Amira Khairunissa, tiba-tiba harus menerima kenyataan dan harus menerima dirinya menjadi seorang istri dari pria yang bernama Fajar Rudianto, seorang ketos tampan,dingin dan juga berkharisma di sekolahnya.
Dia terpaksa menerima pernikahan itu karena sebuah perjodohan setelah dirinya sudah kehilangan seseorang yang sangat berharga di dunia ini, yaitu ibunya.
Ditambah dia harus menikah dan harus menjadi seorang istri di usianya yang masih muda dan juga masih berstatus sebagai seorang pelajar SMA, di SMA NEGERI INDEPENDEN BANDUNG SCHOOL.
Bagaimanakah nantinya kehidupan pernikahan mereka selanjutnya dan bagaimanapun keseruan kisah manis di antara mereka, mari baca keseluruhan di novel ini....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon satria, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 37.
Situasi dan posisi yang sedekat itu, membuat Amira gugup setengah mati, dia ingin Fajar menjauh dari dirinya, bukan malah semakin dekat kepadanya.
" Iya, kita memang boleh sedekat ini, karena sudah halal, tapi bukan itu masalahnya." ucap Amira, seraya mengalihkan pandangannya dari tatapan suaminya itu.
Fajar menatapnya dengan tatapan yang sulit Amira deskripsikan, yang jelas, tatapan itu membuat Amira semakin gugup, hingga jantungnya semakin berdebar tidak karuan.
Sampai detik berikutnya, dia langsung menunduk, sambil menyentuh bagian dadanya yang detakannya tidak kunjung kembali dengan normal.
" Terus apa masalahnya?" tanya Fajar, ikut menunduk menatap ke arah Amira.
" Masalahnya....jantung aku berdetak dengan cepat banget." lirih Amira, dengan terus menempelkan tangan kanannya ke dada kirinya.
" Debaran ini membuat aku cape dan sulit untuk bernafas." keluhnya lagi.
Dia sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi pada dirinya saat ini.
" Kamu grogi dekat dengan saya?" tanya Fajar, sambil tersenyum samar, sebuah senyuman ejekan untuk Amira.
Namun Amira kembali menggelengkan kepalanya dengan pelan.
Dia memang gugup dalam jarak sedekat itu dengan Fajar, tetapi dia bisa menjamin jika rasa sesak itu bukan karena rasa gugupnya terhadap Fajar.
" Sepertinya ini bukan karena grogi, tapi karena disini kekurangan oksigen, jadinya aku sulit bernafas."
Bagaimana bisa dia tidak merasa sesak, jika Fajar nyaris menghabiskan jarak di antara mereka, sehingga tidak ada ruang oksigen yang tersedia di sana.
Tubuh Amira yang lansing dan mungil, tentu saja akan tenggelam penuh dalam kukungan Fajar.
" Jadi....sekarang kamu butuh oksigen buatan?" tanya Fajar, sambil menaikkan salah satu alisnya.
Sementara Amira, dia malah mengerutkan keningnya, karena kurang paham, maksud dari ucapan yang Fajar katakan itu.
" Memang oksigen dibuat alam melalui tiap-tiap tahapan prosesnya, kan?" tanyanya, dengan tatapan yang polos.
Selama ini dia belajar dalam pelajaran biologi di sekolah mereka, tengang bagaimana proses terciptanya oksigen yang bisa digunakan manusia untuk bernafas.
" Apa yang kamu pahami tentang oksigen buatan?" tanya Fajar, hanya untuk memastikan apakah yang dia pikirkan berbeda atau sama dengan pikiran yang Amira pikirkan, tentang oksigen buatan.
" Pahaman aku sesuai dengan apa yang sudah kita pelajari di sekolah." jawab Amira apa adanya.
Sebuah senyuman samar terbit begitu saja di wajah tampan Fajar.
Benar sesuai dugaannya, kalau Amira itu terlalu polos untuk memikirkan apa yang dia pikirkan, sehingga pemahaman mereka tidak sejalan.
" Kamu gak tau, kalau ada oksigen buatan tanpa proses tahapan-tahapan yang dipelajari di sekolah?" tanya Fajar, santai, tetapi tampak serius.
Sehingga Amira menanggapinya juga dengan serius.
" Memangnya ada, ya?, prosesnya seperti apa, kalau itu berbeda dari proses yang diajarkan dalam pelajaran sekolah?" tanya Amira, sedikit antusias dibandingkan sebelumnya.
