tetap melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya dengan baik. Mulai dari menyiapkan sarapan, pakaian, bahkan tas kerja pun Mazaya siapkan dengan baik. Tanpa sadar, Gemilang memuji Mazaya merupakan pribadi yang sangat bertanggung jawab. Meskipun mereka menikah tanpa dasar cinta, tapi Mazaya memperlakukannya dengan baik.
Perlahan, rasa nyaman itu mulai menyusup sanubarinya. Bila tokoh-tokoh novel lain yang menikah karena perjodohan mungkin menolak perhatian dari pasangannya, tapi Gemilang tidak begitu. Ia tidak sejahat itu untuk menolak seseorang yang ingin berbuat kebaikan dan melaksanakan tanggung jawabnya. Yang Gemilang pikirkan justru, ia yang belum sama sekali melakukan tanggung jawabnya.
"Em Zaya ... "
"Mas Elang ... "
Ucap mereka serempak. Kedua netra mereka saling bersirobok hingga terpaku. Gemilang yang memiliki netra yang tajam dan tegas, serta Mazaya yang memiliki netra teduh dan cantik, membuat mereka saling terpaku, terbenam dalam lautan keindahan tatapan masing-masing.
"Eh, ekhem ... " Gemilang memutuskan pandangannya terlebih dahulu. Ia berdeham untuk menetralkan degupan jantungnya yang meronta liar. Sesuatu yang tak pernah terjadi seumur hidupnya. Gemilang sampai membatin, sebenarnya apa yang terjadi dengan jantungnya? Kenapa setiap mereka saling bertatapan, kinerja jantungnya tiba-tiba meningkat drastis? Seolah ada genderang yang ditabuh dengan begitu kencang tepat di dalam rongga dadanya. Gemilang benar-benar bingung dengan dirinya sendiri.
"Em, mas Elang mau ngomong apa? Silahkan mas bicara dulu, setelah itu aku." Ucap Mazaya memecah kecanggungan diantara keduanya.
"Emmm ... kamu saja dulu. Kamu mau ngomong apa? Katakan saja." Gemilang justru mempersilahkan Mazaya bicara terlebih dahulu. Sesuatu yang tak pernah terjadi. Biasanya ia selalu bersikap dominan dan utama, tapi kali ini ia justru mengalah.
"Ya udah kalau begitu. Emmm ... sebenarnya aku cuma mau bilang, aku mau bekerja," ucapnya membuat Gemilang awalnya terdiam. Kemudian dalam hitungan detik, ia tertawa kencang.
"Kerja? Kerja apa, hm? Jangan aneh-aneh kamu! Mau kerja apa kamu, heh? Jadi pelayan cafe, pelayan rumah tangga, tukang cuci piring, atau cleaning servis," cibir Gemilang sebab ia mengira gadis kampung lulusan SMA biasanya hanya bisa bekerja seperti itu.
Wajah Mazaya jadi merah padam mendengar kata-kata pedas dari Gemilang.
"Sudah, dari pada kamu capek-capek kerja, mending di rumah aja, jadi nyonya Cakrabuana. Tak perlu kerja, uang mengalir tanpa perlu pusing memikirkan dari mana asalnya. Mau belanja apapun bebas, terserah, tak ada batas, bisa kau pergunakan sesukamu," tutur Gemilang sambil melemparkan sebuah benda pipih berbentuk segi empat berwarna hitam ke hadapan Mazaya.
Mata Mazaya memicing tajam, ia paling tak suka melihat sifat meremehkan. Dirinya saja yang sebenarnya punya segalanya tak pernah mau meremehkan orang lain, lalu kini suaminya lah yang meremehkannya. Meskipun sebenarnya tidak salah suaminya sepenuhnya sebab dirinya sendiri lah yang menginginkan identitasnya dirahasiakan, tapi tetap saja, ia merasa tersinggung dengan respon Gemilang.
Lalu dengan tenang Mazaya meraih benda pipih tersebut sambil tersenyum lebar. Gemilang awalnya tersenyum pongah, merasa istrinya mau menuruti kata-katanya, tapi tiba-tiba senyum itu berganti menjadi ekspresi terkejut. Matanya membulat, mulutnya menganga.
Bagaimana tidak, bila perempuan lain pasti akan dengan senang hati menerima pemberiannya apalagi ini merupakan kartu yang bisa dipergunakan tanpa batas, tapi Mazaya sungguh berbeda. Ia benar-benar berbeda dari makhluk berjenis kelamin perempuan lainnya. Mazaya justru mematahkan kartu tersebut dengan santai dan senyum terkembang. Seolah kartu itu hanyalah benda tak berguna di matanya.
"Kau ... "
"Kenapa?" sambar Mazaya cepat.
"Kau itu bodoh atau apa hah? Kau tahu tidak, kartu itu ... "
"Kartu yang paling digilai perempuan karena dapat memuaskan hasrat belanjanya, begitu? Oh, no, jangan samakan aku seperti perempuan-perempuan materialistis itu, tuan. Aku berbeda dan aku tidak suka diremehkan seperti ini. Aku lebih baik bekerja siang malam dari pada direndahkan seperti ini." Tekan Mazaya membuat Gemilang tak habis pikir dengan keberanian sang istri.
