Satu digit, dua, tiga, empat, lima, hingga sejuta digit pun tidak akan mampu menjelaskan berapa banyak cinta yang ku terima. Aku menemukanmu diantara angka-angka dan lembar kertas, kau menemukanku di sela kata dan paragraf, dua hal yang berbeda tapi cukup kuat untuk mengikat kita berdua.
Rachel...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon timio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cosplay Jadi J4bl4y
Romansa di tempat kerja pun resmi di mulai. Keduanya seperti anak SMA yang sedang bucin-bucinnya. Sejak hari itu Vano tidak pernah lupa mengunci pintu ketika bersama dengan Rachel di ruangan itu. Apalagi jika bukan curi-curi kesempatan untuk berdua. Tapi jika sudah mode kerja keduanya sangat profesional, benar-benar pengajar dan asistennya.
Sejauh ini tidak ada satu orang pun yang mencurigai mereka berdua. Kadang Vano agak kesal jika Rachel terlalu lama di gudang Ws, bahkan kadang sampai disusul.
Jam kerja pun berakhir, Rachel menyusun barang-barangnya ke dalam tas, ia masih menggunakan tongkat berjalan karena kakinya masih belum pulih betul. Seseorang disebelah nya kalang kabur, raut wajahnya panik bercampur gelisah, kejar-kejaran dengan waktu.
"Kak... "
"Kamu mau pulang?", panik Vano spontan berdiri.
"Iya, kamu belum ya? ", Rachel menaikkan kedua alisnya pertanda ia bingung dengan tingkah Vano.
"Mau aku bantuin?".
"Ngga, ngga usah, kamu pulang aja." Dengan senyum ragu.
"Kalo ada yang mau di bantu sini, ngga usah gengsi, mana. " Paksa Rachel.
Vano terlihat bingung hendak menjawab apa, tanpa menunggu jawaban Vano, ia bergerak menyeret kursinya dan mereka akhirnya duduk berhadapan seperti makan siang.
"Boleh aku tungguin gak Ayang? ", goda Rachel.
Vano tertawa kecil dan mengangguk banyak, karena memang itulah yang ia inginkan. Pria kesayangannya itu kembali ke mode kerja, serius, fokus, dan sama sekali tidak bersuara.
"Cowo seganteng ini, se wadidaw ini bisa-bisanya macarin gua yang sebenarnya remahan sari roti aja kaga sampe, mana bulol, gua ngga tahu harus bersyukur apa prihatin ya dewa. Apa ngga rugi banyak hidupnya ngarepin gua yang bukan siapa-siapa ini. Aduh... Lama-lama gua bisa jadi ngga tahu diri nih." Batinnya menatap Vano.
Cukup lama ia menunggu, sampai ia bosan sendiri dan ketiduran berbantalkan tangannya yang ditumpuk. Hati Vano menghangat melihat wanita tangguh dihadapannya ini.
"Semoga gadis mini size ini bertahan untuk terus disamping gua, apapun yang terjadi. Ternyata jatuh cinta begini amat ya, dia diem aja gua salting. Mana dipanggil Ayang lagi, aduh." Vano membatin dan senyum-senyum sendiri.
Drrt... Ponsel Rachel bergetar
"Ini anak setan kalo bukan sepupu gua, udah gua jadiin tumbal proyek lu. Eh.. Kontak gua apa ya?... Akh... Maak... ".
Vano tidak bisa menahan kupu-kupu yang kini sudah menjalar ke usus dua belas jarinya.
"Yang... Ayang... Yaaang.... ", seru Vano mendusel-nduselkan jidatnya di bahu Rachel.
"Hah?? Aku ketiduran ya kak?".
"Hehe iya, ayo kita balik.".
Akhirnya mereka berdua pulang bersama, kala itu Numbers sudah sepi hanya beberapa cleaning service dan satpam yang berlalu lalang, dan juga seseorang di parkiran memandang sedih dan marah ke arah mereka.
Mereka yang terlihat bahagia bersama, terlihat luwes, tidak kaki sedikitpun layaknya atasan dan bawahan. Mereka lebih terlihat seperti teman akrab, ah tidak, lebih seperti pasangan kekasih, setidaknya itulah yang dilihat Samuel dari mobilnya.
