Hubungan asmaranya tak seindah kehidupannya. Hatinya sudah mati rasa karena selalu dipermainkan oleh para pria. Namun, seorang pria yang baru pertama kali ia jumpai malah membuat hatinya berdebar. Akankah Violet membuka hatinya kembali?
Sayangnya pria yang membuat hatinya berdebar itu ternyata adalah pria yang menyebalkan dan kurang ajar. Gelar 'berwibawa' tidaklah mencerminkan kepribadian si pria ketika bersamanya.
"Kau hanyalah gadis manja, jangan coba-coba untuk membuatku kesal atau kau akan tau akibatnya." — Atlas Brixton Forrester.
****
⚠️NOTE: Cerita ini 100% FIKSI. Tolong bijaklah sebagai pembaca. Jangan sangkut pautkan cerita ini dengan kehidupan NYATA.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon widyaas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
...Sebelum membaca wajib LIKE! ☺️...
...***...
"Shh... Geli!" Violet bergerak-gerak saat merasakan sesuatu menyentuh punggungnya.
"Diamlah." Atlas menatap datar punggung mungil itu.
"Geli!"
"Memangnya mau ditekan saja?"
"Kalau ditekan ya sakit!" ketus Violet.
"Kalau begitu diamlah dan jangan bergerak."
Violet membenamkan wajahnya di sofa itu. Dia merinding saat merasakan kompresan dingin itu menyentuh kulitnya.
Tidak ada yang canggung di antara mereka berdua. Padahal tubuh bagian atas Violet hampir telanjang. Bagi Violet, tidak ada yang perlu dipermasalahkan, dia percaya diri karena tubuhnya memang mulus dan terawat. Tidak ada alasan yang membuatnya tak percaya diri atau malu.
Tiba-tiba Violet membandingkan Atlas dengan para mantannya yang mata keranjang.
Apa dia masih normal? Batin Violet bertanya-tanya. Bahkan wajah Atlas tetap datar, tidak terlihat tegang atau tergoda sama sekali.
"Sudah selesai?" Violet menoleh ke belakang melihat Atlas yang sudah merapikan kompresan tadi.
"Seperti yang kau lihat." Atlas beranjak kembali menuju dapur untuk meletakkan baskom dan handuk kecil nya.
Violet segera duduk dan merapikan baju kaosnya agar menutupi tubuhnya kembali. Dia menatap apartemen Atlas yang besarnya sama dengan miliknya, bahkan cat tembok berwana putih itu juga sama dengan apartemennya. Tentu saja sama, mereka masih 1 gedung apartemen. Tau begini, Violet lebih baik numpang di tempat Atlas.
"Astaga! Belanjaanku?!" Violet menepuk jidatnya. Camilan yang sangat ia butuhkan pasti masih teronggok di dalam lift, atau mungkin saja sudah dipungut oleh orang lain. Berarti dia rugi!
"Ahh, sial!" desisnya. Entah kenapa, akhir-akhir ini Violet suka mengumpat tak jelas, sekalipun itu masalah kecil, dia pasti mengumpat. Ini pasti pengaruh dari Atlas, karena pria itu yang sering membuatnya kesal dan berakhir mengumpat.
"Kenapa?" Atlas datang membawa segelas air untuk Violet. Gadis itu segera meneguk air dalam gelas tersebut.
"Camilan ku...," rengeknya.
Atlas ber oh ria. "Aku mandi lebih dulu. Tunggu sebentar," ucapnya kemudian. Tanpa mendengar balasan Violet, Atlas segera pergi ke kamarnya dan mulai membersihkan diri.
Violet menghela nafas kasar. Dia menyandarkan punggungnya di sandaran sofa.
"Apakah dia tidak berniat mengganti camilan ku?" sinisnya. "Pelit sekali."
Beberapa menit kemudian, Atlas sudah rapi dengan celana pendek berwarna hitam dan kaos berwarna navy. Terlihat lebih segar dari sebelumnya.
