Hidup Aina seperti diselimuti kabut yang tebal saat menemukan kenyataan kalau Fatar, lelaki yang dicintainya selama 7 tahun ini meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil. Namun Fatar tak sendiri, ada seorang wanita bersamanya. Wanita tanpa identitas namun menggunakan anting-anting yang sama persis dengan yang diberikan Fatar padanya. Aina tak terima Fatar pergi tanpa penjelasan.
Sampai akhirnya, Bian muncul sebagai lelaki yang misterius. Yang mengejar Aina dengan sejuta pesonanya. Aina yang rapuh mencoba menerima Bian. Sampai akhirnya ia tahu siapa Bian yang sebenarnya. Aina menyesal karena Bian adalah penyebab hidupnya berada dalam kabut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Henny, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hilang Rasa
Pulang kantor, Aina menelepon David. Lelaki itu ada di apartemennya dan Aina menemuinya di sana.
"Katakan yang sejujurnya, David. Fatar dan Wilma tidak kenalan di Manado kan? Mereka berdua bekerja di rumah sakit yang sama kan?" tanya Aina saat datang ke apartemen David.
"Aina, sudahlah. Kamu akan bertambah sakit jika mengetahui semua kebenaran. Fatar sudah meninggal. Lanjutkan saja kehidupanmu." kata David sambil menaikan kacamatanya.
"Sekali saja David. Jujurlah padaku." Aina terlihat frustasi.
"Fatar tak sebaik yang kamu kira. Dia sudah lama mengkhianati mu. Aku tak mau kamu terluka, Aina. Aku mengarang cerita di Manado itu karena itu juga yang diketahui oleh orang tua Fatar. Kakak Fatar yang tahu segalanya. Dia menyukai Wilma karena Wilma adalah adik dari sahabat baiknya. Sebenarnya Fatar ingin berpisah darimu tapi mamanya mengancam akan bunuh diri jika kalian tak menikah. Makanya Fatar menikahi Wilma dengan alasan sampai anak itu akhir namun sebenarnya Fatar ingin berpoligami."
Perkataan David menghancurkan kembali hati Aina yang sebenarnya mulai sembuh. Aina meninggalkan apartemen David sambil menangis pilu.
Ia naik taxi menuju ke makam Fatar. Nampak makam itu sudah selesai dibuat seperti juga makam Wilma.
"Kok kamu Setega ini padaku? Kalau memang hatimu sudah bukan untukku, mengapa memaksakan diri untuk tunangan denganku? Mengapa selalu bersikap manis dan posesif padaku seolah-olah aku adalah segalanya? Kamu sudah lama mengkhianati aku. Kamu bahkan tidur dengan perempuan lain namun kamu berpura-pura memeluk aku dengan sopan. Mengapa...? Mengapa? Mengapa menyakiti aku seperti ini?" tanya Aina sambil memukul-mukul batu nisan Fatar.
"Ai....! Alhamdulillah kamu ada di sini. Aku dan ibu sampai khawatir karena sudah jam 8 dan kamu tak pulang. Teleponmu juga tak aktif." Emir langsung mendekat dan mengakat tubuh Aina. Perempuan itu langsung memeluk Emir Tangisnya kembali pecah.
"Ayo kita pulang!" Emir melingkarkan tangannya di bahu Aina. Bersama mereka melangkah meninggalkan kompleks pekuburan itu.
"Aku nggak bawa motor. Saat aku berpikir kalau kamu mungkin ada di sini, aku langsung berlari ke sini." kata Emir.
Rumah Emir memang letaknya tak begitu jauh dari kompleks pemakaman ini.
"Ayo naik ke punggungku. Aku gendong kamu untuk pulang. Kamu nampaknya sangat lemah." Emir membungkuk di depan Aina. Perempuan itu langsung naik ke punggung Emir. Kebetulan Aina menggunakan celana kain.
Sepanjang perjalanan ia hanya membaringkan kepalanya di punggung Emir sambil terus menangis.
Tita bernapas lega melihat putra dan menantunya sudah tiba. Namun ia tak banyak bertanya saat Emir menurunkan Aina dari punggungnya. Tita memilih masuk ke kamarnya. Ia memang tak mau menjadi mertua kepo yang ingin tahu segala hal.
