Kiana hanya mencintai Dio selama sembilan tahun lamanya, sejak ia SMA. Ia bahkan rela menjalani pernikahan dengan cinta sepihak selama tiga tahun. Tetap disisi Dio ketika laki-laki itu selalu berlari kepada Rosa, masa lalunya.
Tapi nyatanya, kisah jatuh bangun mencintai sendirian itu akan menemui lelahnya juga.
Seperti hari itu, ketika Kiana yang sedang hamil muda merasakan morning sickness yang parah, meminta Dio untuk tetap di sisinya. Sayangnya, Dio tetap memprioritaskan Rosa. Sampai akhirnya, ketika laki-laki itu sibuk di apartemen Rosa, Kiana mengalami keguguran.
Bagi Kiana, langit sudah runtuh. Kehilangan bayi yang begitu dicintainya, menjadi satu tanda bahwa Dio tetaplah Dio, laki-laki yang tidak akan pernah dicapainya. Sekuat apapun bertahan. Oleh karena itu, Kiana menyerah dan mereka resmi bercerai.
Tapi itu hanya dua tahun setelah keduanya bercerai, ketika takdir mempertemukan mereka lagi. Dan kata pertama yang Dio ucapkan adalah,
"Kia, ayo kita menikah lagi."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana_Noona, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Malam yang merambat, redup yang memikat, Kiana terpekur menatap. Pada jendela besar di kamarnya yang menampilkan suasana gelap di halaman rumahnya. Mobil Dio yang tak di sana, juga prasangka-prasangka yang menyertainya.
Pukul sebelas malam dan dia belum pulang.
Kiana tidak pernah tahu mengapa Rosa selalu meminta Dio mengantarnya ke rumah sakit atau menemaninya di sana. Apakah Rosa memang selayaknya tokoh protagonist dalam film dengan latar belakang sakit parah? Sehingga suaminya enggan menolak?
Tidak tahu juga.
Kiana tak bisa bertanya, pun Dio sepertinya enggan menjabarkan.
Kiana memilih turun menuju dapur. Ia berniat minum saat mendapati Mbok Dar masih asik menonton televisi di ruang tengah.
"Mau saya buatkan sesuatu, non?"
"Nggak mbok. Aku cuma mau ambil minum."
Kiana menatap kamar Dio yang masih tertutup rapat. Menandakan bahwa sipemilik masih belum juga datang. Sempat ragu, Kiana akhirnya mencoba masuk ke dalam sana untuk pertama kalinya.
Kamar Dio rapi dan wangi, seperti pemiliknya. Nuansa monokrom, tanpa hal rumit sebagai designnya. Hanya ada sebuah foto pernikahan mereka yang terletak di atas nakas.
Kiana mendudukkan diri di atas tempat tidur suaminya. Mencoba menyingkirkan pikir yang melanglang jauh ke rumah sakit tempat mereka berdua sekarang berada. Hingga akhirnya memilih merebah, bergelung dengan selimut dan terisak di sana.
Cukup lama, ia menangis.
Menyesali setiap waktu yang digunakannya untuk mengagumi. Menyalahkan keadaan yang mempertemukan, memilih pasrah sebab ia yang berjuang keras mewujudkan. Oleh karena itu, luka itu juga bagian dari kesalahannya.
Kebodohannya.
Saat jam sudah bergerak pada angka 12, Kiana tak lagi menangis. Terlelap dengan basahnya pipi dan kelelahan. Hingga saat pintu itu terbuka, Kiana tak beringsut terganggu sedikitpun.
Awalnya, Dio terkejut saat mendapati Kiana ada di kamarnya. Namun melihat perempuan itu terlelap dengan sisa-sisa air mata, hatinya tercubit. Lagi, ia melakukan kesalahan. Menyakiti perasaan istrinya dengan sengaja ketika jelas-jelas ia baru berbaikan dengannya.
