Blokeng adalah seorang pemuda berusia 23 tahun dengan penampilan yang garang dan sikap keras. Dikenal sebagai preman di lingkungannya, ia sering terlibat dalam berbagai masalah dan konflik. Meskipun hidup dalam kondisi miskin, Blokeng berusaha keras untuk menunjukkan citra sebagai sosok kaya dengan berpakaian mahal dan bersikap percaya diri. Namun, di balik topengnya yang sombong, terdapat hati yang lembut, terutama saat berhadapan dengan perempuan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13: Uang 500 Koin Tertelan ke Perut Blokeng
Setelah melewati serangkaian kejadian yang aneh dan konyol, Blokeng merasa bahwa hidupnya tidak akan pernah membosankan. Hari itu, dia dan teman-temannya memutuskan untuk menghabiskan waktu di alun-alun sambil menjajal berbagai permainan yang ada. Setelah puas bermain, mereka pun beranjak ke sebuah kedai yang menjual berbagai camilan dan minuman segar.
Sambil menunggu pesanan, Blokeng merogoh sakunya dan menemukan sekelompok koin. “Wah, ada 500 koin! Cukup buat beli sesuatu yang enak!” serunya dengan semangat. Dia lalu menghampiri seorang penjual makanan, menawarkan koin-koin itu untuk membeli berbagai camilan.
“Dapatkan dua porsi keripik pedas, dua gelas es teh manis, dan satu porsi bakso!” perintah Blokeng sambil menunjuk menu-menu yang ada di papan. Sementara penjualnya mempersiapkan, Blokeng kembali duduk di meja bersama teman-temannya.
Mereka tertawa dan bercanda satu sama lain, sementara makanan dan minuman mulai disajikan. Blokeng sangat bersemangat, dan saat keripik pedas yang ditunggu-tunggu akhirnya datang, dia langsung mengambil satu keripik dan mengunyahnya. Rasa pedas yang menggigit langsung membuatnya terbatuk.
“Brahhh… pedas! Tapi enak!” ujarnya sambil terbatuk-batuk. Dia langsung menyodorkan keripik pedas lainnya kepada teman-temannya.
Setelah mereka makan dengan lahap, Blokeng mendengar suara gemerisik di dalam perutnya. “Eh, ada yang aneh nih,” gumamnya. Teman-temannya yang mendengar hanya tertawa, mengira itu adalah suara keroncongan perut biasa.
“Gak apa-apa, itu cuma perut kosong, Blokeng!” celetuk Ardi.
Namun, rasa aneh itu semakin kuat, dan tiba-tiba, Blokeng merasa ada sesuatu yang tidak beres. Dia menepuk perutnya dengan keras. “Kok rasanya kayak ada yang mengganjal, ya?” ujarnya sambil memegangi perutnya. Teman-temannya tidak mengambil serius, dan mereka melanjutkan makan.
Saat perutnya terasa semakin tidak nyaman, Blokeng berusaha untuk tenang. Namun, rasa sakit itu semakin menjadi-jadi. “Aduh! Rasanya kayak ada yang mau keluar, tapi gak bisa!” teriaknya.
“Apa kamu mau ke dokter?” tanya salah satu temannya.
“Tunggu dulu, aku harus memastikan,” Blokeng menjawab, semakin gelisah. Dia berdiri dan mulai berjalan mondar-mandir. Saat itulah, dia merasakan sensasi aneh di tenggorokannya.
“Eh, ini bisa jadi masalah serius!” ujarnya sambil memegangi lehernya. Tanpa diduga, dia mendengar suara berdesir dari perutnya yang semakin kencang. Dalam keadaan panik, Blokeng mengambil napas dalam-dalam dan berusaha mengeluarkan semua yang mengganjal.
Satu, dua, tiga… dia mencoba bersuara, tetapi hanya terdengar suara aneh yang dikeluarkan dari dalam perutnya. Di saat yang sama, Blokeng merasakan sesuatu yang sangat aneh. “Koin… koin ini!” teriaknya saat melihat beberapa koin 500 rupiah menempel di gigi gerahamnya.
“Apa? Koin? Dari mana itu?” tanya Ardi, yang kebingungan.
“Kayaknya… aku tertelan koin-koin ini!” Blokeng terkejut. “Gak mungkin, kan?!”
Dengan keadaan yang semakin panik, dia mulai merasakan dorongan kuat dari dalam perutnya, dan sebelum dia menyadarinya, koin-koin itu meluncur turun ke dalam kerongkongan.
“Bisa-bisa aku bakal mati!” jeritnya. “Cepat, panggil ambulan!”
Teman-temannya mulai ketakutan, beberapa di antaranya bahkan menertawakan Blokeng yang terengah-engah. Namun, Blokeng tidak mau menjadi bahan lelucon. Dia segera berlari ke toilet terdekat.
Dalam perjalanan ke toilet, dia merasakan perutnya bergejolak dan seakan-akan koin-koin itu berputar-putar di dalam. Dengan langkah tergesa-gesa, Blokeng bergegas masuk ke dalam toilet dan langsung menutup pintunya.
Di dalam toilet, dia mulai merasakan dorongan luar biasa untuk “mengeluarkan” semua koin yang mengganggu. Dia duduk di toilet dan berusaha sekuat tenaga. “Ayo keluar! Jangan tinggal di sini!” teriaknya sambil memegang perutnya yang terasa penuh.
Setelah beberapa menit yang menegangkan, Blokeng merasa lega saat akhirnya koin-koin itu mulai keluar. “Yeaaah! Akhirnya!” teriaknya dengan suara yang menggema di dalam toilet. Namun, di saat yang sama, dia menyadari bahwa itu bukan cara yang tepat untuk mengatasi masalah.
