Di tengah hujan deras yang mengguyur jalanan kota, Kinanti menemukan seorang anak kecil yang tersesat. Dengan tubuhnya yang menggigil kedinginan, anak itu tampak sangat membutuhkan bantuan. Tak lama kemudian, ayah dari anak itu muncul dan berterima kasih atas pertolongan yang ia berikan.
Meskipun pertemuan itu sederhana, tidak ada yang tahu bahwa itu adalah awal dari sebuah kisah yang akan mengubah hidup mereka berdua. Sebuah pertemuan yang membawa cinta dan harapan baru, yang muncul di tengah kesulitan yang mereka hadapi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rhtlun_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 24
Setelah melepaskan pelukan itu, Julian menatap Kinanti dengan penuh kasih. Wajahnya masih basah oleh hujan, namun sorot matanya hangat dan lembut. Ia menyentuh pipi Kinanti dengan ujung jarinya, lalu berkata dengan suara pelan namun tegas, "Kinanti, ketika kita sedang berdua, jangan panggil aku Tuan. Panggil aku Julian... atau sayang."
Kinanti terkejut mendengar permintaan Julian. Matanya membulat, dan tanpa sadar ia tertawa kecil. "Sayang? Itu terdengar sangat tidak biasa, Tuan." Ucapnya sambil menahan tawa.
Namun, Julian tidak menyerah. Ia menatap Kinanti dengan pandangan memohon. "Aku serius, Kinanti. Tolong, jangan panggil aku Tuan. Aku ingin tidak ada jarak di antara kita."
Wajah Kinanti memerah mendengar permohonan Julian. Ia merasa jantungnya berdebar kencang. Tatapan penuh harapan dari Julian membuatnya tidak mampu menolak. Dengan suara pelan, ia akhirnya mengangguk.
"Baiklah... Julian." Jawabnya dengan suara gemetar, sambil mencoba menenangkan dirinya sendiri.
Julian tersenyum puas. Namun, senyum itu segera pudar ketika Kinanti melanjutkan, "Tapi, bagaimana jika Nyonya Marta tahu tentang hubungan kita? Apa yang akan terjadi? Aku takut, Julian. Keluargamu sangat terpandang, sedangkan keluargaku hanyalah dari kalangan biasa."
Kinanti menunduk, merasa cemas. Ia tahu status sosial antara dirinya dan Julian sangat berbeda. Bagaimana mungkin mereka bisa bersama tanpa menimbulkan masalah? Julian meraih tangan Kinanti, menggenggamnya erat.
"Kinanti, dengarkan aku. Aku akan mengurus semuanya. Ibuku mungkin keras, tetapi aku tidak akan membiarkan siapapun, termasuk dia, menghalangi perasaan kita. Aku mencintaimu, dan itu yang terpenting."
Kinanti mengangkat wajahnya, menatap Julian dengan mata berkaca-kaca. Ia ingin percaya pada kata-kata Julian, tetapi ketakutan masih membayangi hatinya.
"Julian, aku tidak ingin menjadi penyebab perpecahan dalam keluargamu. Aku tidak ingin menjadi masalah."
Julian menggeleng dengan tegas. "Kamu bukan masalah, Kinanti. Kamu adalah kebahagiaanku. Aku akan berbicara dengan ibu, dan aku akan memastikan bahwa hubungan kita tidak akan menyakiti siapapun."
Kinanti mengangguk pelan, masih ada keraguan di hatinya, tetapi kehangatan di mata Julian memberinya keberanian. Saat mereka masih berdiri di bawah hujan, sebuah mobil datang mendekat. Itu adalah David, asisten Julian, yang datang untuk menjemput mereka. David keluar dari mobil dan segera mengatur semuanya, termasuk menangani mobil Julian yang ban-nya bocor.
"Maaf menunggu lama, Tuan." Kata David sambil menatap Julian dengan hormat. Julian mengangguk dan mengucapkan terima kasih.
Setelah itu, mereka semua masuk ke dalam mobil, dan perjalanan kembali ke rumah berlangsung dalam keheningan.
