Di malam satu Suro Sabtu Pahing, lahirlah Kusuma Magnolya, gadis istimewa yang terbungkus dalam kantong plasenta, seolah telah ditakdirkan untuk membawa nasibnya sendiri. Aroma darahnya, manis sekaligus menakutkan, bagaikan lilin yang menyala di kegelapan, menarik perhatian arwah jahat yang ingin memanfaatkan keistimewaannya untuk tujuan kelam.
Kejadian aneh dan menakutkan terus bermunculan di bangsal 13, tempat di mana Kusuma terperangkap dalam petualangan yang tidak ia pilih, seolah bangsal itu dipenuhi bisikan hantu-hantu yang tak ingin pergi. Kusuma, dengan jiwa penasaran yang tak terpadamkan, mencoba mengungkap setiap jejak yang mengantarkannya pada kebenaran.
Di tengah kegelisahan dan rasa takut, ia menyadari bahwa sahabatnya yang ia kira setia ternyata telah menumbalkan darah bayi, menjadikan bangsal itu tempat yang terkutuk. Apa yang harus Kusuma lakukan? mampukah ia menyelamatkan nyawa teman-temannya yang terjebak dalam kegelapan bangsal 13?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bobafc, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kampus
Langit malam yang pekat seolah menyembunyikan rahasia-rahasia gelap di sudut kampus, sementara waktu merayap ke tengah malam. Kelaparan yang datang mendadak, bukanlah hal yang menyenangkan bagi Kusuma. Terlebih, asrama wanita di pojok kampus ini selalu menyimpan aura yang tak biasa. Kusuma sudah sering mendengar cerita-cerita seram tentang tempat ini. Bahkan, beberapa di antaranya tak hanya sekadar cerita, ia pernah mengalami sendiri kehadiran yang sulit dijelaskan.
Malam ini, rasa lapar yang menggeliat di perut mendorongnya untuk membangunkan Bilqis, sahabat yang sudah lama terlelap. Perlahan, Kusuma menggoyang-goyangkan tubuh Bilqis.
"Bilqis.. temenin cari makan yuk," bisiknya pelan namun mendesak.
Bilqis bergeliat pelan, suara Kusuma seakan menariknya dari alam mimpi yang masih menggantung di kelopak mata. "Kusuma, ngapain sih? Malam-malam begini, aku ngantuk," gumam Bilqis sambil menguap, matanya masih terasa berat.
"Temenin cari makan," ucap Kusuma, setengah merengek.
Bilqis menghela. "Kebiasaan deh. Aku kan sudah bilang buat stok makanan, biar nggak begini," jawabnya sambil membuka mata perlahan.
"Iya, bawel amat. Ayolah, nanti aku traktir deh," janji Kusuma, tersenyum meyakinkan.
Sejak masuk kuliah, hidup Kusuma terasa lebih tenang. Jauh dari Anjar, saudara tirinya, adalah anugerah tersendiri yang ia syukuri. Selain itu, kehadiran Bilqis yang tulus selalu memberi rasa nyaman. Bilqis menerima sisi-sisi lain Kusuma yang orang lain mungkin anggap aneh. Kusuma pernah bercerita tentang penampakan yang dilihatnya bertahun-tahun lalu, pengalaman yang membuatnya kadang kehilangan kendali di malam-malam tertentu. Meski begitu, Bilqis tetap di sampingnya.
Selain Bilqis, hidup Kusuma juga diwarnai oleh hadirnya seorang sahabat pria yang tak kalah istimewa. Agvia, mahasiswa keperawatan yang ceria dan penuh canda tawa, adalah sepupu Bilqis yang kini turut menjadi bagian dari lingkar persahabatan mereka. Agvia selalu mampu menghidupkan suasana dengan humor-humor ringan dan kepribadiannya yang menyenangkan. Dalam kehadirannya, Kusuma merasa hidupnya menjadi lebih berwarna—seperti semburat senja yang menggantikan siang yang monoton, memberi kehangatan baru di tengah segala keanehan dan sunyi yang kadang ia rasakan.
Keberadaan Agvia bukan sekadar tawa; ia membawa cahaya yang membelai jiwa Kusuma, mendorongnya untuk sesekali melupakan mimpi-mimpi buruk dan merayakan hal-hal sederhana dalam perjalanan hidup mereka yang masih panjang.
"Kusuma.. daerah sini katanya angker. Kamu ngerasain apa-apa nggak?" tanya Bilqis, menahan napas sejenak.
Meski Kusuma tampak tenang, Bilqis tak bisa mengabaikan perasaan aneh yang merayapi tengkuknya. Jantungnya mulai berdetak cepat. Di bawah pohon beringin itu, bayangan samar seperti tersenyum di antara ranting dan dedaunan. Ia menggenggam tangan Kusuma lebih erat, menahan napas yang berderai ketakutan.
“Nggak ada jalan lain apa selain jalan ini?” gerutu Bilqis, suaranya bergetar.