"Aku mau mandi." kata Aina lalu melangkah ke arah kamar mandi.
"Aku panaskan air sebentar? Jangan mandi air dingin." ujar Emir.
"Aku mau mandi air dingin."
Emir menatap Aina yang masuk ke dalam kamar mandi. Ia hanya bisa menggelengkan kepalanya. Setelah itu Emir membuka jaketnya. Ia menuju ke kamar ibunya.
Aina tak membawa pakaian ke kamar mandi. Ia pun keluar hanya menggunakan handuk yang melilit tubuhnya. Aina nampak tak peduli karena pikirannya sedang buntu.
Begitu tiba di kamar, Aina teringat lagi dengan semua yang telah terjadi. Ia kembali menangis sambil duduk di atas ranjang.
Pintu kamar terbuka. Emir masuk. Ia menatap Aina yang duduk hanya menggunakan handuk.
"Ai, ayo berpakaian dan makan." ajak Emir.
Aina menggeleng. "Aku tak lapar."
Emir ikut duduk di samping Aina. "Aku tak tahu apa yang kamu rasakan. Sekalipun itu sangat menyakitkan bagimu, kamu juga harus mengasihi dirimu sendiri." Emir berdiri lagi. Ia kemudian melangkah ke arah lemari pakaian, mengeluarkan sepasang baju rumah untuk Aina.
"Pakai ini, Ai. Nanti kamu kedinginan." Emir meletakan pakaian itu di atas tempat tidur dan dia bermaksud akan keluar kamar tapi Aina menahan tangannya.
"Kak.....!"
Emir menatap tangannya yang dipegang Aina lalu menatap wajah gadis itu. "Ada apa?"
"Bantu aku melupakan segalanya. Semua rasa sakit yang membuat aku tak kuat untuk melanjutkan hidupku. Bantu aku untuk lepas dari semua ini."
"Bagaimana caranya?"
Aina melepaskan tangannya yang memegang tangan Emir. Ia kemudian melepaskan handuk yang melilit tubuhnya. Nampak tubuh polosnya yang putih mulus
"Aina.....!" Emir terkejut melihat apa yang Aina lakukan. "Jangan seperti ini."
Aina tak bicara. Ia berdiri semakin dekat dengan Emir. "Bawah aku pada suasana dimana aku bisa melupakan masa laluku." Ia berjinjit, melingkarkan tangannya di leher Emir lalu mencium Emir dengan segenap kemampuannya untuk merayu lelaki itu.
Awalnya Emir masih bertahan. Namun ia tak tahan juga. Di angkatnya tubuh Aina sehingga kaki gadis itu melingkar di pinggangnya. Emir membalas ciuman Aina dengan penuh gairah.
Tempat tidur tua itu menjadi saksi gairah yang tak bisa ditahan lagi pasangan suami istri itu. Emir dengan mudah bisa menaklukan Aina dalam kendalinya sampai akhirnya ketika Emir mencoba memasukinya, Aina memejamkan matanya menahan sakit yang tiada tara.
"Sakit?" tanya Emir. Aina hanya mengangguk. Ada air mata yang keluar di sudut mata gadis itu.
"Ka...kamu masih perawan?" tanya Emir hampir tak mempercayainya.
"Iya." jawab Aina.
Emir kaget sekaligus senang karena menjadi yang pertama bagi perempuan itu. Ia berpikir kalau Aina dan Fatar sudah pernah melakukannya mengingat mereka pacaran sangat lama.
"Aku akan pelan-pelan." Emir mendorong masuk. Tak tergesa-gesa. Perlahan saja.
"Ah......sakit.....!" Aina menancapkan kuku-kukunya di punggung Emir.
Emir memejamkan matanya. Menikmati sensasi indah saat ia berhasil menembus dinding kesucian Aina.
Emir kembali mencium Aina. Merayu istrinya itu sampai perhatian Aina teralihkan dari sakit kepada ciuman itu.
Aina memeluk tubuh Emir ketika semuanya selesai.
"Maafkan aku yang menyakitimu." kata Emir tepat di wajah Aina.
Aina hanya tersenyum. Ia kemudian mengecup pipi Emir lalu memejamkan matanya.
