Empat tahun berlalu, Jagat Hartadi masih larut dalam perasaan cinta tak berbalas. Dia memilih menjalani hidup sendiri, hingga suatu malam dirinya membantu seorang wanita yang pingsan di pinggir jalan.
Jenna, itulah nama wanita tersebut. Siapa sangka, dia memiliki kisah kelam menyedihkan, yang membuat Jagat iba.
Dari sana, timbul niat Jagat untuk menikahi Jenna, meskipun belum mengenal baik wanita itu. Pernikahan tanpa dilandasi cinta akhirnya terjadi.
Akankah pernikahan yang berawal dari rasa kasihan, bisa menjadi surga dunia bagi Jenna dan Jagat?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komalasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 18 : Kebohongan dan Perselingkuhan
“Kenapa?” tanya Jagat, melihat Jenna tertegun beberapa saat.
Jenna langsung menggeleng, lalu tersenyum.
“Tidak apa-apa. Kamu adalah istri Jagat Hartadi.” Jagat tersenyum kalem, seraya makin mengeratkan genggaman tangan. Dituntunnya Jenna menghadap Haris, dan wanita yang membuat sang istri terlihat risi.
“Selamat datang, Pak Jagat,” sambut Haris hangat, seraya langsung menyalami Jagat.
“Terima kasih, Pak Haris,” balas Jagat.
“Selamat datang, Bu ….” Haris mengalihkan perhatian kepada Jenna, yang menatapnya dengan sorot kurang bersahabat.
“Jenna.” Jagat menyebutkan nama sang istri dengan penuh percaya diri.
“Oh, Bu Jenna.” Haris tersenyum kalem. “Kemarin, kita tidak sempat berkenalan,” ucapnya basa-basi.
Jenna menyunggingkan senyum kecil yang terkesan dipaksakan, lalu mengangguk samar. Namun, dia tidak mengatakan apa-apa.
“Kebetulan sekali, Anda mengajak serta Bu Jenna kemari. Istri saya baru tiba tadi pagi dari Amsterdam,” ucap Haris, melirik wanita yang tak lain adalah Viviana.
Viviana tersenyum anggun. “Suami saya sedikit bercerita tentang Anda, Pak Jagat,” ucapnya penuh wibawa. Tampak jelas bahwa dia bukanlah wanita biasa.
“Semoga hanya hal-hal yang baik,” ucap Jagat menanggapi.
“Ah, tentu saja.” Viviana tersenyum hangat. “Suami saya bukan tipikal orang yang senang mengumbar kejelekan orang lain. Apalagi terhadap rekan bisnis.”
“Kamu terlalu berlebihan, Vie.” Haris menimpali santai. Sesekali, ekor matanya mengarah kepada Jenna yang lebih memilih diam. “Baiklah. Kita lanjutkan perbincangan di beranda samping saja. Di sana, suasana serta pemandangannya jauh lebih mengasyikan,” ajak Haris, seraya mengarahkan tangan ke dalam villa mewahnya.
Jagat mengangguk penuh wibawa, kemudian meraih tangan Jenna. Dituntunnya sang istri mengikuti Haris dan Viviana, yang membawa mereka ke beranda samping villa.
Di sana, suasananya memang jauh lebih indah. Nuansa hijau begitu terasa. Pepohonan rindang menghiasi sekeliling halaman berlapis rumput.
Haris mempersilakan kedua tamunya duduk di sofa warna putih. Sangat kontras dengan keadaan sekeliling.
“Bagaimana jika Anda membantu saya mengambil teh dan kudapan dari dalam?” Viviana mengarahkan perhatian kepada Jenna. “Kami tidak memiliki pelayan karena jarang sekali mengunjungi tempat ini,” ucap wanita dengan rentang usia sekitar 35-40 tahun tersebut.
“Oh, ya. Tentu.” Jenna yang sudah duduk, kembali berdiri. Dia mengikuti Viviana, meninggalkan Jagat dan Haris yang langsung memulai perbincangan ringan.
Sebenarnya, Jenna tidak menyukai situasi saat ini. Jika bisa, dia ingin melarikan diri dari sana. Namun, tak ada yang dapat dilakukan, selain terus menerka-nerka dan diliputi keresahan.
"Saya dengar, Bu Jenna baru melahirkan,” ucap Viviana basa-basi, setelah tiba di dapur.
“Um, iya,” balas Jenna singkat. Dia agak kikuk dan kebingungan mencari bahan obrolan.
“Selamat,” ucap Viviana, seraya menoleh. Wanita dengan rambut yang disanggul ala pramugari itu tersenyum. Namun, sorot matanya terlihat agak aneh sehingga membuat Jenna kian tak nyaman.
“Terima kasih,” balas Jenna, berusaha menetralkan perasaan tak keruan dalam dada.
"Menurut suami saya, bayi Bu Jenna berjenis kelamin laki-laki,” ucap Viviana lagi.
Jenna mengangguk. “Ya.” Lagi-lagi, dia menanggapi singkat.
