Berawal dari hujan yang hadir membalut kisah cinta mereka. Tiga orang remaja yang mulai mencari apa arti cinta bagi mereka. Takdir terus mempertemukan mereka. Dari pertemuan tidak disengaja sampai menempati sekolah yang sama.
Aletta diam-diam menyimpan rasa cintanya untuk Alfariel. Namun, tanpa Aletta sadari Abyan telah mengutarakan perasaannya lewat hal-hal konyol yang tidak pernah Aletta pahami. Di sisi lain, Alfariel sama sekali tidak peduli dengan apa itu cinta. Alfariel dan Abyan selalu mengisi masa putih abu-abu Aletta dengan canda maupun tangis. Kebahagiaan Aletta terasa lengkap dengan kehadiran keduanya. Sayangnya, kisah mereka harus berakhir saat senja tiba.
#A Series
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Allamanda Cathartica, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 27: Pencarian Alfariel
Hujan rintik-rintik menjadi alunan lembut yang menemani kesendirian Aletta. Dia berdiri di depan jendela kamar yang terbuka lebar, membiarkan udara dingin menyentuh wajahnya. Seragam sekolahnya masih melekat, belum sempat dia ganti sejak pulang tadi.
Mata Aletta perlahan terpejam, menikmati setiap hembusan angin yang lembut menyentuh kulitnya. Rambut hitamnya tergerai, melambai-lambai mengikuti irama angin. Tangannya perlahan diangkat, menengadah ke atas, mencoba menangkap rintik-rintik hujan yang turun dari langit kelabu.
Dalam kesunyian itu, pikirannya melayang ke kejadian siang tadi di sekolah. Senyum kecil menghiasi wajahnya ketika dia mengingat momen memalukan yang berhasil membuat pipinya bersemu merah. Entah mengapa, kenangan itu justru membuatnya merasa hangat di tengah dinginnya sore.
"Abyan," gumamnya pelan hampir seperti bisikan. Nama itu keluar begitu saja, mengisi ruang kosong di antara suara hujan.
Aletta membuka matanya perlahan, memandang langit yang tampak semakin gelap. Ada sesuatu dalam pikirannya, sesuatu yang tidak bisa dia ungkapkan dengan kata-kata. Hatinya berdebar ringan, seperti irama tetesan hujan di atap rumahnya.
Tiba-tiba ponsel Aletta bergetar menandakan ada panggilan masuk. Dia meraih ponselnya yang tergeletak di atas nakas dan mendekatkannya ke telinga.
"ALETTA … " terdengar sapaan lantang dari seberang.
Aletta refleks menjauhkan ponselnya dari telinga, terkejut oleh volume suara yang terlalu keras.
"Gisha! Jangan teriak-teriak, dong. Telinga gue sakit, nih!" keluh Aletta, nada kesalnya tidak bisa disembunyikan.
"Al, lo bisa datang ke kafe sekarang?" tanya Gisha cepat-cepat nyaris tanpa jeda.
"Kenapa memangnya? Ada apa sih?"
"Gue lagi bingung banget, sumpah. Lo kesini aja dulu, nanti gue jelasin semuanya."
"Yaudah, oke."
Belum sempat Aletta bertanya lebih lanjut, sambungan telepon sudah diputus sepihak. Aletta mengerutkan kening, bingung dengan sikap terburu-buru Agisha.
Dengan rasa penasaran, dia mencoba menghubungi kembali nomor Agisha. Namun, tidak ada jawaban. Aletta menghela napas panjang, rasa kesalnya bercampur dengan rasa ingin tahu. Dia memandang ke luar jendela, sejenak terdiam sebelum akhirnya bersiap untuk pergi.
***
Aletta tiba di Kafe Jingga dengan langkah cepat. Dia masih menggigil karena basah kuyup oleh hujan rintik-rintik yang tidak kunjung reda. Suasana kafe yang biasanya tenang terasa berbeda kali ini. Matanya langsung menangkap pemandangan Agisha dan Gio yang duduk di sudut ruangan dengan ekspresi tegang.
Agisha menyeka wajahnya yang basah oleh air mata. Sementara itu, Gio mondar-mandir seperti sedang memikirkan solusi dari masalah yang tidak bisa dia pecahkan.
"Gish, ada apa sebenarnya? Tadi lo telepon gue buru-buru banget," tanya Aletta sambil menarik kursi di hadapan mereka. Dia melepas jaketnya, mengibaskan sisa air hujan dari rambutnya.
Agisha menatap Aletta dengan wajah pucat. Bibirnya bergetar seolah mencoba berkata sesuatu, tetapi tidak ada suara yang keluar. Sementara itu, Gio menghentikan langkahnya yang mondar-mandir dan menatap Aletta dengan sorot mata serius.
"Kak Ren hilang, Al," kata Agisha akhirnya dengan nada berat.