Setibanya di rumah, Julian pamit kepada Kinanti. "Aku harus pergi ke kantor sekarang. Tapi, nanti malam kita bisa berbicara lagi, oke?"
Kinanti mengangguk sambil tersenyum lembut. "Baiklah, Julian. Hati-hati di jalan."
Julian tersenyum, lalu pergi menuju mobilnya. Kinanti menatap punggung Julian yang semakin menjauh, hatinya dipenuhi perasaan campur aduk. Ia tidak menyangka bahwa Julian, seorang pria yang tampan, kaya, dan dari keluarga terpandang, bisa mencintainya. Perasaan bahagia bercampur dengan kekhawatiran menghiasi hatinya.
Kinanti berjalan masuk ke dalam rumah, pikirannya melayang-layang. Ia teringat momen ketika Julian menyatakan perasaannya di bawah hujan. Perasaan hangat membanjiri hatinya, tetapi bayangan Hanah dan Marta membuat hatinya kembali resah. Ia merasa dirinya begitu kalah dengan Hanah yang berasal dari keluarga terpandang, dan ketakutan akan reaksi Marta membuatnya gelisah.
Di lain sisi, Julian yang sedang dalam perjalanan menuju kantor tidak bisa menghapus senyum dari wajahnya. Ia merasa beban berat yang selama ini menekan hatinya perlahan mulai terangkat.
Mengakui perasaannya kepada Kinanti adalah keputusan besar, tetapi ia tahu bahwa itu adalah hal yang benar. Ia mencintai Kinanti dan siap menghadapi segala tantangan demi wanita itu.
Sesampainya di kantor, Julian berusaha fokus pada pekerjaannya. Namun, pikirannya terus melayang kembali kepada Kinanti. Ia tahu bahwa perjuangan mereka tidak akan mudah, terutama menghadapi ibunya yang keras kepala dan ambisius.
Namun, Julian telah memutuskan bahwa ia tidak akan menyerah. Ia akan berbicara dengan ibunya dan memastikan bahwa perasaannya untuk Kinanti tidak akan terganggu oleh perjodohan dengan Hanah.
Sementara itu, di rumah, Kinanti mencoba menghibur dirinya dengan melakukan pekerjaan lain. Ia berusaha tidak terlalu memikirkan kekhawatirannya, tetapi bayangan masa depan yang tidak pasti terus menghantui pikirannya. Ia mencintai Julian, tetapi apakah cinta itu cukup untuk mengatasi semua perbedaan di antara mereka?
*******
Siang pun tiba, Kinanti bergegas menjemput Kenzo dari sekolah, didampingi oleh sopir pribadi keluarga Julian. Setibanya di sekolah, Kinanti menunggu di depan gerbang, memperhatikan anak-anak yang berlarian keluar dengan ceria. Tak lama kemudian, Kenzo muncul dengan senyum lebar di wajahnya, melambaikan tangan ke arah Kinanti.
"Kenzo!" sapa Kinanti sambil tersenyum.
Kenzo berlari kecil menghampiri Kinanti dan memeluknya. "Kak Kinanti, apakah Daddy masih bekerja?" Tanyanya dengan antusias.
Kinanti mengangguk lembut. "Iya, Kenzo. Daddy masih bekerja, tetapi nanti kita bisa bermain bersama lagi setelah dia pulang." Jawabnya dengan suara menenangkan.
Kenzo tersenyum lebar. "Baiklah, aku akan menunggu Daddy pulang. Aku ingin bermain bersamanya nanti." Katanya dengan semangat.
Mereka berdua kemudian masuk ke dalam mobil, dan sopir segera membawa mereka pulang. Sepanjang perjalanan, Kinanti merasa hatinya dipenuhi oleh kebahagiaan. Melihat keceriaan Kenzo dan membayangkan momen kebersamaan dengan Julian membuat hari itu terasa istimewa baginya.
Setibanya di rumah, Kinanti dan Kenzo masuk ke dalam dengan perasaan yang hangat. Kinanti merasa hari itu adalah hari yang sangat membahagiakan. Ia bersyukur atas momen-momen sederhana namun penuh makna bersama Kenzo dan Julian, yang perlahan mulai mengisi hatinya dengan kebahagiaan yang tulus.
