GURUKU ADALAH CINTAKU, BIDADARI HATIKU, DAN CINTA PERTAMAKU.
******
"Anda mau kan jadi pacar saya?" Seorang pria muda berjongkok, menekuk satu kakinya ke belakang. Dia membawa sekuntum mawar, meraih tangan wanita di hadapannya.
Wanita itu, ehm Gurunya di sekolah hanya diam mematung, terkejut melihat pengungkapan cinta dari muridnya yang terkenal sebagai anak dari pemilik sekolah tempatnya bekerja, juga anak paling populer di sekolah dan di sukai banyak wanita. Pria di hadapannya ini adalah pria dingin, tidak punya teman dan pacar tapi tiba-tiba mengungkapkan cintanya ... sungguh mengejutkan.
"Saya suka sama anda, Bu. Anda mau kan menerima cinta saya?" lagi pria muda itu.
"Tapi saya gurumu, Kae. Saya sudah tua, apa kamu nggak malu punya pacar seperti saya?"
Sang pria pun berdiri, menatap tajam kearah wanita dewasa di hadapannya. "Apa perlu saya belikan anda satu buah pesawat agar anda menerima cinta saya? saya serius Bu, saya tidak main-main,"
"Tapi..."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Grace caroline, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 12. Niat Menjodohkan
Keesokan harinya ...
Hari ini, saatnya menjemput Lingga di bandara. Kaesang dan Zora bergegas keluar rumah, melompat ke mobil Kaesang. Setelah keduanya siap, mobil pun melaju menuju bandara.
Sepanjang perjalanan, suasana hening menyelimuti mereka. Zora sebenarnya ingin mengajak Kaesang berbincang, namun sepertinya Kaesang enggan membuka suara. Beberapa kali Zora mencoba memulai percakapan, namun Kaesang hanya menjawab singkat, tanpa menatapnya.
"Ehm, Kae," panggil Zora, suaranya sedikit ragu.
Kaesang tidak menjawab, juga tidak menoleh.
"Temen Mama ada yang mau ngenalin anaknya sama kamu. Katanya dia tertarik sama kamu. Kamu--" Zora belum selesai bicara, Kaesang sudah menyela. Dia tahu ke mana arah pembicaraan mamanya, dan dia sangat tidak menyukai hal itu.
Dengan marah dan pandangan mata yang tajam Kaesang menoleh singkat ke arah mamanya, yang saat itu juga tengah menatap ke arahnya.
"Aku nggak mau. Aku udah tau ke mana arah pembicaraan Mama itu. Pokoknya aku nggak mau!" Kaesang langsung menolaknya. Suaranya terdengar tegas, matanya berkilat tajam, membuat Zora sejenak terdiam, ragu untuk kembali berkata-kata.
Dengan sedikit ragu, Zora kembali berucap. "Dia cuma pengen ketemu--" lagi-lagi Kaesang memotong ucapan Zora.
"Aku bilang nggak ya nggak. Jangan paksa Aku!" Ini adalah kali pertama atau entah kali yang ke berapa Kaesang berbicara keras pada Zora. Bahkan, nada bicaranya terdengar seperti membentak.
Zora tidak marah kepada Kaesang atas sikap tidak sopannya. Tapi Zora justru merasa sedih melihat perubahan sikap Kaesang. Dari dulu hingga sekarang Zora masih bertanya-tanya apa yang membuat Kaesang berubah seperti ini.
Akhirnya mereka pun tiba di area bandara. Kaesang dan Zora langsung memarkir mobil di area khusus, lalu bergegas menuju pintu masuk. Mata mereka sibuk mencari-cari sosok Lingga. "Pesawatnya udah landing, ya?" tanya Kaesang, sedikit malas.
"Entah, mama lupa jam berapa pesawatnya landing," jawab Zora, sambil terus mengamati kerumunan penumpang yang keluar dari pintu kedatangan.
Setelah beberapa saat mencari mereka menemukan Lingga di area shopping dan dining arcade. Dia sedang asyik berbelanja, tak menyadari sepasang mata yang sedari tadi memperhatikannya dari kejauhan. Zora, dengan kerinduan yang membuncah, segera menghampiri Lingga, bersama dengan Kaesang.
Lingga menoleh, matanya berbinar saat melihat mamanya dan Kaesang. Segera, dia menarik kopernya dan berlari menghampiri mereka. Begitu sampai di depan, Lingga langsung memeluk erat mamanya, tangisan haru mereka pecah bersamaan.
"Mama, aku kangen banget!" lirih Lingga, matanya berkaca-kaca. Zora melepaskan pelukannya dan lembut mengusap air mata yang menetes di pipi Lingga. "Mama sehat, kan?"