"Hilang?" Aletta mengernyitkan dahi. "Maksud lo apa, Gish? Mungkin dia cuma sibuk atau ponselnya mati. Kan biasa kalau anak cowok suka nggak kasih kabar."
Agisha menggeleng cepat, suaranya pecah saat menjawab. "Enggak, Al. Ini beda. Dari tadi siang gue nggak bisa hubungin dia. Bahkan sampai sekarang, dia belum pulang ke rumah."
Aletta terdiam, menatap Agisha dengan raut wajah bingung sekaligus cemas. "Tapi siang tadi dia masih di sekolah. Mungkin dia cuma main ke tempat temannya."
Gio mendesah panjang, suaranya terdengar lelah. "Kami sudah coba cari dia di semua tempat biasa dia datangi. Om bahkan sudah menghubungi teman-teman lainnya untuk memastikan dia tidak ada bersama mereka. Tapi hasilnya nihil, Aletta. Tidak ada yang tahu dia di mana sekarang."
Aletta merasakan jantungnya berdegup lebih kencang. Keheningan menyelimuti mereka sejenak, hanya diiringi suara gerimis yang menggema di luar jendela kafe.
"Tapi tadi siang, ada sesuatu yang aneh nggak? Mungkin dia bilang sesuatu ke lo, Gish?" Aletta mencoba mengingat jika ada petunjuk yang mungkin terlewat.
Agisha menggeleng lemah. "Enggak ada, Al. Kak Ren nggak bilang apa-apa."
Gio menatap Aletta dengan tajam. "Aletta, apa dia sempat bicara atau kasih tanda apa pun ke kamu belakangan ini?"
Aletta menggeleng pelan. "Enggak, Om. Terakhir saya lihat dia di kantin. Dia kelihatan biasa aja, nggak ada yang mencurigakan."
Agisha memijat pelipisnya dengan frustasi. "Ini semua salah gue. Harusnya gue langsung ngejar dia waktu lihat dia pergi terburu-buru. Tapi gue pikir dia cuma mau nongkrong bareng teman-temannya."
Raut kekhawatiran tergambar jelas di wajah Gio. "Aletta," panggilnya dengan nada berat. "Om tahu ini mungkin bukan tanggung jawab kamu, tapi Om butuh bantuan kamu. Kamu orang yang dekat sama Alfariel, mungkin dia pernah cerita sesuatu, tempat yang sering dia kunjungi, atau siapa yang biasa dia temui. Tolong bantu Om cari dia. Om benar-benar khawatir."
Aletta sempat terdiam, hatinya berdebar mendengar nada putus asa dalam suara Gio. "Baik, Om," jawabnya dengan suara yang mantap. "Saya ikut cari. Jadi, kita mulai dari mana?"
Gio menghela napas panjang berusaha menenangkan pikirannya yang berkecamuk. "Kita akan bagi tugas. Om akan cari di sekitar sekolah. Agisha, kamu telusuri tempat nongkrong dan base camp-nya Black Secret. Aletta, kamu coba cari di daerah taman kompleks. Mungkin ada yang melihat dia di jalan atau sekitar situ."
Aletta mengangguk mantap. "Baik, Om. Saya akan langsung ke sana sekarang."
Agisha yang duduk di sebelahnya, menggenggam tangan Aletta dengan cemas. "Al, hati-hati, ya. Gue nggak tahu kenapa, tapi gue punya firasat buruk soal ini."
Aletta tersenyum kecil, mencoba menguatkan sahabatnya. Dia menepuk tangan Agisha dengan lembut. "Tenang, Gish. Kita pasti bisa nemuin dia. Lo juga hati-hati di luar sana."
Setelah menyusun rencana singkat, mereka bertiga beranjak meninggalkan kafe dengan langkah tergesa-gesa. Hujan semakin deras, menyelimuti jalanan dengan rintik yang dingin dan mengaburkan pandangan. Aletta menarik jaketnya lebih rapat, membiarkan air hujan membasahi ujung sepatunya.
Saat melangkah keluar, perasaan gelisah tak henti-henti menyelimuti pikirannya. Dia memandang lurus ke depan, tekadnya bulat untuk menemukan Alfariel. "Alfariel, di mana pun lo sekarang, semoga lo baik-baik aja," ucapnya lirih.
Setiap langkah yang diambil Aletta terasa berat, seolah hujan yang deras menambah beban di hatinya. Namun, semangat untuk menemukan Alfariel terus menjadi sumber kekuatannya. Bayangan wajah Alfariel tidak henti-hentinya muncul di pikirannya, menambah kecemasan yang semakin menekan dadanya.
Dia tahu, setiap detik yang berlalu sangatlah berharga. Tidak ada ruang untuk keraguan atau penundaan. Aletta menggenggam tekadnya erat-erat, memastikan dirinya tetap fokus pada tujuan. Pencarian ini baru dimulai, tetapi dia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk memberikan segalanya, tidak peduli apa yang akan dia temui di jalan.
***
Bersambung ….