Untuk mengungkap penyebab adiknya bunuh diri, Vera menyamar menjadi siswi SMA. Dia mendekati pacar adiknya yang seorang bad boy tapi ternyata ada bad boy lain yang juga mengincar adiknya. Siapakah pelakunya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 17
Sagara menekan ponselnya dengan kuat, menatap foto yang baru dikirim Vera di layar ponselnya dengan sorot mata tajam. "I love you, Rhea?" Dadanya terasa sesak membaca kalimat itu. Apakah selama ini Evan dan Rhea bermain di belakangnya?
Dia tidak ingin langsung menyimpulkan, tapi perasaan tidak enak terus menghantui pikirannya. Evan harus menjelaskan semuanya.
Sagara segera menelepon Evan, suaranya dingin dan tegas. "Evan, lo di mana sekarang?"
"Gue di rumah. Kenapa? Mau tanya soal PR?" suara Evan terdengar santai di seberang.
"Bukan. Lo bisa ke basecamp gue sekarang? Gue ada perlu sama lo."
Tanpa menunggu jawaban, Sagara langsung memutus panggilannya. Dia tidak peduli apakah Evan akan datang dengan sukarela atau tidak. Yang jelas, malam ini dia harus mendapatkan jawaban.
Setelah keluar dari rumahnya, Sagara langsung naik ke boncengan motor Zavin, yang sudah menunggu dengan mesin menyala.
"Kenapa tiba-tiba lo mau ke basecamp? Kalau bokap lo marah, gimana?" tanya Zavin, sedikit ragu karena tangan Sagara belum sembuh total.
"Udah, lo gas aja. Biar masalah ini cepat kelar," jawab Sagara tak sabar.
Zavin menghela napas, tapi menurut. Motor segera melaju menembus malam, membelah jalanan kota yang mulai lengang.
Di belakang, Sagara kembali menatap layar ponselnya. Jarinya mengetuk-ngetuk casingnya dengan gelisah. I love you, Rhea.
Kalimat itu seperti belati yang menusuk ke dalam pikirannya. Jika memang Evan selama ini menyimpan perasaan untuk Rhea, kenapa Rhea tidak pernah bilang? Ataukah … mereka memang menyembunyikannya darinya?
Malam itu, dia akan mencari tahu kebenarannya. Memaksa Evan untuk mengatakan yang sebenarnya, mudah baginya.
Setelah sampai di depan basecamp, Sagara hanya duduk di atas motor dan menyesap rokoknya dengan tatapan tajam ke arah jalan. Malam itu udara terasa lebih dingin dari biasanya, atau mungkin hanya perasaannya saja yang terlalu penuh dengan kemarahan dan kecurigaan.
Di sekelilingnya, beberapa teman satu gengnya duduk santai, sebagian merokok, sebagian sibuk dengan ponsel mereka. Tapi semua tahu, ada sesuatu yang sedang ditunggu malam itu.
"Kalau Evan benar melakukannya, apa yang kita lakukan?" tanya Adit, salah satu temannya, sambil menyandarkan punggung ke tembok.
Sagara menghembuskan asap rokoknya perlahan, matanya masih terpaku ke jalanan. "Gue gak yakin dia berani, tapi kalau memang dia pelakunya, kita hajar dia._
Beberapa anak lain mengangguk setuju. Mereka bukan tipe orang yang suka cari masalah tanpa alasan, tapi jika seseorang menyakiti atau mengkhianati mereka, maka konsekuensinya tidak akan ringan.
Sagara membuang puntung rokoknya ke tanah dan menginjaknya dengan ujung sepatu. Dia mencoba mengendalikan emosinya, tapi pikirannya terus berputar pada satu hal. Jika Evan memang menyukai Rhea, kenapa dia tidak pernah bilang? Apakah dia hanya menyimpan rasa, ataukah dia telah melakukan sesuatu yang lebih dari sekadar menyukai?
Angin malam bertiup pelan, membawa suara motor yang semakin mendekat. Semua kepala menoleh ke arah sumber suara.
Evan akhirnya tiba di basecamp, menghentikan motornya dengan ragu. Matanya berkeliling, melihat beberapa anak yang berdiri di sekitar, tatapan mereka tajam dan penuh pengawasan. Ada sesuatu yang tidak beres, dan dia bisa merasakannya.
Sagara, turun dari motornya dan menggerakkan dagunya sedikit, memberi kode agar Evan mengikutinya masuk ke dalam.