Zora tersenyum dan membalas. "Mama baik. Kamu apa kabar nak, Mama kangen banget sama kamu. Rasanya waktu denger kamu mau pulang Mama nggak sabar banget buat segera jemput kamu Dan peluk kamu kayak gini." Zora memang sangat merindukan Lingga. Begitupun dengan Lingga.
Keduanya kembali memeluk. Hingga melupakan Kaesang yang juga ada di sana. Lingga melepaskan pelukan mamanya, matanya beralih ke Kaesang. Senyum tipis mengembang di bibirnya. Dia mendekat dan memeluk Kaesang, namun pelukan itu tak dibalas. Kaesang tetap diam, wajahnya datar, tanpa ekspresi.
"Gue kangen banget sama Lo bang. Lo baik kan? gue seneng banget bisa ketemu dan peluk Lo gini," Senyum merekah di wajah Lingga saat bertemu Kaesang lagi. Namun, senyum itu tak berbalas. Kaesang hanya diam, tak membalas pelukan Lingga, tak juga menanggapi sapaannya.
Lingga mengurai pelukannya sesaat mendapati Kaesang tidak membalas pelukannya dan menjawab ucapannya. Tatapan Lingga luruh ke arah Kaesang yang tak menatapnya balik. Pandangan Kaesang tertuju ke arah lain, dan itu membuat Lingga sedih.
"Ayo balik." Kaesang segera membalikkan badannya dan pergi dari sana menuju ke area bandara. Zora dan Lingga mengikutinya di belakang. Mereka merasa sedih dengan sikap Kaesang. Sampai akhirnya mereka pun tiba di parkiran bandara dan segera memasuki mobil Kaesang.
Zora hendak masuk dan duduk di kursi depan, namun Kaesang menahannya. Tangannya mencengkeram tangan Zora yang hendak membuka pintu.
"Mama sama Lingga duduk di kursi belakang aja." Setelah mengatakan itu Kaesang segera masuk kedalam mobil dan memakai sabuk pengaman. Zora dan Lingga pun bergegas masuk, keduanya memasang sabuk pengaman masing-masing dan mobil pun berangkat, pergi dari area bandara.
Di sepanjang perjalanan, Zora dan Lingga asyik berbincang, mengobrol tentang berbagai hal. Sementara Kaesang tetap diam, matanya lurus ke depan. Tak terasa, mobil pun tiba di rumah. Zora dan Lingga segera turun, Lingga mengambil kopernya dari bagasi. Setelah keduanya turun, Kaesang turun sebentar dan bergegas masuk kembali ke dalam mobil.
Zora menghampiri Kaesang dan mengetuk kaca mobilnya yang tertutup. Kaesang, dengan tatapan malas, menurunkan kaca mobilnya.
"Kamu mau kemana, Kae? di rumah aja lagi, adik kamu baru pulang loh. Kamu nggak mau ngumpul-ngumpul sama Lingga? dia kangen loh sama kamu. Ayo turun dulu," Zora meminta Kaesang untuk turun dan tidak pergi.
Tapi Kaesang sama sekali tak menghiraukannya. Ia malah menutup kaca mobil dan melaju keluar dari rumah. Setelah Kaesang pergi Zora menghela nafas panjang dan membawa Lingga masuk ke dalam rumah.
Zora membawa Lingga duduk di sofa dan menyuruh asisten rumah tangganya untuk membuat minuman. "Tolong buatkan kita minuman, ya." Tak lama kemudian, sang asisten kembali dengan dua gelas jus jeruk. Setelah asistennya kembali ke dapur, Zora pun membuka suara.
"Ma, kak Kae kenapa sih? kok kayak marah gitu, dia nggak suka aku pulang ya?" Lingga tampak murung, matanya tertunduk lesu.
Zora meraih wajah Lingga, senyum tipis mengembang di bibirnya. "Kok ngomongnya gitu sih, Kakak kamu senang kok kamu pulang. Buktinya dia jemput kamu kan di bandara. Udah, kamu nggak usah sedih gitu. Kamu udah makan belum?
Tadi mama udah nyuruh bibi masak makanan kesukaan kamu. Yuk makan dulu, habis itu istirahat, pasti kamu capek." Zora perhatian sekali. Dia langsung menyuruh Lingga untuk makan dan Lingga pun menyetujuinya, meskipun sedikit sedih karena Kaesang tidak ada disana.
Keduanya segera pergi ke ruang makan dan makan bersama. Zora sebenarnya hanya menemani Lingga makan tapi Lingga terus memaksa Zora untuk makan bersamanya. Akhirnya Zora pun ikut makan. Keduanya kembali berbincang hangat, dan membahas banyak hal. Sampai tanpa terasa makanan di piring mereka pun habis.