Dio terduduk di dekat Kiana, beralaskan lantai. Memandangi wajah Kiana yang sudah sembap karena –mungkin – seharian ini menangis. Disingkirkannya anak-anak rambut yang tertabur di depan mata Kiana.
"Maafin aku, Kia."
Kalimat yang sama, selalu sama, diulang lagi kemudian.
Dio menyesal telah memilih ajakan Rayn saat itu untuk kencan buta dengan Kiana. Sebab bila waktu bisa diputar kembali, Dio memilih tidak. Wajah Kiana dan segala lukanya cukup sebagai alasan untuk tidak menyeretnya pada penderitaan.
"Maafin aku, Kia."
Gumaman lirih itu kembali diucapkannya, seiring memberatnya mata dan tertutup. Memilih duduk sambil merebahkan kepalanya di tempat tidur, bersisian dengan wajah Kiana.
...^^^^...
Saat Kiana bangun dan terkejut, ia tidak mendapati Dio di mana-mana. Mbok Dar bilang, Dio pulang larut malam dan sudah berangkat ke kantor pagi-pagi sekali. Tanpa meminum kopinya. Tanpa bersusah payah menunggunya.
Kiana yang sudah lelah merasakan kepalanya kembali berdenyut. Ia tidak bisa terus berada di rumah sekalipun tubuhnya berkata 'siap menyerah'. Pikirannya akan semrawut seharian bila tidak diajak beraktifitas. Jadilah ia segera bersiap-siap menuju kantor.
Kiana pun mengabaikan sarapannya, memilih pamit pada mbok Dar yang menatap sedih. Di depan rumah, taksi online sudah menunggu.
Kiana berjalan lunglai menuju coffee shop di lantai dasar. Menatap pilihan menu dengan bengong. Ia kembali memijit dahinya yang berdenyut.
"Kamu sakit?"
Tangan Arshaan selalu bergerak lincah, mendahului penolakan Kiana. Tahu-tahu, ia bertengger di dahi perempuan itu untuk mengecek suhu tubuhnya. Jelas, Kiana melotot. Ditepisnya pelan dengan wajah malas mengomel seperti biasanya.
"Kamu demam, kenapa malah mau minum kopi? Pasti belum sarapan, 'kan?"
Arshaan cukup ngeyel dengan tidak berhenti berbicara saat Kiana jelas memberi kode bahwa ia sedang tidak ingin diganggu. Laki-laki itu justru menarik tangan Kiana menuju tempat duduk.
"Pesan roti lapis paling nggak. Aku ke apotik depan dulu sebentar ya."
Belum sempat Kiana mengatakan 'tidak usah', sosok Arshaan sudah lebih dahulu menjauh dengan cepat. Langkahnya setengah berlari, membawanya pada Kiana 10 menit kemudian dengan sebuah plastik putih berlogo apotik dan air mineral.
Laki-laki itu tak langsung mendekat, melihat sekeliling Kiana dan menggeleng sebentar. Perempuan itu keras kepala, buktinya tak ada roti lapis yang Arshaan bilang. Padahal Kiana jelas belum sarapan dan perlu mengisi perutnya agar bisa minum obat.
Ia memilih memesan sebuah roti lapis. Membawanya pada Kiana yang sudah menopang kepalanya dan memejamkan mata. Sakit yang menyerang di kepalanya ternyata lebih hebat dibandingkan saat ia berangkat tadi.
"Dibilangin suruh sarapan dulu," omel Arshaan seraya menggeser satu kursi mendekat kearah Kiana. Ia memberikan roti lapis pada Kiana. "Makan, jangan keras kepala."
"Menurut kamu, apa yang begitu mempesona dari seorang Rosa?"
Kiana mengambil roti tersebut dan melahapnya segigit. Mulutnya lumayan terasa pahit.
