Auriga tidak menyadari dia sedang terjebak dalam sebuah masalah yang akan berbuntut panjang bersama Abel, gadis 18 tahun, putri temannya yang baru saja lulus SMA.
Obsesi Abel kepada Auriga yang telah terpendam selama beberapa tahun membuat gadis itu nekat menyamar menjadi seorang wanita pemandu lagu di sebuah tempat hiburan malam. Tempat itu disewa oleh Mahendra, ayah Abel, untuk menyambut tamu-tamunya.
“Bel, kalau bokap lo tahu, gue bisa mati!” Kata Ode asisten sang ayah tengah berbisik.
“Ssst...tenang! Semuanya aman terkendali!” Abel berkata penuh percaya diri.
“Tenang-tenang gimana? Ini tempat bukan buat bocah ingusan kayak elo!”
“Dua hari lagi aku 18 tahun! Oh my God, gatel ya,Mahen!Lo ya, ganjen banget! Katanya nggak mau nikah lagi tapi ani-aninya seabrek!" Umpat Abel pada sang papa.
***
Di satu sisi lain sebuah kebahagiaan untuk Auriga saat mengetahui hubungan rumah tangga mantannya tidak baik-baik saja dan tidak bahagia dia pun kembali terhubung dengannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tris rahmawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24 Wajah di Antara bayang
Jantung Abel masih berdegup kencang setelah Auriga sudah masuk ke dalam vila bersama papanya. Ia melangkah menjauh, mencari tempat untuk menenangkan diri dan bernapas lega.
Rasanya jantungnya hampir melompat keluar dari penyangganya saat tadi berinteraksi dengan pria itu. Gugup, takut, dan bingung bercampur menjadi satu.
Tatapan Auriga tadi penuh keterkejutan dan kebingungan masih terbayang di benaknya. Bagaimana tidak? Auriga bahkan sempat memanggilnya Ana. Nama yang sudah Abel tinggalkan. Nama pemberian Auriga yang pernah menjadi bagian dari dirinya.
Abel menelan ludah, mencoba mengusir gemetar di dadanya. Tadi ia berusaha keras menutupi rasa gugupnya.
Abel ingat tatapan Auriga itu… tatapan yang jelas-jelas mengenal dirinya, seolah sedang berhadapan dengan hantu dari masa lalu. Bagaimana tidak? Tentu pria itu terkejut melihat seseorang yang menghilang dari rumahnya kini muncul kembali sebagai anak temannya.
"Kenapa harus sekarang ketemunya?" gumam Abel pelan sambil mendekap kucing putih di pelukannya. Pretty mengeong pelan, seolah ikut merasakan kegelisahannya. Abel mengusap kepala kucing itu, mencoba mengalihkan pikirannya. Namun percuma, karena bayangan tatapan Auriga terus menghantuinya.
Abel takut pertemuan ini jadi pembukaan. Cepat atau lambat, Auriga akan mencari jawaban.
Dan dia tidak yakin dirinya siap untuk menghadapinya jika itu terbongkar. Tapi sebelum semuanya terbuka Abel akan segera pergi. Lusa adalah keberangkatannya ke Australia dan sang papa juga Ode akan mengantarkannya.
Setelah berbincang santai di ruang tengah sambil menikmati soft drink dan beberapa makanan ringan yang Mahendra siapkan, Auriga dan Mahendra akhirnya keluar menuju vila blok A. Sementara Abel menjauh dari mereka agar tidak di ajak ikut serta.
Matahari sudah hampir sepenuhnya tenggelam, dan suasana senja mulai berubah menjadi remang. Meski begitu, mereka tetap melangkah menuju area yang lebih jauh untuk melihat-lihat.
Area vila itu terasa sepi, namun bukan jenis kesepian yang menakutkan. Justru, keheningannya yang terasa menenangkan, seperti oasis di tengah hiruk pikuk dunia. Sekitar 80 persen vila di kawasan itu sudah ditempati, sebagian besar oleh keluarga-keluarga mapan yang menginginkan ketenangan sekaligus kemewahan. Mahendra menjelaskan dengan penuh antusias, menunjuk-nunjuk beberapa bagian kawasan.
“Vila ini saya beli waktu harga tanah di sini belum melambung. Lihat, Ga, tipe bangunannya modern tropis, kebanyakan dua lantai dengan konsep terbuka. Ukurannya cukup besar—rata-rata 300 sampai 5000 meter persegi dengan halaman luas. Cocok untuk keluarga,” katanya, tangannya menunjuk sebuah vila yang tampak asri. “Bangunannya dilengkapi kaca besar di bagian depan dan skylight, jadi pencahayaan alami masuk dengan mudah. Ada kolam renang kecil di belakang, plus gazebo.”