"Ayo," ajaknya pada Violet yang asik bermain ponsel sambil rebahan di sofa.
"Ke mana?" tanya Violet. Dia beranjak duduk dan menatap tunangannya dengan bingung.
"Belanja camilan. Mau atau tidak?"
"Mau!"
Violet menyengir lebar. Dia segera berdiri dan berjalan mengikuti Atlas keluar dari kamar apartemen.
Karena tidak mau sesuatu kembali terjadi padanya, Violet pun berlari kecil sampai dia berada di samping Atlas. Dia membutuhkan perlindungan pria itu saat ini.
"Aku bisa tanpa Atlas." Nyatanya dia tidak bisa. Baru saja keluar beberapa menit, penguntit mulai mengganggunya. Apakah seterusnya akan begini? Violet tidak terbiasa, tapi dia butuh perlindungan.
Atlas menggenggam tangan Violet saat hendak menyebrangi jalan menuju minimarket.
Setelah sampai di dalam, Atlas kembali melepaskan genggamannya.
"Ambil apapun yang kau mau," ujar pria itu.
Tentu saja itu adalah ucapan yang Violet tunggu-tunggu. Tanpa berkata lagi, Violet segera mengambil keranjang dan mulai mengambil camilan yang dia sukai. Anggap saja Atlas mengganti camilan Violet yang hilang.
Lantaran tak mau kecolongan lagi, Atlas memutuskan mengikuti Violet. Dia hanya diam mengamati gadis di depannya tanpa banyak bicara, terlihat seperti bodyguard daripada tunangan.
"Kau suka ini?" Violet menunjuk salah satu snack di sebuah rak.
"Ambil jika kau mau," jawab Atlas.
"Kalau kau menyukainya, akan aku ambil." Violet menatap mata elang itu.
"Aku suka."
Tanpa menunggu lama, Violet memasukkan snack tersebut ke dalam keranjang setelah mendengar jawaban Atlas.
"Kau tidak sekalian belanja bahan masakan?" tanya Violet tanpa mengalihkan pandangannya dari rak camilan.
"Tidak."
Tak ada percakapan lagi diantara mereka. Hingga beberapa menit kemudian, Violet telah membuat keranjangnya penuh. Gadis itu segera menuju kasir. Dia sedikit menyingkir untuk memberi ruang pada Atlas yang bertugas membayar semua belanjaannya. Violet menyengir lebar menatap calon suaminya tersebut.
Violet memang anak orang kaya, tapi dia tak munafik kalau tentang gratisan.
Gadis berpiyama putih itu menahan senyumnya kala Atlas membawakan plastik berisi camilannya. Perhatian kecil seperti itulah yang membuat Violet merasa sedikit bersyukur. Setidaknya pria itu berguna untuknya.
****
Pagi-pagi sekali sebelum berangkat kerja, tanpa memberitahu istrinya, Daxton singgah ke apartemen putrinya.
Tentu dia tau apa yang terjadi pada putrinya kemarin. Asistennya lah yang memberitahunya tadi malam. Dia meminta asistennya agar memantau putri dan calon mantunya. Sayangnya, asistennya itu telat datang menolong Violet. Dia baru mengabari ketika Violet sudah aman dalam perlindungan Atlas.
Daxton langsung masuk karena dia tau pin kamar apartemen putrinya.
Ketika memasuki kamar Violet, Daxton tak melihat siapapun di sana. Hatinya mendadak khawatir. Pria itu memanggil anaknya berkali-kali, tapi tak ada sahutan.
"Ke mana anak itu?" gumamnya. Bahkan ranjang berseprei putih itu masih terlihat rapi, seolah memang Violet tidak tidur di sana.
"Daddy?"
Daxton tersentak lalu berbalik. Violet berdiri di ambang pintu kamar dan menatapnya dengan bingung.
