"Pergi kamu dari sini! Udah numpang cuma nambah beban doang! Dasar gak berguna!"
Hamid dan keluarganya cuma dianggap beban oleh keluarga besarnya. Dihina dan direndahkan sudah menjadi makanan sehari-hari mereka. Hingga pada akhirnya mereka pun diusir dan tidak punya pilihan lain kecuali pergi dari sana.
Hamid terpaksa membawa keluarganya untuk tinggal disebuah rumah gubuk milik salah satu warga yang berbaik hati mengasihani mereka.
Melihat kedua orangtuanya yang begitu direndahkan karena miskin, Asya pun bertekad untuk mengangkat derajat orangtuanya agar tidak ada lagi yang berani menghina mereka.
Lalu mampukan Asya mewujudkannya disaat cobaan datang bertubi-tubi mengujinya dan keluarga?
Ikuti terus cerita perjuangan Asya di sini!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Araya Noona, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
"Mungkin dia pikir setelah menikah dengan Hamid dia akan hidup senang menikmati harta saya. Ck! Saya bukan orang bodoh yang akan memberikan harta saya ke sembarang orang." Anisa terus melanjutkan ocehannya tak peduli sedikitpun dengan perasaan Asya saat ini yang sudah mulai tidak nyaman dengan ucapannya.
Kedua tangan gadis itu sudah mengepal di kedua sisinya. Sungguh dia ingin sekali melawan namun dia masih menghargai Anisa sebagai neneknya. Ya, setidaknya sebelum wanita itu mengeluarkan kata-kata yang sungguh menyakiti perasaan Asya.
"Saya tau pasti ibu kamu yang nyuruh kamu ke sini." Selain tak punya rasa kasihan pada keluarganya sendiri, ternyata Anisa juga sudah tidak punya rasa percaya pada mereka.
"Bilang sama ibu kamu, saya akan bantu pengobatan ayah kamu kalo dia bersedia meninggalkan Hamid," kata Anisa santai seakan apa yang baru saja dia katakan itu adalah hal yang wajar.
Baiklah. Asya tak lagi bisa sabar sekarang. Gadis itu bangkit dari tempat duduknya cepat. Kakinya sedikit menyenggol meja membuat benda itu bergeser hingga menimbulkan bunyi yang membuat Anisa kaget.
"Kalo memang nenek tidak ingin membantu, bilang saja!" kata Asya. Dia tidak meninggikan nada suaranya namun dia berkata dengan penuh penekanan seakan tengah memperingatkan wanita itu. "Bapak dan ibu saya gak akan pernah berpisah."
Setelahnya Asya pun pergi dari sana. Tak peduli bagaimana sang nenek menatapnya seakan tidak percaya.
"Dasar anak kurang ajar! Itu pasti didikan ibunya yang miskin itu." Anisa masih saja menyalahkan Yani atas sikap Asya. Padahal yang membuat sang cucu jadi seperti itu karena sikapnya sendiri yang tidak pernah bisa adil pada keluarga Hamid. Hanya karena pria itu menikahi wanita yang bukan pilihan keluarga.
Kali ini Asya tak hanya menangis karena sedih mengingat keadaan ayahnya namun juga dia menangis karena marah pada keluarga sang ayah. Ini sudah kesekian kalinya dia memohon bantuan pada keluarga sang ayah tapi tak satupun dari mereka yang ingin membantu. Lebih parahnya lagi, sang nenek sampai mengajukan syarat tak masuk akal.
Sebenarnya mereka itu masih pantas dipanggil keluarga atau tidak sih? Kok tega sekali memperlakukan keluarga Asya seperti itu.
Sekarang Asya benar-benar sudah tidak tahu harus meminta bantuan pada siapa lagi. Ibunya juga sudah menelpon sejak tadi, mengabarkan jika sang ayah harus segera dibawa ke rumah sakit besar karena keadaannya semakin memburuk.
Di tengah kegundahan hatinya, terlintas sebuah ide yang sepertinya itu menjadi jalan satu-satunya untuk Asya mendapat uang dengan cepat. Gadis itu melajukan motor yang dia pinjam menuju rumah. Dengan langkah terburu-buru Asya masuk ke dalam rumahnya lalu mengambil surat sertifikat tanah kebun milik sang ibu.
Jarak kebun dan rumah mereka cukup jauh itulah sebabnya mereka tidak sanggup menggarapnya.
"Maafin Asya, Bu," gumam Asya mengusap air matanya yang jatuh dengan punggung tangan. Dia juga tidak ingin harta mereka satu-satunya dijadikan jaminan namun nyawa sang ayah lebih penting sekarang.
"Asya janji bakalan tebus kembali tanah kita ini," lanjutnya kemudian keluar dari rumah itu menuju ke salah satu rentenir paling kaya di sana. Sebab hanya dialah yang memiliki uang tunai yang dibutuhkan oleh Asya saat ini. Ingin ke bank sayangnya jarak bank cukup jauh belum lagi Asya benar-benar sudah kehabisan uang sekarang.