Beberapa detik kemudian, tawa pecah di tengah malam yang dingin, terdengar bergema di antara pepohonan kampus. Kusuma terpingkal-pingkal menyaksikan sahabatnya, Bilqis, yang berdiri menggigil ketakutan. Tidak hanya Kusuma yang tergelak, seorang pemuda berperawakan tinggi dan berhidung mancung di belakang Bilqis pun tertawa puas. Agvia, si pengganggu malam ini.
Bilqis menghentakkan kaki, bibirnya mengerucut marah. "Iihhh... kalian ini!" Ia meraih tangan, mengepalkan tinju, dan meninju hidung Agvia hingga pemuda itu tersentak mundur. Tawa seketika mereda saat Agvia memegang hidungnya yang mulai mengeluarkan sedikit darah, wajahnya memelas.
"Sadis banget, Mbak!" seru Agvia, berusaha menjaga keseimbangan sambil menahan pusing.
"Salah sendiri!" Bilqis membuang muka, meski ada rasa bersalah menyelip di hatinya. Ia tak menduga tinjunya sekeras itu.
Melihat ketegangan yang hampir terlanjur, Kusuma mencoba meredakan suasana, "Sudah-sudah. Yuk, kita buru-buru beli lotek sebelum keburu tutup."
Dengan tatapan setengah merajuk, Bilqis mengarahkan pandangannya pada Kusuma, "Kamu juga, kok, nggak bilang?"
Kusuma tersenyum, menampilkan deretan giginya yang putih. "Aku juga baru tahu waktu kamu tutup mata. Lihat ke belakang, eh ternyata si jahil Agvia," ujarnya sambil menahan tawa.
Malam itu, ketiga sahabat itu berjalan menuju warung lotek langganan mereka, meninggalkan perdebatan kecil yang malah semakin mempererat persahabatan. Di sepanjang perjalanan, obrolan mereka bercampur tawa ringan, mencairkan dingin malam.
Sambil mengunyah timun di piringnya, Agvia mengeluh, "Besok jadwal Dokter Lista mengajar. Pusing aku! Tugas yang kemarin saja belum beres."
Dokter Lista, dosen yang terkenal tegas dan tak pernah berkompromi soal tenggat waktu, selalu menjadi momok bagi Agvia. Bilqis, yang masih kesal, mengambil satu buah terong dan memukulnya pelan di kepala Agvia. "Makanya, jangan kebanyakan main game. Belajar, dong!"
Tersedak mendengar teguran sepupunya, Agvia berwajah memelas. "Sudah dong, Mbak. Jangan siksa terus, akunya," katanya sambil meminum teh hangat untuk menelan makanan yang tersangkut.
Kusuma terkekeh pelan, menikmati pemandangan dua saudara yang selalu ribut namun tak terpisahkan. Dalam hatinya, ia bersyukur. Di antara semua malam kelabu yang pernah dilaluinya, kehadiran Bilqis dan Agvia adalah pelangi yang dikirim Tuhan mengisi hari-harinya dengan tawa, candaan, dan hangatnya persahabatan yang tulus.
**
"Selamat pagi semua! Pengumpulan tugas makalah, saya undur sampai sepuluh hari ke depan. Harus sempurna, tidak ada alasan karena saya sudah memberi tenggang waktu lebih!" suara Dokter Lista menggema di ruangan kuliah, penuh penekanan. Setiap kata yang diucapkannya menambahkan beban di pundak mahasiswa yang mendengarnya. Tatapan tajamnya membuat semua anak didiknya terdiam, tidak berani bersuara.
Agvia mengusap dadanya, merasa lega karena mendapatkan waktu tambahan untuk menyelesaikan tugas Anatomi Fisiologi tentang metabolisme tubuh manusia yang selalu membuatnya bergidik. Bayangan proses akhir makanan di dalam tubuh membuatnya terus menunda untuk mengerjakan. "Akhirnya, aku punya waktu lagi," bisiknya, lebih kepada diri sendiri.
"Kita ke Ruang Simulasi OK untuk Praktik!" perintah Dokter Lista tiba-tiba, mengalihkan perhatian semua mahasiswa.
Dokter Lista mulai beranjak dari kelas, semua mahasiswa mengikutinya dengan tertib, tak ada yang berani mendahului karena takut mendapatkan hukuman.
Setelah berjalan melalui lorong, mereka tiba di sebuah pintu berwarna biru yang kokoh. Dokter Lista membukanya dengan tegas dan masuk, diikuti semua mahasiswa yang menunggu instruksi lebih lanjut. Di dalam ruangan, suasana terasa serius, aroma antiseptik menyengat hidung.
"Semua yang mengikuti praktik, wajib menggunakan masker, handscoon, dan nurse!" kata Dokter Lista sambil mempersiapkan bahan pembedahan.
Bilqis telah menjadi asisten dosen, karena kepintaran gadis itu sudah diakui dosen pembimbingnya yang tak lain adalah Dokter Lista yang selalu memberinya nilai plus di setiap mata kuliah. Kusuma sebenarnya lebih pintar dari Bilqis, entah.. kenapa dosen itu lebih menyukai Bilqis yang selalu mual ketika melihat manekin organ tubuh.
