Gus Zidan, anak pemilik pesantren, hidup dalam bayang-bayang harapan orang tuanya untuk menikah dengan Maya, wanita yang sudah dijodohkan sejak lama. Namun, hatinya mulai terpaut pada Zahra, seorang santriwati cantik dan pintar yang baru saja bergabung di pesantren. Meskipun Zidan merasa terikat oleh tradisi dan kewajiban, perasaan yang tumbuh untuk Zahra sulit dibendung. Di tengah situasi yang rumit, Zidan harus memilih antara mengikuti takdir yang sudah digariskan atau mengejar cinta yang datang dengan cara tak terduga.
Yuk ikuti cerita selanjutnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musim_Salju, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11: Atap Dalam Kebisuan
Atap dalam kebisuan. Udara dingin malam seperti menjadi saksi atas segala ketulusan dan kekhawatiran yang mengikat mereka. Meski ada banyak rintangan yang menghadang, Zidan merasa semakin yakin dengan keputusan yang telah diambil.
Namun, Zahra hanya bisa menunduk. “Gus, saya tidak tahu apakah saya cukup kuat untuk ini. Saya hanya seorang santriwati biasa. Tidak seperti Ning Maya yang terhormat.”
“Zahra,” Zidan menatapnya dengan lembut. “Jangan pernah merendahkan dirimu. Kau lebih dari sekadar ‘santriwati biasa.’ Kau adalah orang yang mengajarkanku bahwa kesederhanaan dan ketulusan jauh lebih berharga daripada status atau kehormatan yang dilihat oleh dunia.”
Air mata Zahra perlahan jatuh, tetapi ia segera menyeka wajahnya. “Jika Gus yakin dengan pilihan ini, saya akan berusaha menjadi orang yang pantas mendampingi Gus. Tapi saya memohon, biarkan saya menjalani semuanya dengan waktu dan cara saya sendiri.”
Zidan mengangguk. “Aku tidak akan memaksamu, Zahra. Yang kuminta hanyalah kau tetap percaya, bahwa aku akan selalu ada untuk melindungimu.”
Malam itu, Zahra kembali ke kamarnya dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia merasa diberi kekuatan oleh keyakinan Zidan. Di sisi lain, ia sadar bahwa ujian ini belum selesai, dan mungkin akan semakin berat.
Keesokan harinya, suasana di pesantren masih dipenuhi bisikan-bisikan yang tak kunjung reda. Ning Maya tampak lebih sibuk dari biasanya, seolah menyibukkan diri untuk menutupi kekecewaannya. Namun, di balik wajah yang tegar itu, ia menyusun rencana besar untuk merebut kembali posisi yang ia yakini sebagai haknya.
Di ruang makan pesantren, Ning Maya mendekati beberapa santri senior yang dikenal dekat dengan Zahra. “Kalian tahu, Zahra itu beruntung sekali, ya,” katanya dengan nada yang dibuat-buat santai.
“Kenapa begitu, Ning?” salah satu santri bertanya.
“Ya, dia berhasil membuat Gus Zidan tertarik. Padahal, selama ini Gus Zidan hanya fokus pada pesantren dan keluarganya. Luar biasa, bukan?” Nada Ning Maya terdengar sinis, tetapi ia tersenyum seolah memuji.
Santri-santri itu saling pandang, bingung dengan maksud Ning Maya. Namun, percakapan tersebut mulai menyebar, menimbulkan perasaan iri di hati beberapa santri lainnya.
Di sisi lain, Zahra mulai merasakan perubahan sikap teman-temannya. Aisyah, yang biasanya ceria, mulai terlihat lebih berhati-hati dalam berbicara. Beberapa santri lain mulai menjauh, dan Zahra merasa dirinya seperti dikucilkan.
Ketika Zahra sedang menjemur pakaian di belakang asrama, Aisyah mendekatinya dengan ekspresi serius. “Zahra, kamu harus hati-hati. Ning Maya mungkin sedang merencanakan sesuatu.”
Zahra menghentikan aktivitasnya. “Apa maksudmu, Aisyah?”
“Aku mendengar beberapa santri senior mengatakan bahwa mereka diminta untuk lebih mengawasi kamu. Katanya, kamu mungkin akan diberi peringatan jika situasi semakin keruh.”
Zahra terdiam. Ia tahu dirinya tidak melakukan kesalahan apa pun, tetapi tekanan yang ia rasakan semakin berat. “Aisyah, aku hanya ingin menjalani hidupku seperti biasa. Kenapa semuanya harus menjadi serumit ini?”