Auriga mengangguk. Matanya memandang sekilas vila-vila itu, tapi pikirannya jauh dari sana. Mahendra terus berbicara, membahas alasan-alasan dia membeli properti tersebut, namun respons Auriga hanya klise, dia jawab “Bagus,” “Ya, menarik,” “Sepertinya nyaman.” Seakan semua penjelasan itu hanya melintas tanpa meninggalkan jejak.
Pikirannya terlalu sibuk dengan pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk di kepalanya. Sampai akhirnya, tanpa sadar, ia melontarkan sesuatu di luar konteks pembicaraan.
“Arabella liburan kemana beberapa waktu lalu, Pak Mahen? Sudah besar sekali dia sekarang dapat izin liburan sendiri.”
Mahendra, yang sebelumnya sibuk menunjuk sebuah jalan setapak, tertawa kecil dan menoleh. “Bukan liburan, tapi kabur ke rumah temannya, Claudia. Anak itu memang keras kepala. Tapi karena malu kalau ketahuan kabur, dia bilangnya liburan.” Mahendra tersenyum tipis, melanjutkan, “Ya biasalah, remaja. Lagi ngambek. Untungnya, Ode, asisten saya, berhasil membujuknya pulang.”
Auriga hanya diam, membiarkan kata-kata itu menggantung di langit kebingungan. Ada dorongan kuat untuk bertanya lebih jauh yakin dia benar ada di sana? Tidak berbohong? Ada bukti?
tapi bibirnya terasa berat, seolah pertanyaan-pertanyaan itu terlalu lancang untuk diutarakan.
Apa yang sebenarnya aku harapkan?
Membayangkan mungkin Ana dan Arabella adalah orang yang sama? Tapi sungguh wajah itu, mata itu, senyuman itu... semuanya begitu serupa, meskipun karakter mereka jauh berbeda.
Tidak, aku tidak gila, Auriga nyaris memekik kuat Namun, semakin ia mencoba meyakinkan dirinya, semakin sakit kepala pula memikirkannya.
Datang bikin susah pergi tambah menyusahkan umpat Auriga. Menyusahkan siapa? Hati?
***
Hari mulai gelap, dan tanpa peringatan, hujan deras turun membasahi vila dan halaman sekitarnya. Auriga dan Mahendra yang masih berada di luar langsung berlari kecil mencari perlindungan. Seorang satpam yang sigap segera menyambut mereka dengan satu payung, namun itu tak cukup untuk melindungi ketiganya sepenuhnya dari hujan.
Di dalam vila, Abel yang menyadari hujan mulai turun mendadak berdiri dari kursinya. Ia mencari payung dan segera keluar, langkahnya tergesa-gesa. Pandangannya tertuju pada papa dan Auriga yang berjalan beriringan di bawah satu payung, jelas tidak cukup untuk menampung tubuh keduanya. Tanpa pikir panjang, Abel menerobos hujan, membawa payung lain untuk mereka.
“Auriga, dekati Abel saja,” ujar Mahendra begitu Abel tiba di dekat mereka.
Auriga mendekat, membuat mereka berjalan beriringan menuju vila. Tubuh Abel hampir bersentuhan dengan Auriga di bawah payung yang sama. Auriga tidak bisa menahan pikirannya untuk memerhatikan gadis itu lebih dekat.
Postur tubuh Abel, cara ia melangkah, bahkan bahunya yang kurus, semuanya terasa terlalu mirip dengan Ana. Auriga mengerutkan dahi, mencoba menemukan sesuatu yang bisa membedakan mereka.
Rambut? Ya, rambut Arabella sedikit lebih cokelat, tapi itu mudah diubah dengan pewarna. Bau tubuh? Ana nyaris tidak pernah memakai wewangian, tapi Arabella… gadis itu harum, wangi manis seperti campuran matcha, vanila, dan sedikit jasmine yang begitu lembut. Tapi itu saja tidak cukup. Auriga tidak menemuka tada tanda spesifik yang membuktikan mereka orang yang sama.
Sementara itu, tangan Abel gemetar. Bukan karena dingin, tapi karena jaraknya yang begitu dekat dengan Auriga. Ia mencoba menahan payung dengan stabil, namun rasanya sulit mengendalikan tangannya. Auriga, menyadari itu, mengambil alih payung dengan tenang.
“Biar saya saja,” katanya sambil menggenggam gagang payung dengan mantap. Abel hanya mengangguk, merasa lega sekaligus gugup.
Hujan terus mengguyur hingga mereka akhirnya sampai di teras vila. Auriga yang sedikit basah segera menurunkan payung dan mengusap lengannya yang basah oleh percikan hujan.
“Terima kasih, Arabella,” ujar Auriga, suaranya tenang namun ada sesuatu di matanya yang membuat Abel menunduk gugup.
“Sama-sama, Om,” jawab Abel cepat, mengangguk kecil sebelum bergegas mendekati papa untuk menyembunyikan rasa gelisahnya. “Papa basah?” tanyanya, mencoba terdengar biasa saja.