Wanita berusia lima puluh tahun itu mulai menjelaskan dengan tenang, "Sekarang, kita akan melakukan sayatan sekitar sepuluh senti di bagian yang sudah ditandai." Gerakan tangannya terlihat sangat lihai, seolah menyayat adalah bagian dari rutinitas sehari-hari.
Bilqis menatap nanar tubuh yang tergeletak di meja, merasa takjub sekaligus ngeri dengan keberanian Dokter Lista. "Bagaimana dia bisa begitu tenang?" gumamnya dalam hati, mengamati langkah-langkah pembedahan.
Dokter Lista mengikat bagian usus yang sedikit menonjol menyerupai umbai cacing. "Lihatlah, ini adalah usus buntu," katanya sambil mengangkatnya perlahan, kemudian meletakkannya di nampan. "Kita akan menganalisis ini lebih lanjut."
Ketika pembedahan berlangsung, Dokter Lista mulai menutup kembali otot dan dinding perut dengan jahitan yang rapi. Suara tusukan jarum dan gesekan benang di antara daging membuat beberapa mahasiswa meringis, tak terkecuali Kusuma. Ia mengeratkan gigi, berusaha menahan rasa ngilu yang tiba-tiba muncul.
"Ah, ini cukup menegangkan," bisiknya, menggigit bibir. Namun, dalam ketidaknyamanannya, tanpa sadar, jarum bedah yang tajam tertancap di telapak tangannya saat ia meraba meja penyimpanan alat yang berada di sebelah kirinya. "Aduh!" teriaknya pelan, terkejut dengan rasa sakit yang mendadak.
Pandangan Kusuma mulai menggelap, dan dengan cepat, kenangan pahit beberapa tahun lalu kembali menghantui dirinya. Beberapa makhluk tak kasat mata menatapnya tajam, dengan wajah menyeringai seolah menunggu saat ketika mereka bisa terlihat. Ketakutan mencekam, dan Kusuma nyaris berteriak, jika Bilqis tidak segera menghampiri.
"Kusuma, hey! Apa yang terjadi?" Bilqis cepat-cepat mengambil jarum yang tertancap di telapak tangan sahabatnya dan memeluknya erat. "Kamu baik-baik saja, kan?"
Kusuma menggigit bibir, berusaha menahan tangis. "Bilqis... mereka muncul lagi. Aku bisa melihat mereka!" suaranya bergetar, ketakutan merayap di dalam dirinya.
"Ssshh... tenang, sayang. Mereka tidak bisa menyakitimu," Bilqis berusaha menenangkan sambil mengusap punggung Kusuma dengan lembut. "Ingat? Ini hanya imajinasimu. Aku di sini bersamamu."
Semua orang di ruangan menatap aneh pada kedua gadis yang kini tengah berpelukan. Namun, tidak dengan Agvia. Ia tahu persis apa yang terjadi pada Kusuma. "Kusuma, berfokuslah pada aku. Ayo, tarik napas dalam-dalam," ujarnya sambil mendekat. "Kita akan melewati ini bersama-sama."
Meski sempat terjadi kegaduhan, praktik tetap berlangsung. Dokter Lista memandang situasi tersebut dengan serius. "Baiklah, siapa yang bisa menggantikan posisi Bilqis?" tanyanya, lalu menunjuk salah satu mahasiswi. "Kita harus menyelesaikan jahitan ini."
Mahasiswi yang ditunjuk segera maju, dan praktik dilanjutkan. Dokter Lista mengusap dahinya yang berkeringat. "Meski ini hanya manekin, ketelitian sangat penting. Kesalahan bisa berakibat fatal," ujarnya, menekankan pentingnya konsentrasi.
"Kalau ini adalah manusia, satu kesalahan bisa berarti kehilangan nyawa," sambungnya, menatap para mahasiswa dengan serius.
Setelah semua proses selesai, Dokter Lista memberikan instruksi. "Sekarang, saya minta beberapa dari kalian untuk membereskan alat-alat dan ruangan. Dan ingat, catat semua yang kalian amati selama praktik pembedahan."
Mendengar perintah itu, suasana kembali tenang. "Kita punya waktu satu minggu untuk menyelesaikan laporan ini. Setelah itu, kita akan ke rumah sakit untuk praktik keperawatan," tambah Dokter Lista.
Kusuma yang masih sedikit gemetar mencoba menenangkan diri. "Kemana kita pergi, Dok?" tanyanya pelan.
"Bilqis, Agvia, dan kamu akan ke Rumah Sakit Tirtonegoro. Terletak di lereng," jawab Dokter Lista, mencoba memberi semangat.
Agvia tersenyum, "Kita akan baik-baik saja, Kusuma. Kita bisa menghadapi semuanya bersama."
Bilqis mengangguk, “Iya, kita akan melewati ini. Tidak ada yang perlu ditakuti jika kita bersama.”
Kusuma menatap kedua sahabatnya, merasakan ketenangan kembali menyelimuti hatinya, berjanji untuk tidak membiarkan ketakutan menguasainya lagi.