Tidak butuh waktu lama, kini Asya telah sampai di depan rumah orang terkaya di daerah tempat tinggalnya. Rumah dengan tiga lantai, cat berwarna orange cerah ditambah pagar besi berwarna emas. Sangat mencerminkan jika pemiliknya menyukai hal yang glamor dan mencolok.
Asya memencet bel yang terletak di sebelah kanan pagar tinggi tersebut. Tak butuh waktu lama seorang wanita paruh baya yang Asya yakini sebagai pembantu di rumah itu datang dan membukakan pintu untuk Asya. Dia bertanya apa tujuan Asya datang ke sana dan setelah Asya memberitahunya, dia langsung membawa Asya masuk.
Kebetulan sekali Asya datang di waktu yang tepat di mana sang pemilik rumah sedang ada di sana. Ibu Sunarti, nama sang pemilik rumah megah tersebut.
"Jadi kamu butuh uang berapa?" tanya Ibu Sunarti setelah membaca sertifikat yang dibawa oleh Asya. "Saya gak bisa ngasih banyak karna jaminan kamu juga gak seberapa," lanjutnya sebelum Asya membuka suara.
"Yang penting sudah cukup untuk biaya operasi dan rawat bapak saya itu sudah cukup, Bu," jawab Asya.
Bu Sunarti pun mengangguk kecil sambil tersenyum tipis. Wanita itu lalu memanggil suaminya untuk mengambilkan uang yang akan diberikan pada Asya.
Asya yang sejak tadi menunduk tidak melihat bagaimana pria yang seusia dengan bapaknya itu menatapnya. Dia terlihat begitu tertarik dengan Asya. Sebenarnya ini pertama kalinya dia melihat Asya secara langsung. Selama ini dia hanya mendengar jika di kampung mereka ada seorang gadis yang sangat cantik bernama Asya dan hari ini baru dia melihatnya. Berita itu ternyata benar. Gadis itu sangat cantik meski dalam balutan pakaian yang lusuh.
"Ini, Ma," katanya menyerahkan tiga gepok uang pecahan seratus ribu.
Bu Sunarti menerima uang itu lalu menyodorkannya pada Asya.
"Saya pikir ini sudah cukup," katanya.
Seumur hidup, Asya tidak pernah melihat uang sebanyak itu. Asya segera mengambil uang tersebut lalu memasukkannya ke dalam tas lusuhnya.
"Terimakasih banyak, Bu. Saya janji akan membayarnya tepat waktu," kata Asya merasa sangat bersyukur karena akhirnya ada juga yang membantunya meski ada imbalannya. Tidak apa-apa. Setidaknya dengan begitu Asya tidak akan merasa berhutang budi.
"Sama-sama. Semoga bapak kamu cepet sembuh ya," kata Bu Sunarti.
"Iya, Bu. Amin. Kalo begitu saya pamit. Assalamualaikum!"
"Walaikumsalam!"
Asya pun berlalu dari sana menuju rumah sakit di mana ayahnya masih dirawat. Sampai di sana ternyata sang ayah sudah dalam proses pemindahan. Yani juga sudah membayar semua biaya rumah sakit dengan uang mereka yang masih tersisa.
Awalnya Yani terlihat gelisah namun melihat Asya tersenyum membuat wanita itu bisa menebak jika anaknya mendapatkan uang yang entah dia sendiri pun belum tahu dari mana.
Mereka ikut dengan mobil yang mengatar Hamid. Ternyata sampai di rumah sakit besar, Hamid langsung di operasi sebab dokter dari rumah sakit sebelumnya sudah mendaftarkannya lebih dulu. Apalagi Hamid menjadi pasien prioritas karena keadaannya yang sudah sangat kritis.
"Kamu dapat uang dari mana?" tanya Yani sesaat setelah mereka selesai membayar semua biaya dan kembali ke depan ruang operasi untuk menunggu Hamid keluar.
Asya mengulas senyuman manis lalu menggenggam tangan sang ibu erat.
"Itu hasil pinjaman. Tapi Ibu tenang aja, Asya akan bekerja keras untuk membayarnya nanti. Yang terpenting sekarang itu kesembuhan Bapak," ujar Asya.
Yani tak lagi bisa membendung tangisnya. Sebagai seorang ibu dia merasa sangat tidak berguna. Dia merasa gagal sebagai orangtua karena selalu membuat Asya susah.
"Maafin Ibu, Sya. Maafin Ibu ... hiks ...." isaknya membuat Asya juga tak kuasa menanggung tangisnya di sana. Suara tangis mereka yang terdengar begitu pilu memenuhi lorong rumah sakit tersebut. Mereka hanya bisa berharap agar badai segera berlalu terganti dengan pelangi yang indah.
n memberitahu klo dia adalah tulang punggung kluarganya n ada utang yg harus dibayar
saran saya kalau bisa ceritanya s lanjutkan terus supaya pembaca tidak terputus untuk membaca novelnya, karena kalau suka berhenti sampai berhari hari baru muncul kelanjutan bab nya mana pembaca akan bosan menunggu,