Ketika dia selesai, Blokeng membuka pintu toilet dengan wajah puas. Dia keluar dan disambut teman-temannya dengan wajah penasaran. “Gimana, Blokeng? Keluar semua?”
“Jangan tanya, aku merasa lebih baik!” Blokeng menjawab sambil tersenyum lebar. “Dan jangan pernah mencampurkan uang koin ke makanan lagi!”
Semua orang tertawa, menganggap kejadian itu sebagai pelajaran berharga untuk Blokeng. Meskipun dia menghabiskan malam yang penuh dengan rasa sakit dan canda, dia bersyukur masih bisa bercerita tentang pengalaman itu dengan tawa.
“Aku akan lebih berhati-hati mulai sekarang!” ucap Blokeng, menyadari bahwa hidupnya selalu penuh kejutan, baik yang menyenangkan maupun yang memalukan. Dan dalam perjalanan pulang itu, dia tahu bahwa banyak cerita lucu yang masih akan menghiasi hidupnya.
Setelah mengeluarkan semua koin yang mengganjal perutnya, Blokeng merasa sedikit lega. Namun, tidak lama setelah itu, sensasi aneh kembali menyerang. Perutnya tiba-tiba bergejolak, dan rasa tidak nyaman mulai merambat lagi. Ia meraba perutnya yang kini kembali terasa penuh.
“Gila, ada apa lagi ini?” gumamnya sambil melangkah keluar dari toilet. Namun, kali ini dia tidak sempat merenungkan penyebabnya. Rasa mual mulai menggelayut di tenggorokannya, dan tanpa bisa ditahan, dia merasakan dorongan kuat dari dalam.
“Ah, enggak… jangan!” teriaknya panik. Namun, tubuhnya tidak bisa dikendalikan. Dalam sekejap, dia merasakan dorongan itu semakin kuat dan akhirnya…
“Blok!”
Dengan suara yang tidak bisa ditahan, Blokeng terpaksa berak di celananya. Suara gemuruh itu menggema, membuatnya seakan terjebak dalam situasi paling memalukan dalam hidupnya. Dia menutup mulut dengan tangan, matanya melotot ketakutan, dan wajahnya merah padam.
Teman-temannya yang menunggu di luar toilet langsung merasakan ada yang aneh. “Blokeng, kamu baik-baik saja?” tanya Ardi, khawatir.
“Uhhh, jangan masuk!” Blokeng berteriak dari dalam toilet, berusaha menahan rasa malu yang semakin menjadi. “Aku… aku mengalami kecelakaan!”
“Apaan sih? Jangan bercanda!” Ardi menanggapi dengan nada cemas.
Blokeng tidak punya pilihan lain selain mengumpulkan keberanian dan berusaha membersihkan dirinya. Ia berusaha mencari solusi sambil panik. Dengan cepat, dia mengambil tisu toilet dan mulai membersihkan dirinya, tetapi semua itu tidak membantu menghilangkan aroma yang sangat tidak mengenakkan.
Setelah beberapa saat yang sangat tidak nyaman, Blokeng akhirnya keluar dengan wajah yang sangat memalukan. Teman-temannya langsung menyadari ada yang tidak beres ketika mereka melihat ekspresi Blokeng.
“Wah, apa yang terjadi? Kamu kayaknya udah berperang di dalam sana!” tanya Ardi sambil mencoba menahan tawa.
Blokeng tidak bisa menjawab. Ia hanya berdiri dengan penuh rasa malu, menatap temannya dengan tatapan memohon pengertian. “Jangan tawa, ya. Aku… ehh… kecelakaan.”
Semua temannya langsung pecah tawa, tidak bisa menahan diri melihat kondisi Blokeng. “Loh, kok bisa?” tanya Joko, masih tertawa terbahak-bahak. “Kok bisa sampai begini, Blok?”
“Aku sudah bilang jangan masuk!” Blokeng merasa marah dan malu sekaligus. “Tadi… perutku rasanya aneh, dan… ya sudah, bisa tahu sendiri.”
Dengan nada bercanda, Ardi berusaha menenangkan suasana. “Duh, Blokeng. Kamu bikin kita ketawa. Ini cerita yang pasti akan kita ingat!”
Blokeng menyadari bahwa apapun yang terjadi, dia tetap harus bisa tertawa. “Ya udah, aku minta maaf, ya. Ini pelajaran berharga. Mulai sekarang, aku akan lebih berhati-hati.”
Setelah momen konyol itu, Blokeng berusaha mengalihkan perhatian dari kejadian memalukan tersebut. Mereka beranjak dari alun-alun dan mencari tempat lain untuk bersantai.
“Mau kemana sekarang?” tanya Joko.
“Kita cari tempat makan yang lebih aman, yang enggak bikin perut kembung!” jawab Blokeng sambil tersenyum, berusaha untuk tidak mengingat insiden itu.
Dalam perjalanan, mereka terus bercanda dan menggoda Blokeng, tetapi dia merasa lebih baik melihat teman-temannya tersenyum. Dia menyadari bahwa meskipun hidupnya penuh dengan kejadian aneh dan konyol, dia tetap dikelilingi oleh teman-teman yang selalu ada untuknya.
“Setiap kejadian pasti ada hikmahnya,” pikir Blokeng, sambil melanjutkan langkahnya. “Dan aku rasa ini adalah bagian dari petualangan hidup yang harus kujalani.”
Dia mengusap perutnya yang masih terasa tidak nyaman dan berjanji pada diri sendiri untuk lebih memperhatikan apa yang dia makan dan minum ke depannya. Dengan semangat baru, mereka melanjutkan petualangan tanpa memikirkan insiden yang sudah berlalu. Momen lucu itu hanya akan menjadi kenangan manis dalam perjalanan hidupnya yang penuh warna.