"Daddy sedang apa di sini?"
"Astaga..." Daxton segera menghampiri putrinya dan memeluknya dengan erat.
Violet yang kebingungan pun hanya diam dan membalas pelukan hangat Daxton sambil menepuk-nepuk punggung kekar itu.
"Kau dari mana saja? Daddy mendapat laporan kalau semalam kau dalam bahaya. Benar?" Daxton melepas pelukannya dan memeriksa tubuh putrinya.
"Iya. Ada penguntit yang mengikuti ku," jawab Violet. Dia adalah tipe orang yang tak bisa menyembunyikan apapun dari orang tuanya. Karena dia itu adalah orang yang suka mengadu kalau ada apa-apa.
"Benarkah? Lalu?" Tatapan mata Daxton terlihat marah dan khawatir.
"Ada Atlas yang menyelamatkan aku. Tapi, Dad, punggungku sepertinya memar. Penguntit itu sempat menendang punggungku." Violet mengadu.
"Menendang?" Daxton terkejut bukan main. Asistennya hanya mengatakan kalau Violet diikuti seseorang yang jahat dan Atlas menolongnya.
Violet mengangguk, dia memasang wajah sedih.
"Tapi Daddy tenang saja, punggungku sudah diobati Atlas," ujar Violet. Dia menepuk-nepuk lengan daddy nya untuk menenangkan.
"Daddy tidak akan tenang kalau kau terluka, Violet. Mulai sekarang, jangan keluar sendirian. Ajaklah Atlas jika dia tidak sibuk, tapi kalau dia sibuk, jangan berani-beraninya kau keluar sendirian, paham?"
Violet mengangguk. Lebih baik Atlas yang menjadi bodyguard nya daripada Daddy mengutus orang lain.
Violet memang butuh perlindungan, tapi dia tak mau dikawal seperti orang penting.
"Daddy tidak usah khawatirkan aku. Aku sudah dewasa."
Ah, ucapan itu yang membuat Daxton benci. Bagaimanapun juga, Violet tetap menjadi anak kecil di matanya. Anak kecil yang harus dilindungi bak berlian hidup. Violetta adalah dunia Daxton, bagaimana bisa pria paruh baya itu terlihat baik-baik saja saat putrinya terluka?
"Apakah Daddy perlu merekrut bodyguard untukmu?" tawar Daxton.
"Tidak perlu. Percaya padaku, aku akan baik-baik saja. Lagi pula, Atlas juga ada di sini, kan?" Violet mengajak daddy nya duduk di sofa ruang tamu.
"Daddy sudah sarapan?" tanya Violet mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Belum. Daddy bilang pada Mommy mu kalau Daddy ada rapat penting pagi ini." Daxton mengelus surai Violet dengan lembut.
"Kalau begitu, kita sarapan bersama, aku akan masak dulu." Violet hendak beranjak, namun Daxton mencegahnya.
"Tidak perlu. Daddy membawa bekal, ada di mobil," jelas Daxton.
Violet mengangkat kedua alisnya. "Mommy yang bawakan?"
Daxton mengangguk, "Siapa lagi memangnya?"
Keduanya lantas terkekeh kecil.
"Baiklah, kalau begitu Daddy berangkat sekarang. Jaga dirimu baik-baik. Kalau ada apa-apa, telpon Daddy saja."
"Iya, Daddy..." Violet memeluk Daxton sebelum pria itu keluar dari apartemennya.
"Untung Daddy tidak tanya aku habis dari mana," gumam Violet seraya melihat punggung Daxton yang berbelok masuk ke dalam lift.
Dia tidak sengaja ketiduran di apartemen Atlas tadi malam, setelah mereka menghabiskan waktu menonton film, ah, lebih tepatnya hanya Violet yang menonton, karena Atlas sibuk dengan pekerjaannya.
***
kalau ky gitu mlah mirip binaragawan