Dia antusias, karena dia berpikir akan mendapatkan ilmu baru yang belum dia ketahui selama ini.
" Ada." jawab Fajar menyakinkan.
" Dibuat oleh alam juga?" tanya Amira, dengan rasa penasarannya yang semakin tinggi.
Bahkan dia sampai lupa bagaimana posisi dirinya dan Fajar saat ini.
" Jawab, Jar."
Amira menuntut jawaban, sementara Fajar malah menatapnya dalam diam.
" Beda." jawab Fajar, begitu singkat.
Kedua alis Amira langsung terangkat, karena tidak paham.
Sementara Fajar, dia kembali menatap Amira dengan sorot mata yang penuh makna, hingga terukir senyum simpul di bibirnya.
" Bukan oksigen yang dibuat oleh alam." ucapnya, memperjelas ucapan sebelumnya.
Tanpa Amira sadari, kalau Fajar sudah tersenyum samar penuh arti.
" Terus dibuat siapa kalau bukan dibuat oleh alam?" tanya Amira, memandang Fajar dengan penuh rasa penasaran dan kebingungan yang semakin menjadi-jadi.
" Saya yang buat." jawab Fajar, dengan santainya dia berkata seperti itu.
Toh, Amira juga enggak akan paham dengan maksudnya, sehingga dia dengan bisa bebas mengatakan kalimat yang mengandung pesan tersirat.
" Emang, kamu bisa buat oksigen?"
" Hm." gumam Fajar, sebagai respon atas pertanyaan Amira.
Maksud dia sebenarnya adalah dia bisa menghasilkan oksigen untuk Amira, dengan cara menghembuskan nafas melalui bibir ke bibir, layaknya seperti berciuman, CPR.
Namun Amira tidak memahami maksudnya, karena istri sekaligus sekretarisnya itu terlampau polos untuk membahas perihal itu.
" Gimana caranya?" tanya Amira, di penuhi dengan rasa ingin tahu.
Melihat wajah menggemaskan Amira membuat Fajar entah berapa kali menerbitkan senyuman samar nya dan Amira lah satu-satunya orang yang bisa bikin dia seperti itu.
" Nanti saya tunjukkin caranya."
" Kenapa harus nanti? sekarang aja, butuhnya juga sekarang." desak Amira yang sudah tidak sabar.
Dia sekarang sudah merasa sesak, sehingga sudah jelas jika oksigen itu sedang dia butuhkan saat ini juga.
Jika Fajar memberitahunya nanti, itu akan percuma, karena jika nanti dia pasti sudah tidak akan merasakan sesak ataupun kekurangan oksigen.
" Minta saya tunjukkin sekarang?, emang kamu sendiri sudah siap?" tanya Fajar, dengan salah satu alisnya yang terangkat.
" Siap." jawab Amira, dengan yakin.
Fajar yang mendengar jawaban penuh tekad dan keyakinan itu, langsung saja tertawa kecil, suara tawanya yang terkesan berat itu, berhasil mengalihkan fokus Amira selama beberapa saat, hingga Amira kembali tersadar.
" Ck! main siap-siap aja, pas saya udah tunjukkin juga nanti nangis." ucap Fajar, sambil mengejek Amira yang masih belum mengerti maksud dari ucapannya sebelumnya.
Amira hanya mengerucutkan bibirnya, rasa penasarannya semakin membuncah namun dia masih belum menyadari bahwa maksud dari kata-kata Fajar sebenarnya jauh dari apa yang dia bayangkan.
" Aku ini udah besar, Jar, gak akan mungkin nangis."
" Yakin?" bisik Fajar, tepat di hadapan wajah Amira, hingga hembusan nafasnya terasa jelas menembus cadar yang Amira kenakan.
Sampai-sampai membuat Amira menjadi terdiam kaku saat melihat wajah Fajar yang sangat dekat dengan wajahnya.
" Kenapa diem, hm? yakin gak bakal nangis kalau saya tunjukkin sekarang?" tanya Fajar kembali, karena Amira tidak kunjung bersuara.
Amira masih tidak menjawab, dia hanya diam, menatap Fajar dengan pikirannya yang mendadak kosong, bahkan dia tidak tau apa yang harus dia lakukan saat ini.
TO BE CONTINUE.