Arshaan yang mendapatkan pertanyaan itu sesaat kaku. Ia diam, mencoba berpikir lalu mengangkat bahu. "Setiap orang punya penilaian sendiri, 'kan?"
"Menurut penilaian kamu? Aku yakin kamu kenal Rosa karena kamu bahkan tahu kalau suamiku mencintai perempuan itu."
"Rosa ... hanya seperti manusia lainnya."
"Lebih tepatnya?"
"Dia ingin dirinya yang selalu jadi yang utama." Arshaan menjeda kalimatnya. Memberikan dua butir obat pada Kiana yang terlihat enggan menghabiskan roti lapisnya yang tersisa separuh.
"Aku rasa kita juga demikian, 'kan?" ulang Arshaan.
"Tapi ada batasan dimana kita bisa melakukan itu. Ranah aku dan Dio, jelas 'kan? Pernikahan. Apa Rosa pernah berpikir bagaimana rasanya menjadi aku?"
Arshaan menggeleng. "Selain Rosa yang bersalah, Dio pun harus turut dipersalahkan. Dia punya ranah yang tak bisa dikaitkan lagi dengan perempuan lain karena ada kamu, isterinya. Tapi dia berlari kearah Rosa setiap kali perempuan itu meminta."
Kiana diam, membenarkan ucapan Arshaan.
"Kita tidak akan pernah bisa memaksakan sesuatu pada orang lain yang tidak ingin, 'kan? Yang bisa kita lakukan hanya tells our hearts to choose. Mau hidup yang seperti apa." Arshaan lantas berdiri, ia mengulurkan tangan pada Kiana. "Aku antar kamu pulang ya."
Kiana menggeleng. "Aku nggak bisa di rumah sekarang atau aku akan overthinking seharian." Kiana bangkit dengan lebih dulu menerima uluran tangan Arshaan. "Yuk ke atas."
Arshaan tak mendebat saat perempuan itu mendahului langkahnya menuju lantai sepuluh. Membiarkan Kiana yang jelas sedang sakit itu tenggelam dalam pekerjaannya.
...****...
El Monte Cafe, pukul 9 malam dan gerimis
Kiana menelepon Jehan setengah jam yang lalu akhirnya. Tapi isi permintaannya bukan untuk menumpang menginap, melainkan agar ditemani ke tempat yang biasanya Jehan datangi saat galau. Jehan tentu heran, namun tak urung juga datang dengan outfit lengkap.
"Aku sudah bilang loh tadi di telepon kalau aku sesekali ke Exist kalau galau. Nggak apa-apa nih kamu ke sana?"
"Club 'kan?"
Jehan mengangguk.
"Aku juga pernah ke club kali Je, dulu, sama sahabat-sahabat aku yang kebetulan sekarang lagi di UK sama di Guangzhou."
"Kirain cupu banget gitu, secara look-nya tuh bukan yang bisa minum begitu."
Kiana tertawa. Ia ingat, terakhir kali hang out dengan Maura dan Andara adalah saat Andara putus dari pacarnya dan memilih ke Exist untuk minum. Walau Kiana bahkan tidak menghabiskan gelas pertamanya dan hanya menjadi orang paling sadar diantara sahabatnya untuk mengantar mereka pulang dengan aman.
"Tapi lo pucat banget tahu, Kia."
Jehan bahkan sempat menyentuh dahi Kiana.
"Tadi pagi sih demam tapi sekarang sudah baikan. Tadi pagi sempat minum obat yang dibawain Arshaan."
"Tapi beneran nggak apa-apa nih?"
"Beneran, yuk ah."
Meski dengan berat hati, Jehan akhirnya menyetujui ajakan Kiana untuk segera berangkat menuju Exist. Jehan bahkan tidak bertanya alasan Kiana yang tumben-tumbenan mengajaknya ke club.
Jehan dan Kiana memilih meja sudut, menghindari ramai yang terlalu. Jehan sudah menghabiskan gelas keduanya ketika Kiana bahkan masih memandangi gelas berisi cairan bening di tangannya.