*******
Kaesang yang bingung harus pergi kemana segera memutuskan untuk pergi ke warnet besar milik papanya. Saat tiba di sana, Kaesang melihat suasana warnet yang ramai dengan para pengunjung yang asyik bermain game.
"Haha, gue menanggg. Hoki banget gue!!" teriak salah satu pengunjung disana yang tengah asyik bermain game.
"Wah, lihat deh rompi gue bagus. Dapet trial nih," ucap pengunjung yang lain kepada temannya yang ada di sampingnya.
"Hooh, kalo dapetnya permanen pasti keren dah. Gue aja nggak dapet apa-apa. Keren Lo, iri gue." sahut temannya.
Mata Kaesang menyipit tajam, rahangnya mengeras menahan amarah yang tiba-tiba muncul begitu Lingga pulang. Tanpa basa-basi, ia langsung menuju salah satu komputer yang tersedia. Dia duduk di kursi yang nyaman dan mulai memilih game yang ingin dimainkan. Tanpa ragu, Kaesang memilih game petualangan yang menantang.
Saat memainkan game tersebut, Kaesang benar-benar larut dalam dunia virtual yang diciptakan oleh game tersebut. Dia melupakan segala masalahnya dan hanya fokus pada permainan yang sedang dia mainkan. Setiap level yang dia lewati membuatnya semakin tertantang dan semakin ingin menyelesaikan game tersebut.
"Yess, kurang beberapa level lagii!!" gumam Kaesang pelan, jari-jarinya lincah menari di atas tombol kontrol.
Tak terasa waktu pun berlalu dengan cepat. Kaesang sudah bermain game selama berjam-jam tanpa henti. Dia merasa senang bisa melupakan segala masalahnya dan hanya fokus pada permainan yang sedang dia mainkan.
Saat matahari mulai terbenam, Kaesang akhirnya menyadari bahwa dia sudah terlalu lama berada di warnet. Dengan langkah lesu, dia bangkit dari kursi dan melangkah keluar dari warnet.
***********
Seusai mengajar di Genius High School, Tyas langsung tancap gas pulang ke rumahnya. Begitu sampai, ia segera melangkah masuk. Pintu terbuka, dan ia hendak menuju kamar.
Namun, di ruang tamu, ia mendapati kedua orang tuanya sudah duduk menunggu. Senyum hangat terukir di wajah Tyas saat ia mendekat, menyapa mereka dengan hangat, dan men-ci-um punggung tangan kedua orang tuanya.
Tyas hendak berdiri tapi kedua orang tuanya menahan tangannya. Ia pun kembali duduk di kursinya.
"Ayah mau ngomong sama kamu." ujar Ayah Tyas, raut wajahnya tampak serius.
"Ada apa, Yah?" tanya Tyas penasaran.
Tanpa basa-basi ayah Tyas segera menjawab. "Ayah mau jodohin kamu dengan anak teman ayah. Dia usianya dua tahun lebih tua dari kamu dan dia orang kantoran. Besok dia mau datang kesini buat ketemu sama kamu," ujar ayah Tyas.
Kening Tyas berkerut mendengar ucapan sang ayah. Mendadak, hatinya dipenuhi rasa terkejut. Ia tak menyangka ayahnya akan membahas soal jodoh dan berniat untuk menjodohkannya. Dengan sedikit kecewa, Tyas perlahan bangkit dari duduknya. Ia berbalik, hendak pergi ke kamarnya.
"Jangan jodohin Tyas, ayah. Tyas nggak mau. Tyas mau cari jodoh Tyas sendiri." Setelah mengatakan itu Tyas segera pergi dari sana, menuju ke kamarnya. Pintu kamar terbuka lebar menyambutnya, dan Tyas melangkah masuk. Dengan sedikit gebrakan, pintu kamar kembali tertutup rapat.
Dia berjalan menuju ranjang dan merebahkan tubuhnya di sana.
Tyas merasa kesal dan frustasi dengan keputusan ayahnya untuk menjodohkannya dengan anak teman ayah. Dia merasa tidak siap untuk menjalin hubungan dengan orang yang tidak dikenalnya. Tyas merenung sejenak, mencoba mencari solusi untuk menghindari pertemuan besok.
"Dijodohin? Sama orang asing pula? Nggak, deh! Aku masih mau menikmati masa mudaku, jalan-jalan, makan enak, nggak mau ngurusin anak-anak dulu!
Lagian, siapa yang mau ngurusin si calon suami yang nggak kukenal itu? Mending aku tidur aja, mimpiin papi Minho dan ajak dia nikah!" Tyas pun menutup wajahnya dengan bantal, berbisik pelan, "Semoga besok mereka lupa."
Bersambung ...