Tanpa banyak pilihan, Evan melangkah masuk. Di dalam ruangan, suasana semakin tegang. Beberapa anak duduk mengitari meja kecil yang dipenuhi puntung rokok dan kaleng soda kosong. Lampu yang remang-remang membuat ruangan terasa semakin sempit dan sesak.
Evan menelan ludah, lalu duduk di hadapan Sagara yang tetap tenang, tetapi sorot matanya menusuk.
Tanpa basa-basi, Sagara merogoh ponselnya, membuka layar, dan menunjukkan sebuah foto. Tulisan tangan di halaman belakang sebuah buku catatan muncul jelas di layar.
"I love you, Rhea."
Evan membelalakkan mata. Darimana Sagara mendapatkannya? Itu… tulisan miliknya.
“Jelaskan,” suara Sagara terdengar datar, tapi penuh tekanan. “Apa maksud ini? Lo selingkuh sama Rhea?”
Ruangan seketika hening. Semua mata tertuju pada Evan dan menunggu jawaban.
Evan menggigit bibirnya, tangannya mengepal di atas pahanya. Dia bisa merasakan jantungnya berdetak kencang.
"Jawab, Van!" desak Adit dari samping.
Evan mengangkat wajahnya, menatap Sagara dengan campuran ketakutan dan kebingungan. "Gue... gue gak selingkuh sama Rhea." Suaranya terdengar lemah dan bergetar.
Sagara masih menatapnya tajam. “Terus, kenapa lo nulis ini?”
Evan menarik napas dalam. Dia harus hati-hati dengan setiap kata yang keluar dari mulutnya. Keringat dingin mengalir di pelipisnya saat Zavin dan Adit mendekat, tatapan mereka tajam dan penuh ancaman. Kedua tangannya mengepal erat di atas pahanya, berusaha meredam gemetar yang semakin terasa.
“Kalau lo nggak jujur, lo tahu akibatnya, kan?” suara Adit penuh ancaman di dekatnya.
Evan menelan ludah. Napasnya memburu. Dia tahu dia dalam posisi yang sangat berbahaya sekarang.
“Gue…” Evan menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya menjawab. “Gue memang suka sama Rhea, tapi dia nolak gue. Iya, gue salah. Gue tahu dia pacar lo, Saga. Gue nggak seharusnya suka sama Rhea. Gue juga merasa sangat bersalah karena Rhea bunuh diri.”
Suasana makin mencekam. Wajah Sagara tetap tanpa ekspresi, tapi sorot matanya semakin tajam.
Zavin, yang sudah tidak sabar, langsung melingkarkan lengannya ke leher Evan, menariknya dengan kuat hingga Evan tersedak. “Lo paksa Rhea buat berhubungan? Hah?! Karena lo sering belajar di rumahnya jadi lo ada kesempatan melakukannya!”
Evan meronta, wajahnya mulai memerah karena kekurangan udara. “Nggak! Gue nggak pernah melakukan itu!” suaranya serak dan putus-putus. “Gue memang membantu dia belajar di rumahnya… tapi waktu itu ada Pak Novan! Gue nggak pernah ngelakuin hal kayak gitu!”
Sagara memperhatikan setiap gerak-gerik Evan. Matanya menyipit, menimbang apakah cowok itu berbohong atau tidak. Lalu, setelah beberapa detik hening, Sagara akhirnya memberi kode dengan tangannya agar Zavin melepas Evan.
Zavin berdecak kesal, tapi perlahan melepas cengkeramannya.
Evan langsung terbatuk, tangannya refleks memegang lehernya yang masih terasa nyeri.
“Kalau lo bohong…” Adit mendekat, menepuk pipi Evan dengan ringan tapi penuh ancaman. “Lo habis sama kita.”
Sagara membuang napas kasar. "Pak Novan! Gue sudah curiga sama dia sebelumnya."
"Apa perlu, kita bawa dia ke sini."
"Dia guru dan pasti punya banyak koneksi. Jangan bertindak gegabah. Kita harus cari bukti." Sagara kembali mengambil rokoknya dan melempar sisanya pada Evan.
Evan hanya menggelengkan kepalanya karena dia memang tidak merokok.
Sagara kembali mendekat. "Satu lagi, lo boleh dekat dengan Vera tapi jangan pakai perasaan lagi! Dia bukan cewek sembarangan!"
ok lanjuuut...