Jehan mengernyit. "Kenapa sih? Soal Dio atau Arshaan?"
Kiana menoleh kearah Jehan. "Arshaan?"
"He likes you, just right?"
"Mungkin."
"Kamu juga?"
Kiana tertawa. "Nggaklah gila, aku punya suami."
Jehan tersenyum. "Itu betul sih. Bahagia?"
Kiana nampak ragu."Mungkin."
Jehan tersenyum lagi. "Bahagia itu lebih penting dari perasaan cinta loh Kia."
"Memangnya bisa? Bukannya keduanya harus sama-sama ada."
"Nggak juga. Lebih mungkin kita bahagia walau tidak mencintai. Tapi mencintai itu jelas kadang memberikan kejutan dan saat kita diserang tanpa persiapan, kita jatuh sejatuh-jatuhnya. Hancur."
Getir, nada suara Jehan. Pernikahannya di waktu lalu seperti kenang yang tak diinginkan. Sialnya, setiap membahas apapun, semuanya keluar dengan sendirinya. Perempuan itu seperti melihat dirinya dalam kisah Kiana. Walau ia tidak tahu jelas alasannya, namun Kiana tidak baik-baik saja.
"Aku nggak tahu kamu kenapa, tapi aku rasa ini pasti berkaitan dengan pernikahan kamu, 'kan?"
Kiana memalingkan pandangannya pada riuh yang sedang menari. Sialnya, hatinya tetap terasa kosong. Tak ramai seperti yang dilihatnya. "Sejujurnya, iya. Pernikahan yang baru seumur jagung," kekeh Kiana.
Jehan mengusap lengan Kiana pelan. "Coba kamu cari tahu mau kamu apa? Kamu harus menjadi orang yang paling kukuh memperjuangkan dirimu sendiri. Menjaganya agar tidak terluka, bahagia. Orang lain tidak akan pernah bisa diharapkan."
Jehan memilih menghabiskan minumannya dan segera turun membaur dengan mereka yang menari. Membiarkan kenangannya luruh di sana, rasa sedihnya.
Kiana akhirnya menegak habis gelas pertamanya, menyisakan rasa pahit yang tidak nyaman ditenggorokan. Bayangan Dio yang mungkin masih menemani Rosa di rumah sakit kembali bergelayut, membuat gerakan tangannya meraih botol dan menuang penuh pada gelas terjadi. Kemudian gelas kedua, hingga ketiganya lagi-lagi tandas.
Kiana bukan orang yang suka minum. Oleh karena itu, ia memiliki toleransi alkohol yang sangat rendah. Cukuplah tiga gelas membuat dia tipsy seperti sekarang. Kepalanya yang berat terasa lebih ringan, membawa setengah pandangan meredup.
"You're alone?wanna have some fun?"
Seorang laki-laki duduk di sisi Kiana yang sudah membiarkan kepalanya menyandar ke sofa. Setengah sadar yang tersisa membuat Kiana menggeleng, menggumamkan 'tidak' dan 'terima kasih'. Namun tempat semacam ini memang dipenuhi manusia-manusia bebal dan egois,'kan?
Laki-laki itu justru meletakkan gelasnya dan mendekatkan tubuhnya pada Kiana. Ditatapnya Kiana dengan pandangan menginginkan. Sesaat, ia bisa melihat wajah Kiana yang memerah dan setengah terpejam sesekali, membangkitkan niat kurang baik. Ia berniat meraih pipi Kiana saat sebuah pukulan tepat mengenai rahangnya.
"Anjing!" umpat laki-laki itu. Ia segera bangkit dan bersiap menghadapi orang yang sudah lancang mengganggunya.
^^^^
KLIK LIKE-NYA DONGGGG
trlmbat.... sangat trlmbat Dio.... & km pun tak pntas mndapatkn maaf...
selamat Dio....