Seorang pria muda yang sedang menunggu interview dan seraya menunggu panggilan, dia memilih meluangkan waktunya untuk menjadi driver ojek online, tapi pria yang bernama Junaidi ini cukup apes dan apesnya ini bukan hanya sekali dua kali, tapi berkali-kali.
Singkatnya, pada malam itu pria muda tersebut tengah terburu-buru untuk mengantarkan pesanannya, tanpa sengaja, dia menyerempet nenek tua yang sedang menyebrang jalan.
Bukannya menolong, dia justru acuh tak acuh dengan alasan takut diberi bintang satu jika terlambat datang.
Namun, siapa sangka kalau nenek yang dia serempet bukanlah sembarang nenek dan setelah malam itu, mata batinnya terbuka. Inilah KUTUKAN SEMBILAN PULUH SEMBILAN HARI yang harus Junaidi terima.
Cerita ini merupakan karya fiksi murni. Nama tempat, kejadian dan karakter yang disebutkan tidak memiliki koneksi dengan kenyataan dan hanya untuk tujuan kreatif semata ditulis oleh Tsaniova.
Jam Update pukul 9.00 pagi dan malam pukul 19.00 wib
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tsaniova, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masalah selau menghampiri tanpa jeda
Junaidi yang masih dengan sedikit kesadarannya itu menatap Melati yang terdiam, mematung tanpa ekspresi apapun.
"Mel," ucap Junaidi dengan lirih, tangannya ingin menggapai hantu itu, tapi Melati masih diam.
Bruk! Junaidi benar-benar jatuh sekarang, dia sendiri di belakang kos dengan berlumuran darah.
"Bang, Abang!" teriak Melati kemudian, dia mencoba membangunkan Junaidi tapi, pria itu tak juga membuka mata.
"Jahat kamu, Mel. Seandainya dia mati dan langsung pergi ke alam selanjutnya, apa kamu bisa lihat dia lagi?" tanyanya pada diri sendiri.
"Nggak bisa, kenapa aku nggak mikir sampai situ!" Melati panik, dia bangun dan mulai berlari untuk meminta tolong. Tapi, mengingat dia adalah hantu, lantas siapa yang dapat mendengarnya?
"Tolong!" teriaknya seraya berlari ke depan kos-kosan khusus pria tersebut.
Lalu, Melati yang benar-benar takut kehilangan Junaidi itu kembali ke tempatnya berada. Dia mulai menyentuh ponselnya. Dia ingin menghubungi Rumi, tapi ponselnya terkunci oleh sandinya.
"Aaakhhh! Aku mana tau sandinya!" ucap Melati yang ingin menginjak ponsel itu.
Seketika, dia teringat dengan sesuatu tentang ponsel dan sandinya membuatnya ingin kembali ke kantor untuk mencari asal-usulnya. Bahkan, bayangan-bayangan sewaktu dia bekerja kini sudah mulai dia ingat.
Melati merasa tertekan, dia sakit setiap ingin mengetahui apa yang sudah menimpanya, dendam di hatinya sudah membara berbulan-bulan, tapi tidak tau harus pada siapa dia membalas sakit hatinya.
Melihat Junaidi sekarat dan membutuhkan pertolongan membuat Melati merasakan bagaimana dirinya saat itu, saat dia membutuhkan pertolongan. Namun, tidak ada yang melihat atau mendengar.
Sekarang, Melati pergi ke kamar kos para sahabat Junaidi dan ternyata kamar itu sudah kosong. "Kemana mereka? Apa udah mulai cari Bang Juna?" tanyanya, dengan segera, Melati turun untuk mencari mereka.
"Bang, Bang!" teriak Melati saat melihat dua pemuda tersebut di area parkir.
"Akh, lupa. Mereka nggak bisa lihat aku, apalagi dengar!" kata Melati seraya mengambil batu kecil.
"Semoga mereka tau dengan isyarat ku ini," gumam Melati seraya melemparkan batu kecil itu ke arah pintu belakang.
Tapi, apa yang dilakukannya membuat mereka semakin takut. "Sam, jangan-jangan Juna diapa-apain lagi sama hantu itu, terus sekarang giliran kita, gimana, nih?" tanya Rumi seraya menggoyangkan lengan Sami.
"Iisshh, lepas! Jangan kaya bocil," celetuk Sami seraya menyingkirkan tangan sahabatnya dari lengannya.
"Tapi, Juna bilang dia baik, lu percaya, nggak?" tanya Sami dan keduanya saling tatap, juga sama-sama menggeleng.
"Astaga," ucap Melati seraya menepuk jidatnya, dia juga menggeleng setelah mendengar percakapan keduanya.
Tak mau berlama-lama lagi, sekarang Melati merasuki tubuh Rumi, lalu dia menggandeng tangan Sami, membawanya ke arah belakang kos yang memiliki sedikit pekarangan juga sebagai tempat sampah.
"Rum! Rum!" seru Sami seraya mencoba melepaskan tangannya, tapi Rumi menggandengnya dengan erat.
Sesampainya di area belakang kos, Rumi menunjuk ke arah Junaidi terkapar, setelah itu terduduk lemas, ternyata Melati sudah keluar dari tubuh pria yang tidak dia sukai itu.
"Juna!" seru keduanya bersamaan.
Sungguh, mereka tak habis pikir saat masalah tak henti-hentinya menghampiri tanpa jeda.
"Ini semua gara-gara kutukan Juna!" geram Sami, dia begitu kesal dengan nenek yang sudah mengutuknya, tapi tak sepenuhnya salah nenek tersebut yang kecewa dengan sikap Junaidi pada malam itu.