“Banyak pasangan suami-istri yang mengharapkan anak laki-laki. Bu Jenna dan Pak Jagat sangat beruntung.” Viviana yang telah selesai menyiapkan teh, mengalihkan perhatian sepenuhnya kepada Jenna. Entah mengapa, tatapannya masih terlihat aneh, seakan tengah menganalisis wanita muda di hadapannya.
“Saya dan suami tidak ada target harus memiliki anak dengan jenis kelamin tertentu. Kami bersyukur atas apa pun yang diberikan Tuhan,” ucap Jenna. Kali ini, dia bicara sedikit lebih banyak.
“Itu sudah seharusnya karena tidak semua pasangan mendapatkan anugerah seperti itu. Contohnya saya. Hingga saat ini, saya belum dipercaya Tuhan untuk memiliki momongan. Tapi, apa yang bisa saya lakukan?”
“Dunia medis saat ini sudah sangat canggih.” Jenna menanggapi tenang. Dia mulai berhasil menguasai rasa tak nyaman, meskipun belum sepenuhnya sirna.
Viviana tersenyum, lalu mengangkat nampan berisi poci dan empat buah cangkir. “Saya terlalu berhasrat memiliki anak dari rahim sendiri secara alami. Padahal, itu tidak mungkin," ucapnya. Viviana mengembuskan napas pelan, kemudian berlalu lebih dulu.
Jenna pun langsung mengambil nampan berisi kudapan, lalu mengikuti keluar dari dapur.
Sesaat kemudian, kedua wanita itu telah bergabung dengan para pria di beranda samping. Obrolan ringan mengalir, mengantarkan mereka pada suasana cukup akrab, meskipun masih ada batasan kecanggungan dalam bahasa tubuh serta beberapa pembahasan.
“Omong-omong, sudah berapa lama usia pernikahan Pak Jagat dan Bu Jenna?” tanya Viviana, setelah meneguk teh-nya.
Seketika, Jagat dan Jenna terdiam sejenak, memikirkan jawaban yang akan diberikan, mengingat usia pernikahan mereka tak sesuai dengan kelahiran Sakha.
“Setahun dua bulan,” jawab Jenna tenang. Raut wajahnya tak menggambarkan seseorang yang tengah berbohong. Siapa pun pasti akan percaya, hanya dengan melihat ekspresi ibu satu anak tersebut.
“Masih terbilang pengantin baru rupanya.” Viviana menanggapi.
“Ya. Kami sepakat untuk tidak menunda memiliki momongan,” balas Jenna tenang dan terdengar sangat meyakinkan.
Sikap Jenna membuat Jagat menatapnya dengan sorot tak dapat diartikan. Dia merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan wanita yang dinikahinya tersebut. Namun, Jagat belum terlalu yakin dengan apa yang dipikirkan. Bisa saja, Jenna melakukan itu karena terpaksa, demi menutupi kenyataan yang sebenarnya.
“Sayang sekali karena kita baru bertemu kali ini. Padahal, akan jadi suatu kehormatan bisa menjadi saksi pernikahan Pak Jagat dan Bu Jenna,” ucap Haris, yang sejak tadi hanya menyimak sambil memperhatikan Jenna.
Jenna langsung menoleh. Seketika, raut wajahnya berubah, saat bertatapan langsung dengan Haris.
“Anda justru menghadiri momen membahagiakan bagi saya dan istri, yaitu upacara pembaptisan Sakha,” ucap Jagat.
Haris segera mengalihkan pandangan dari Jenna. Fokusnya berpindah kepada Jagat. “Saya sangat terkesan dengan keramahan Anda, Pak Jagat. Pantaslah Bu Jenna terlihat sangat mencintai Anda.” Haris mencoba berkelakar.
Usahanya tidak sia-sia. Jagat dan Viviana langsung menanggapi dengan senyum cukup lebar.
“Sudah seharusnya seorang istri menumpahkan seluruh rasa cinta kepada suami. Begitu pun sebaliknya. Saling menghargai dan menerima kekurangan masing-masing, adalah hal terpenting dalam menjaga kelangsungan rumah tangga. Jangan mencari apa yang tidak ada dalam diri pasangan dari orang lain.” Viviana melirik sang suami, lalu tersenyum.
Haris sendiri hanya berdehem pelan. Pria itu berusaha tidak terpengaruh. Dia sangat pandai menguasai diri.
“Kebohongan dan perselingkuhan, merupakan dua penyakit menakutkan dalam pernikahan. Saya pikir, keduanya tidak bisa dimaafkan karena kebohongan dan perselingkuhan telah mencederai yang namanya kepercayaan. Kita tahu bahwa kepercayaan adalah landasan dalam setiap ikatan,” ucap Jagat menanggapi bijak.
“Ya. Anda benar sekali, Pak Jagat. Perselingkuhan tidak pantas untuk dimaafkan,” timpal Viviana, menatap Haris dan Jenna secara bergantian.