Aisyah menggenggam tangan Zahra. “Aku tahu kamu tidak bersalah, Zahra. Tapi dalam situasi seperti ini, terkadang kebenaran tidak cukup untuk melindungi kita.”
Zahra mengangguk, meski hatinya masih diliputi kekhawatiran.
Sementara itu, di rumah Ning Maya, Bu Nyai Siti dan Pak Kyai Mahfud sedang berdiskusi serius.
"Abi, kita tidak bisa membiarkan ini terus berlanjut,” ujar Bu Nyai dengan nada tegas. “Nama baik keluarga kita dipertaruhkan.”
Pak Kyai Mahfud mengangguk pelan. “Aku tahu. Tapi kita tidak bisa memaksa Zidan untuk menikahi Maya. Itu hanya akan memperburuk keadaan.”
“Tapi Zahra tidak seharusnya dibiarkan begitu saja!” seru Bu Nyai. “Dia hanya seorang santriwati biasa. Apa yang membuatnya merasa layak bersanding dengan Gus Zidan?”
“Kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mungkin ada alasan yang lebih besar di balik pilihan Zidan.”
“Alasan apa?!” Bu Nyai hampir berteriak. “Dia hanya seorang gadis miskin tanpa nama besar. Aku tidak bisa menerima ini.”
Pak Kyai Mahfud menghela napas. “Baiklah, kita akan mencari cara untuk menyelesaikan ini. Tapi aku tidak ingin menggunakan cara yang tidak terhormat.”
Di pesantren, Zidan mulai menyadari bahwa tekanan terhadap Zahra semakin meningkat. Beberapa santri mulai berani menyindir Zahra secara langsung, bahkan ada yang dengan terang-terangan mempertanyakan keberadaannya di pesantren.
Ketika Zidan melihat Zahra sedang membersihkan halaman masjid, ia mendekatinya. “Zahra, aku tahu ini tidak mudah untukmu.”
Zahra berhenti sejenak, tetapi tidak menatap Zidan. “Saya sudah biasa dengan keadaan sulit, Gus. Ini hanya ujian lain yang harus saya hadapi.”
Zidan merasakan kesedihan dalam nada suara Zahra. Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi tahu bahwa kata-kata saja tidak cukup untuk menghapus semua kesulitan yang Zahra alami.
“Aku akan mencari cara untuk menyelesaikan ini,” kata Zidan akhirnya. “Kamu tidak sendirian, Zahra.”
Zahra mengangguk pelan, meski dalam hatinya masih ada keraguan. Ia tahu bahwa perjuangan ini bukan hanya tentang dirinya dan Zidan, tetapi juga tentang nilai-nilai yang mereka yakini.
Ketegangan di pesantren semakin memuncak ketika Ning Maya secara terbuka meminta pertemuan dengan para pengurus pesantren. Di hadapan semua orang, ia menyampaikan keluhannya.
“Saya menghormati keputusan Gus Zidan,” ujar Ning Maya dengan nada tegas. “Tapi saya juga berharap pesantren ini menjaga keharmonisan dan nama baik keluarga besar kita. Saya tidak ingin ada pihak yang merasa diistimewakan tanpa alasan yang jelas.”
Ucapan Ning Maya membuat suasana ruangan menjadi hening. Beberapa pengurus saling pandang, tidak tahu bagaimana harus menanggapi.
Zidan yang juga hadir di pertemuan itu akhirnya angkat bicara. “Ning Maya, saya menghormati Anda dan keluarga Anda. Tapi keputusan ini adalah tanggung jawab saya, dan saya harap kita bisa menyelesaikan ini tanpa saling menyalahkan.”
Ning Maya tersenyum tipis, tetapi sorot matanya penuh tantangan. “Baik, Gus Zidan. Saya berharap keputusan Anda membawa kebaikan untuk semua pihak.”
Meski kata-katanya terdengar sopan, Zidan tahu bahwa ini belum berakhir. Ning Maya bukan orang yang mudah menyerah, dan ia harus bersiap menghadapi apa pun yang akan terjadi selanjutnya.
To Be Continued...
kirain kemarin" tu Kyai Mahfud ortu Ning Maya 🤭
ingat Maya, Adab lebih tinggi dari ilmu. sebagai putri kyai pemilik pondok ilmumu tidak diragukan lagi. tapi adabmu ??