Mahendra tersenyum, menepuk bahunya. “Sedikit. Auriga tuh malah basah kuyup. Kamu bawain payung tapi payungin diri sendiri,” godanya sambil tertawa kecil.
Abel tersentak, baru menyadari kebenaran ucapan sang papa. Ia terlalu sibuk menjaga sikap hingga tidak sadar membuat Auriga basah kuyup.
Wajahnya memerah, dan ia berusaha tertawa canggung. “A-aku… maaf, Om. Habis Om tinggi banget, aku yang kecil susah buat mayungin,” katanya sambil mencoba bercanda.
Auriga hanya mengangguk kecil, mengusap bajunya yang lembap. “Cuma air. Biasa,” ujarnya tenang, namun sorot matanya tetap tak lepas dari Abel yang sedang berusaha menyembunyikan kegugupannya. Sesuatu terasa ganjil, dan semakin ia memerhatikan gadis itu, semakin banyak pertanyaan yang mengganggunya.
Malam semakin larut ketika Auriga memutuskan menggunakan salah satu kamar di lantai bawah vila untuk mengganti pakaiannya yang basah. Di dalam kamar, pikirannya terus bergelut, mencari celah logis yang bisa menjelaskan kemiripan luar biasa antara Ana dan Arabella. Apa mungkin? Ana dan Arabella adalah orang yang sama? Pertanyaan itu berputar tanpa henti di benaknya, seperti pusaran air yang sulit dihentikan.
Sampai ketukan di pintu memecah lamunannya.
Tok tok.
Auriga menghentikan kegiatannya, menoleh ke arah suara itu. Dari luar, suara lembut Abel terdengar, tapi jelas penuh keraguan. “Om, ini bajunya papa. Kata papa, sebaiknya Om ganti baju, takut masuk angin.”
Auriga diam sejenak, lalu berjalan ke pintu. Ia tahu suara itu. Persis suara Ana. Dengan langkah perlahan, ia membuka pintu, membuat mereka berdua berhadapan langsung. Auriga menatap Abel lekat-lekat, mencoba mencari celah pada ekspresi gadis itu. Jika dia berbohong, pasti akan terlihat dari tatapannya.
Namun, Abel berdiri di sana dengan tenang. Meski gugup, gadis itu tampak lebih kuat daripada yang dibayangkan Auriga. “Apakah ada masalah, Om? Kenapa lihat aku seperti itu?” tanyanya polos sambil mengulurkan pakaian. “Oh, ini bajunya dari papa. Semoga muat, ya.”
Auriga hampir kehilangan kendali. Suara itu… cara gadis ini berbicara. Semuanya seperti memanggil kembali sosok Ana ke dalam pikirannya. Napasnya tertahan, dan hasrat untuk bertanya langsung hampir meluap.
Jangan-jangan Ana punya kembaran? Tapi itu mustahil. Auriga tahu riwayat Arabella anak itu lahir sendirian, ibunya meninggal saat melahirkan. Tidak ada ruang untuk teori aneh seperti itu.
Dengan kontrol yang nyaris goyah, Auriga mengambil pakaian itu dari tangan Abel. “Terima kasih,” katanya singkat, suaranya lebih berat dari biasanya. Tatapannya masih menembus, seolah berusaha membaca pikiran gadis itu.
Abel, meski dadanya terasa sesak, berhasil mempertahankan sikap acuh. Ia sedikit mengerutkan dahi, pura-pura heran dengan tatapan aneh Auriga. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia segera berbalik pergi, mencoba mengatur napasnya yang memburu.
Namun sebenarnya, Abel merasa tubuhnya hampir gemetar. Berhadapan langsung dengan Auriga di jarak sedekat itu rasanya seperti berjalan di atas pecahan kaca. Ia tahu, pria itu pasti sedang mencurigai sesuatu. Tapi Abel tidak boleh lengah. Jika panik, semuanya bisa berantakan.
Di dalam kamar, Auriga meletakkan pakaian di tempat tidur. Jemarinya mengusap dagunya dengan gelisah.
Mereka begitu mirip. Terlalu mirip. Tapi bagaimana bisa? Pikirannya terus berputar-putar, jauh di dalam dirinya, ada keinginan besar untuk mendapatkan jawaban lebih.
Apakah mungkin Ana dan Arabella benar-benar satu orang dan dia adalah anak Mahendra…
Untuk apa itu terjadi?
Omong kosong! Apa yang dia inginkan anak remaja seperti Arabella kepadanya.
takut ada sesuatu
padahal ini masalah hati yg buat Abel berbuat konyol pura2 Amnesia 🙆🏻♀️
haduh bahaya berlll
next akak tris 🙏
💪💪
Padahal masalah sepele “Cintq…
Huhuhu jadi ga sabar up kak 🥰🥰
serem
timakasi tris rahma 😘