Kinanti sedang asyik bermain dengan Kenzo di ruang tamu. Mereka tertawa riang saat bermain balok kayu, menyusun bentuk-bentuk kreatif. Tak disangka, suara langkah kaki yang familiar terdengar mendekat. Julian ternyata pulang lebih awal dari biasanya.
"Daddy pulang!" Seru Kenzo dengan gembira, langsung berlari menghampiri ayahnya.
Julian tersenyum lebar, mengangkat Kenzo ke dalam pelukannya. "Hai, pangeranku. Sudah main apa saja dengan Kak Kinanti?" Tanya Julian sambil mengusap lembut kepala anaknya.
"Main balok kayu, Daddy! Seru sekali!" Jawab Kenzo antusias.
Sementara itu, Kinanti yang melihat Julian pulang lebih awal, merasa senang namun sedikit canggung. "Tuan Julian, saya akan membuatkan kopi untuk Anda." Katanya, berdiri dari tempat duduknya.
Julian mengangguk. "Terima kasih, Kinanti."
Kinanti menuju dapur, mulai mempersiapkan air untuk direbus. Julian berasalan mengambil mainan lain untuk Kenzo, tetapi nyatanya ia menyusul Kinanti ke dapur.
Saat ia masuk, tanpa berkata-kata, Julian mendekati Kinanti dari belakang dan langsung memeluknya erat.
"Julian, lepaskan. Aku tidak bisa bergerak." Ujar Kinanti dengan nada lembut namun sedikit tegas.
Namun, Julian hanya mengeratkan pelukannya. "Aku merindukanmu, Kinanti." Bisiknya pelan di dekat telinganya, membuat wajah Kinanti memerah.
Kinanti berusaha melepaskan pelukan Julian. "Julian, tolong... lepaskan aku." Pintanya, berusaha tetap tenang.
"Aku akan melepaskannya jika kamu menciumku." Kata Julian dengan suara lembut namun penuh keinginan.
Kinanti terdiam, merasa jantungnya berdetak kencang. Wajahnya semakin memerah seperti tomat matang. Dengan enggan, setelah mematikan kompor, ia berbalik dan memberikan ciuman singkat di pipi Julian.
Namun, Julian tidak puas. "Bukan seperti itu. Ulangi, dan kali ini cium aku dengan sungguh-sungguh." Pintanya, menatap Kinanti dengan lembut.
Kinanti merasa terpojok, tetapi ada sesuatu dalam tatapan Julian yang membuatnya luluh. Dengan perlahan, ia mendekatkan wajahnya dan mencium Julian, kali ini dengan lebih lama dan dalam. Mereka larut dalam momen itu, lupa akan dunia di sekitarnya.
Tiba-tiba, suara piring jatuh terdengar, mengembalikan mereka ke realitas. Bi Inah, yang tak sengaja melihat mereka, terkejut hingga menjatuhkan piring yang dipegangnya.
Kinanti segera menjauh dari Julian, wajahnya merah padam. "Maaf, Bi Inah." Ucapnya dengan suara gemetar, merasa sangat malu.
Julian dengan tenang berbalik menghadap Bi Inah. "Bi Inah, tolong, jangan katakan ini kepada siapa pun." Pintanya dengan nada serius.
Bi Inah, yang masih terkejut, akhirnya mengangguk. "Baik, Tuan Julian. Saya tidak akan memberitahu siapa pun."
Setelah Bi Inah pergi, Kinanti merasa sangat canggung dan tidak berani menatap Julian. "Saya akan kembali ke ruang tamu." Katanya pelan, lalu bergegas keluar dari dapur.
Julian hanya tersenyum kecil, mengerti bahwa Kinanti membutuhkan waktu untuk mencerna apa yang baru saja terjadi. Ia memutuskan untuk memberikan ruang kepada Kinanti, tetapi dalam hatinya, ia tahu bahwa perasaannya terhadap Kinanti semakin dalam dan kuat.