Emir pun perlahan melepaskan penyatuan mereka. Ia berbaring di samping Aina. Matanya menatap lurus ke arah langit-langit kamarnya.
"Ai, masih sakit?" tanya Emir.
"Masih agak perih, kak."
Emir memiringkan tubuhnya. Menatap Aina yang masih berbaring terlentang. "Terima kasih ya." kata Emir lalu menyeka keringat di dahi Aina dengan punggung tangannya.
"Aku yang seharusnya berterima kasih pada kakak. Sudah menghapus semua jejak yang Emir tinggalkan di tubuhku. Bahkan mengambil semua yang belum pernah Fatar miliki."
"Ayo ke sini!" Emir kembali tidur terlentang sambil membuka tangannya. Aina pun bergerak dan membaringkan kepalanya di lengan Emir. "Tidurlah jika kamu merasa capek." kata Emir lalu mengecup puncak kepala Aina.
Perlahan Aina memejamkan matanya. Sebenarnya ia tak mengantuk namun ia memejamkan juga matanya.
*************
Perlahan Aina membuka matanya. Ia tahu kalau ini pasti sudah agak siang. Tadi subuh, ia dan Emir melakukan bercinta lagi untuk yang kedua kalinya.
Aina merasa bersyukur karena ini hari Sabtu sehingga ia tak perlu bangun pagi untuk ke kantor.
Saat Aina menggerakkan tubuhnya untuk bangun, ia merasakan seluruh persendian tubuhnya sakit. Apalagi di inti tubuhnya. Ia menahan selimut di dadanya sambil mencari keberadaan bajunya. Aina mengambil pakaian yang semalam disiapkan oleh Emir. Ia memakainya secara perlahan lalu segera merapikan rambutnya.
Saat Aina akan membereskan tempat tidur, ia melihat ada bercak-bercak merah di seprei berwarna kuning putih itu. Aina langsung membuka seprei nya dan mengambil seprei lain di dalam lemari. Aina membawa seprei kotor itu keluar dari kamar.
Ruang tamu sepi. Ibu Tita pasti sudah pergi ke pasar karena sekarang sudah jam 9 lewat. Emir pun pasti sudah pergi karena ia bertugas pagi hari ini.
Aina menuju ke kamar mandi untuk merendam seprei itu dan juga pakaiannya semalam.
Ia memutuskan untuk mandi dan mencuci rambutnya.
Begitu selesai mandi, Aina ke kamar untuk ganti pakaian. Begitu ia keluar kamar, ia kaget melihat Emir yang baru saja tiba dengan motornya.
"Kak, ada sesuatu yang lupa?" tanya Aina.
Emir tersenyum sambil menggeleng. "Aku ijin hari ini. Nanti besok aku akan masuk dari jam 7 pagi sampai jam 11 malam. Aku tak mau kamu menganggap aku membiarkanmu setelah malam pertama kita."
Wajah Aina menjadi panas mendengar perkataan Emir. Namun sekali lagi perempuan itu menepis rasa yang menyentuh hatinya itu.
"Aku baik-baik saja, kak."
"Masih sakit?" tanya Emir.
"Masih. Soalnya tadi subuh kan...." Aina sengaja mengantungkan kalimatnya. Emir langsung mendekat dan memeluk Aina.
"Maaf kalau tadi subuh aku tak bisa menahan diriku. Kamu terlalu menggoda untukku. Semoga tadi subuh aku tak kasar ya?"
Aina menggeleng dalam pelukan Emir. Perempuan itu berpikir, biarlah dalam pelukan Emir, ia bisa melupakan rasa sakit yang ditinggalkan oleh Fatar.
************
Sebuah mobil hitam berhenti di depan rumah Emir. Pengendara mobil itu menurunkan kaca mobilnya untuk lebih jelas melihat ke dalam rumah. Ia tersenyum penuh misteri sebelum akhirnya meninggalkan tempat itu.
***********
Siapakah itu?
aina.... pas sangat sakit dan kecewa...
mami siapa tokoh dalam novel kali ini yg gak memakai topeng di wajahnya.....
mami sukses banget bikin pembaca penasaran.... Terima kasih upnya mami... happy holiday...