Dengan sedih yang ditahan ia terus mengikuti laju mobil itu, penyesalan menyerang ulu hatinya bertubi-tubi, entah kenapa ia meninggalkan berlian itu hanya untuk kerikil, ya, gadis yang dipacarinya diam-diam dibelakang Rachel malah menikah tiba-tiba karena hamil dengan laki-laki lain.
"Ini karna ku ya, Ra? ". Lirihnya melihat Vano menghentikan mobilnya dan turun bersama bahkan mereka masuk bersama rumah minimalis itu, tapi tidak lama kemudian Vano keluar dan pergi lagi dengan box besar di tangannya.
"Ah rupanya cuma mau ngambil itu." Lega Samuel.
🍀🍀
Pagi hari yang cerah di numbers Institute, Rachel sedang berdiri di samping mesin kopi dan beberapa biskuit di nampan kecil yang ia bawa. Ia sedang berada di kantin untuk sarapan pagi itu.
📞 Halo? Iya? Yah gimana dong, gua udah keburu di Numbers nih. Elu sih ngabarinnya Lama banget, besok ya besok gua bawain deh. Iya Mikhaela cepetan deh Dateng lu ke sini.
Seru Rachel dengan girangnya dengan ponsel yang menempel di telinganya, seketika fokusnya terhenti saat Samuel tiba-tiba muncul di hadapannya.
📞 Mikh, kita ngomong di numbers aja ya, gua mau sarapan dulu. Oke bye.
Samuel melangkah dan mendekat ke arahnya, tidak ada senyum atau wajah ramah seperti biasanya, hanya datar dan sepertinya serius sekali.
"Boleh kita ngomong sebentar? ".
Rachel mengembalikan nampannya, dan tidak jadi sarapan pagi itu. Ia menuntun Vano untuk berbicara di gudang Ws, tempat paling aman untuk bicara serius dan jarang dimasuki orang lain, bahkan gudang Ws itu boleh dibilang hanya ia dan Vano yang bebas masuk ke sana.
"Kamu mau ngomong apa? ".
"Ra, kamu ada hubungan apa sama Vano?".
"Hah? ".
"Kamu sama dia ngga pacaran kan? ".
"Apa sih pagi-pagi udah ngelantur aja. Ayo buruan kamu ngomongin apa? Aku laper lho ini. Aku mau sarapan."
"Aku benar-benar menyesal sama kebodohan yang aku buat dulu, aku serius kali ini, aku mau ngulang semua dari awal sama kamu, dari nol. Hati aku sakit banget setiap melihat kamu bareng Vano. Boleh ku mulai dari awal lagi, Ra?". Tanya Samuel dengan wajah memelas.
"Sam.. ".
"Ra, please."
"Maaf, Samuel. Maaf banget."
"Tapi kenapa?! ", suara Samuel sedikit meninggi dan mencengkram bahu Rachel.
Sementara Di Koridor
Mikhaela dan seorang admin lainnya sedang membawa masing-masing setumpuk berkas, mereka berpapasan dengan Vano.
"Pagi Kak Vano." sapa mereka.
"Iya, Selamat pagi. Eh Mikh... Rachel udah nyampe belum." tanya Vano dengan senyum lebar.
Akhir-akhir ini Numbers dibuat sedikit terkejut dengan kepribadian Vano yang baru. Pasalnya pria yang terkenal dingin dan datar itu, akhir-akhir ini kelewat terlalu banyak senyum, dan mudah sekali diajak bicara.
"Udah Kak, tadi kita sempet teleponan katanya dia di kantin."
"Enggak, Kayaknya udah naik tuh tadi bareng pak Samuel. Mau ke ruangan Kakak kali atau ke gudang Ws." seru temannya Mikhaela dengan polosnya, mendengar hal itu Vano tersenyum tipis lalu pergi dari hadapan mereka.
Bughh... Mikha memukul pundak rekannya itu.
"Akh, sakit mba."
"Ngapain lu aduin segala bego." kesal Mikha.
"Emang kenapa sih Mba? ".
"Bodo ah." dumel Mikhaela tidak mau ambil pusing.
Kembali Ke Ruang Ws
"Tolong kasih aku waktu memperbaiki semuanya, Ra. Maafin sifat kekanak-kanakanku. Nggak akan aku ulang lagi. Bisa kan? A-aku... ".
"Aku ngga bisa, Sam."
"Raa... ".
"AKU NGGAK BISA DAN AKU NGGAK MAU...! ", bentak Rachel melepaskan cengkraman Samuel dari bahunya.