"Bekerja? Untuk apa kau bekerja, hah? Kau ingin membuat mama dan papa marah karena menilai ku tidak memenuhi tanggung jawab ku terhadap mu? Kau ingin membuatku seolah-olah tidak menafkahi mu, begitu?" sentak Gemilang
Emosinya kembali terpancing. Ia merasa Mazaya begitu berani menentangnya.
"Nafkah?" beo Mazaya dengan memasang wajah polos membuat buncahan amarah Gemilang justru mereda. "Apakah mas lulus sekolah melalui jalur belakang?"
"Apa maksudmu?" tanya Gemilang bingung kenapa tiba-tiba Mazaya justru menanyakan perihal kelulusan sekolahnya.
"Ya, mas tidak memiliki attitude sama sekali persis orang-orang yang lulus sekolah melalui jalur belakang. Sekolah nggak, tau-tau dapat ijazah. Saat praktek di lapangan semua nilainya 0, baik dari kemampuan akademik maupun attitude. Tidakkah mas bisa memberikan kartu itu secara baik-baik? Aku sudah mencoba bersikap baik padamu, tapi sikapmu selalu saja bertentangan denganku. Alih-alih memberikan nafkah, kau justru seperti melemparkan kotoran ke muka ku. Aku bukan pengemis. Pengemis pun tak layak diperlakukan kasar. Memberi itu harus dengan cara baik-baik, bukan melempar sembarangan seperti itu." Geram Mazaya dengan emosi yang meletup-letup.
"Ya, ya, ya, maafkan bila sikapku tadi keterlaluan Nanti kartu itu akan aku ganti." Tutur Gemilang yang lagi-lagi terpaksa mengalah. "Memangnya kau mau bekerja di mana? Aku tidak mau kau bekerja sembarangan yang nantinya justru dimanfaatkan orang yang menghancurkan nama baikku."
"Syailendra Group. Aku bekerja di sana." Jawab Mazaya singkat, jelas, dan padat membuat Gemilang yang menyesap kopinya menyemburkannya hingga terbatuk-batuk.
"Ckkk ... mas seperti anak kecil saja, minum kopi kok bisa tersedak," ejek Mazaya sambil mengulurkan air putih yang memang sudah ada di depannya.
"Ulangi kata-kata mu tadi!" titah Gemilang sambil Gemilang sambil menatap lekat Mazaya yang berdiri di sampingnya.
"Yang mana? Yang mas seperti anak kecil ... "
"Bukan. Bukan yang itu, "potong Gemilang. "Yang tadi, kau bekerja di mana tadi? Aku ... nggak salah dengar kan?"
"Oh." Bibir merah muda Mazaya membulat. "Aku bekerja di Syailendra Group, kenapa?" Ucap Mazaya sambil menghenyakkan bokongnya di kursi yang di dudukinya tadi.
"Kau tidak sedang bercanda kan?" Gemilang merasa sangsi dengan apa yang didengarnya.
"Aku serius, mas. Ck ... udahlah mas, cepat selesaikan sarapannya. Aku pun mau pergi bekerja ," seru Mazaya sambil membereskan piringnya yang telah kosong.
"Bagian apa?" Sepertinya Gemilang masih penasaran dengan pekerjaan Mazaya.
Bukan tanpa alasan, Gemilang tahu, perusahaan itu tidak pernah menerima karyawan sembarangan. Untuk bekerja disana, seleksinya begitu ketat sesuai dengan gajinya yang nyaris dua kali lipat dari gaji perusahaan lain.
Bisa dibilang, karyawannya merupakan kumpulan orang-orang yang memiliki kemampuan mumpuni di bidangnya. Yang dinilai bukan hanya hasil akademik, tapi kemampuan kinerjanya. Bila mereka benar-benar sesuai kriteria yang mereka cari, barulah mereka bisa diterima di perusahaan itu.
"Oh, hanya staf biasa kok." Jawab Mazaya acuh tak acuh.
'Staf biasa? Mana ada staf biasa di perusahaan itu.'
"Staf biasa? Staf biasa atau office girl?"
"Ck ... aku bekerja sebagai staf, mas, bukan office girl seperti dugaan kamu. Kamu pikir aku sebodoh itu sampai nggak mampu bekerja." Sentak Mazaya kesal.
"Bagaimana kau bisa bekerja di sana? Kau tahu, seleksi menjadi karyawan di sana saja begitu ketat, lalu kau ... "
"Ssst ... ini rahasia kita ya!" ucap Mazaya seolah berbisik. Bodohnya, Gemilang mendekatkan wajahnya seolah takut ada yang ikut mendengar pembicaraan mereka. Padahal di ruangan itu hanya ada mereka berdua saja. "Aku bisa bekerja di sana dibantu teman. Dia itu asisten pribadinya CEO Syailendra Group. Namanya Willy. Sebenarnya yang menjadi sahabatku itu saudara kembarnya, Windy yang merupakan sekretaris CEO, tapi karena yang memiliki kuasa untuk memasukkan karyawan itu Willy, jadi Willy lah yang memasukkan ku bekerja di sana." Ucap Mazaya dengan memasang tampang meyakinkan.
Gemilang terperangah mendengarnya. Antara percaya tak percaya, ternyata istrinya memiliki circle pertemanan yang tak terduga.
'Benarkah apa yang dia katakan? Kenapa aku merasa ada sesuatu yang dia sembunyikan ya? Tapi apa itu? Sepertinya aku memang perlu mencari tahu segala hal tentang dirinya.' batin Gemilang bermonolog.
...***...
...HAPPY READING. 🥰🥰🥰...