Sekarang, keduanya membantu Junaidi untuk bangun, mereka membawa Junaidi ke IGD klinik seberang jalan, tapi karena keadaannya yang kritis membuat Junaidi dirujuk ke rumah sakit terdekat.
Melati yang ikut mendorong brangkar Junaidi itu hanya bisa diam, dia masih merasa bersalah, merasa jahat karena tak mau melindungi teman barunya.
Sekarang, di depan IGD dan dokter menyarankan untuk segera tindakan atau operasi. Sami dan Rumi yang bertanggungjawab, mereka menandatangani berkasnya.
"Mohon maaf, masnya tunggu di sini," ucapnya.
Lalu, Melati yang merasa tak terlihat itu dengan percaya dirinya mencoba masuk dan tanpa diduga suster tersebut melarangnya. "Mbak tunggu di sini, harap bantu doa untuk keselamatan pasien," ucap suster seraya memperhatikan mereka bertiga.
Mendengar suster menyebut mbak, membuat Sami dan Rumi saling tatap, mereka sadar kalau ada sosok Melati di antara mereka.
"Denger, ya. Gua tau lu di sini, gua harap lu jangan ganggu kami!" ucap Rumi seraya mencari-cari keberadaan Melati.
Melati mengerucutkan bibirnya, dia pun kesal merasa disebut pengganggu, dengan sengaja hantu cantik tersebut menendang tempat sampah yang berada di dekatnya.
"Aaaaaaaa!" teriak Rumi seraya memeluk tangan Sami dan mereka pun berpelukan, membuat orang-orang yang melihat mereka memandang aneh.
"Udah, biarin aja. Mungkin dia mau nemenin Juna!" tukas Sami seraya melepaskan pelukan Rumi dengan begitu kesal.
"Gua mau cari minum dulu," kata Sami kemudian, dia pergi ke kantin untuk membeli minuman dingin, tidak lupa membeli sebatang rokok, karena itu membuatnya berada sedikit lama di kantin.
"Astaga, baru kali ini gua ngalamin kaya gini, gua harap mata batin Juna beneran ketutup setelah sembilan puluh sembilan hari," harap Sami.
Kemudian, ponselnya bergetar, dia pun segera merogoh saku celananya, di layar ponselnya tertulis nama Rumi yang menghubungi. "Halo, ada apa?" tanya Sami seraya bangun dari duduk.
"Dimana lu? Lama amat, cepetan, Juna udah pindah ruangan!" gerutu Rumi, dia pun memutuskan sambungan teleponnya, tapi dia tidak lupa mengirim alamat kamar Junaidi.
"Anggrek tiga," gumam Sami yang sedang membaca pesan sahabatnya. Singkat cerita, pria berkaos polos merah itu sudah membuka pintu ruangan, dia pun memberikan minuman dinginnya untuk Rumi.
"Makasih," ucap Rumi seraya menerimanya, dia mulai meminum minuman tersebut, lalu mengelap bibirnya menggunakan punggung tangannya dan saat itu, Rumi melihat darah, dia melihat darah di gelas cup yang Sami berikan.
Tentu saja membuat pria itu takut, dengan mata yang melebar, Rumi melepaskan gelasnya begitu saja.
"Aaaaaa...! Aaaaaaaaa!" teriak Rumi saat itu juga.
"Darah, darah, Sam!" teriaknya seraya memperhatikan minuman yang tumpah itu.
Sami yang duduk di kursi dengan memainkan ponselnya itu bingung, bagaimana mungkin darah kalau yang dia berikan adalah kopi dingin. Pria itu pun bangun, dia menampar Rumi, berusaha menyadarkannya.
"Ini, nih. Kalau gua cerita nggak percaya, kudu direkam!" kata Sami seraya mulai merekamnya, meletakkan ponselnya di kursi dengan arah kamera menuju Rumi.
Tapi, yang dilihat Rumi adalah sosok hitam keling, benar-benar hitam, rambut gimbal mengembang, giginya terlihat panjang dan sangat tajam, matanya merah membuatnya merasa mual.
Rumi pun memuntahkan isi perutnya saat itu juga. "Uuueeekk!"
"Aaakh! Lu, jorok banget, sih!" gerutu Sami yang kaosnya terkena muntahan itu, dia pun mengambil tisu yang ada di atas nakas, mengelap bajunya supaya sedikit kering.
Tanpa Sami sadari kalau Rumi sedang berjalan ke arah jendela, ya yang Sami lihat seperti itu. Tapi, yang Rumi alami dia sedang diseret, sosok menyeramkan itu menyeretnya dengan kuat.
"Aaaaaaa! Setan. Pergi, lu!" teriak Rumi seraya menahan kakinya supaya tak terbawa olehnya.
Melihat Rumi dalam bahaya, Melati pun menyadarkan Sami, dia mengambil tisu, meremas tisu tersebut, lalu melemparnya ke arah Rumi yang diam-diam melangkah ke jendela.
Sami mencoba menenangkan hatinya, dia harus mulai terbiasa dengan sosok-sosok yang mengikuti Junaidi, kemudian Sami tersadar dengan apa yang dia lihat yaitu Rumi sudah berdiri tepat di tepi jendela.
"Tidaaaaak!" teriak Sami seraya berlari ke arah sahabatnya yang mulai menginjakkan kakinya di jendela.
Grep!
Bersambung dulu, jangan lupa like, komen dan pantau terus Junaidi dkk, ya. 😇😇