"Samuel, entah kamu yang udah berubah, atau apapun itu. Jangan sekali-kali kamu buat orang lain yang jadi alasannya. Jangan berubah karena aku, tapi demi diri kamu sendiri. Sakit hati dan rasa marah-ku ke kamu bukan penyebab utamanya, memang hatiku aja yang udah kelewat Jujur nggak berdebar lagi ketemu kamu.
Masa-masa itu udah lewat, Sam. Mungkin, memang awalnya karena aku kecewa dan malu, tapi sekarang nggak lagi, aku udah terbiasa. Mau ketemu kamu 1000 kali pun dalam sehari, aku nggak ngerasain apa-apa lagi Sam. Hati aku udah keras berurusan sama kamu, aku cuma bisa tawarin pertemanan yang dingin. Cuma itu.", jelas Rachel lalu ia pergi.
Vano yang menguping di depan pintu bergerak ke ruangan kosong di samping gudang WS. Sementara Samuel terdiam mematung. Rachel betul-betul mematahkan sayapnya. Terang-terangan memotong jembatan untuknya. Vano yang terdiam di sudut lain juga ikut bingung. Apakah benar Rachel menyukainya? Menerimanya sebagai pacar? Atau hanya sebagai tameng untuk membatasi perasaan yang tersisa pada Samuel?
Klekk
Pintu ruangan dibuka, Vano menghela napasnya melihat Rachel yang diam mematung di depan laptopnya, pria itu yakin pandangan Rachel mengarah entah kemana, pasalnya ia hanya diam membeku. Pandangannya kosong dan datar.
"Yaang... Ayang.... ". Vano menggoyang baju Rachel perlahan.
"Hah? Kak... Kapan nyampenya?".
"Baru aja." Vano tersenyum ala kadarnya. "Kamu kenapa? Tumben bengong pagi-pagi, biasanya juga udah kayak merjuangin kemerdekaan sibuknya, ini malah kayak beruang hibernasi. planga plongo...", omel Vano.
"Maaf, pak direktur. Saya belum ngopi, sebentar ya mau ke cafe sebelah dulu beli kopi. Mau nitip pak?", goda Rachel.
"Ngga usah turun, diem aja disini. Aku suruh pak Yoo aja?".
"Ohhh gitu ya? Kalo gitu, disini kosong ngga?", godanya lagi sambil duduk di pangkuan Vano.
"Woah... Udah berani ya? Bener nih di tantangin?", goda Vano balik.
"Ngga kak, ngga jadi. Ka Vano kalo mode kayak gitu serem, ngga, ngga jadi." Sibuk Rachel berusaha turun.
"Too late babe... ".
" Kakmmpppph... Kak Vanmmmphhh...".
Tok tok tok...
Klek...
"Loh, Kak Vano? Rachel belum datang ya?". Seru Mikhaela sambil celingak celinguk kiri dan kanan, ia hanya menemukan Vano yang merapikan dasi dan kerah bajunya.
"Tuh, di pantry."
Pandangan Mikhaela langsung tertuju pada Rachel yang membelakangi mereka, diam-diam gadis itu memperbaiki riasan wajahnya yang sudah berantakan karena serangan Vano.
"Ada apa Mikh?".
"Oh, berkas achievement siswa level tinggi kak."
"Itu aja?".
"Iya kak, sekalian mau pinjam Rachel pas makan siang nanti boleh kan kak?".
"Oh iya."
"Mau kopi?", tawar Rachel pada Mikhaela.
"Ngga, ntar aja. Ketemu di kantin ya, anak-anak nanyain."
"Sip, senior."
Lalu Mikhaela keluar.
"Aohhhh.... ", pasangan bucin itu melepas lega napas mereka, lalu saling menertawai satu sama lain. Hampir saja mereka ketahuan. Vano merutuki dirinya sendiri, bisa-bisanya ia lupa mengunci pintu.
"Kenapa gua cosplay jadi jabl4y si anjir, ohh malunya." Pekiknya merutuki dirinya sendiri.
"Yaang kayaknya aku perlu bikin kamar deh disini." Seru Vano dengan santainya.
"HEHH.... ", sergah Rachel sambil menggebrak rak disebelahnya.
"Hehehehhehe... Becanda Ayang... "
.
.
.
TBC... 💜