Lunara Ayzel Devran Zekai seorang mahasiswi S2 jurusan Guidance Psicology and Conseling Universitas Bogazici Istanbul Turki. Selain sibuk kuliah dia juga di sibukkan kerja magang di sebuah perusahaan Tech Startup platform kesehatan mental berbasis AI.
Ayzel yang tidak pernah merasa di cintai secara ugal-ugalan oleh siapapun, yang selalu mengalami cinta sepihak. Memutuskan untuk memilih Istanbul sebagai tempat pelarian sekaligus melanjutkan pendidikan S2, meninggalkan semua luka, mengunci hatinya dan berfokus mengupgrade dirinya. Hari-hari nya semakin sibuk semenjak bertemu dengan CEO yang membuatnya pusing dengan kelakuannya.
Dia Kaivan Alvaro Jajiero CEO perusahaan Tech Startup platform kesehatan mental berbasis AI. Kelakuannya yang random tidak hanya membuat Ayzel ketar ketir tapi juga penuh kejutan mengisi hari-harinya.
Bagaimana hari-hari Ayzel berikutnya? apakah dia akan menemukan banyak hal baru selepas pertemuannya dengan atasannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Anfi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 11. Kembali menjadi asisten alvaro
“Thanks Naira,” ucap Ayzel pada rekan sejawatnya yang sudah bersedia menemui kliennya lebih dulu.
“Yups sama-sama Ay, cepat sana sudah ditunggu di ruangan” Naira juga kembali ke ruangannya karena dia juga masih ada sesi temu dengan kliennya.
Ayzel membersihkan luka di tangannya terlebih dahulu, kemudian baru masuk ke ruang konsul. Dia melepaskan jaket terlebih dulu sebelum menaruh tasnya, salah satu kliennya memang sudah duduk di sana sejak lima menit yang lalu.
“Maaf saya terlambat,” Ayzel minta maaf pada kliennya yang sudah datang lima menit lebih dulu darinya.
“Tidak apa-apa kak. Saya baru lima menit datang,” ucap kliennya.
Saat ini Ayzel memang ada sesi konsul dengan kliennya yang mengalami gangguan kecemasan (anxiety), perempuan berusia sekitar 25 tahun. Ini adalah pertemuan ke dua mereka, setelah sebelumnya Ayzel melakukan pendekatan active listening.
“Dayanamiyorum artik (aku benar-benar tidak kuat),” klien Z21 memulai dengan mengungkapkan apa yang menjadi kecemasannya pada Ayzel. *Ayzel menggunakan kode pada setiap kliennya, untuk menjaga privasi dan kenyamanan klien. Hanya Ayzel yang mengetahui data di balik kode-kode yang dia berikan.*
Ayzel memastikan kliennya merasa aman, nyaman dan dia mendengarkan sambil mencatat beberapa point penting yang dia temukan dari setiap luapan emosi kliennya. Untuk pertemuan ke dua dengan Z21 hari ini digunakan Ayzel untuk refleksi dan validasi perasaan kliennya, sebelum dia masuk untuk mengidentifikasi sumber kecemasan Z21.
“Kafam çok karişik,” Z21 mengatakan pikirannya kacau sekali.
Ayzel terus mendengarkan dan sesekali dia menggenggam tangan kliennya, dia mencoba membangun hubungan yang kuat dengan kliennya. Menciptakan ruang aman dan nyaman bagi klien agar Ayzel dapat membantu mereka memahami diri untuk membawa perubahan lebih baik bagi klien.
“Yorgunluk normalidir. Ağla,” Ayzel berpindah duduk di samping kliennya. Mengusap lembut tangan kliennya sambil berkata lelah itu wajar, menangislah.
Ayzel membiarkan kliennya menangis terisak-isak, anggap saja itu adalah bagian stress released kliennya yang sudah merasa lelah dengan kecemasan yang dia alami. Sesi 50 menit dengan Z21 sudah selesai, dari sini Ayzel mulai memahami kondisi kliennya yang mengalami anxiety dalam lingkungan kerja.
“Iyiki varsin,” Ayzel kembali mengusap lembut tangan kliennya. *Iyiki varsin adalah ungkapan penghargaan atas keberadaan seseorang.*
Ayzel ingin mengatakan pada kliennya bahwa setiap makhluk hidup itu berharga, termasuk kliennya tersebut.
“Banyak bahagia yang akan kamu temukan nanti melalui hal-hal kecil, yang mungkin butuh banyak proses. Tapi saya yakin kamu bisa,” ucap Ayzel dengan senyum tulus kemudian memeluk kliennya sebelum Z21 keluar dari ruangannya.
Hari ini Ayzel hanya ada 3 sesi konsul dengan kliennya, dia akan berdiskusi sekaligus evaluasi sebentar dengan pengawas praktiknya sebelum pulang. Dia melihat arlojinya yang sudah menunjukkan jam 4 sore, dia segera melaksanakan ibadah sholat ashar.
“Makan dulu. Aku taruh di meja kerjamu,” Naira mengirim pesan melalui ponselnya, karena saat dia masuk ruangan, Ayzel belum selesai ibadah.
“Okay. Terimakasih rekan terbaik,” balasnya pada Naira di sertai emot love.
Ayzel sedang menikmati makan siang yang sudah kesorean itu, setelah ini baru dia akan menemui pengawasnya untuk berdiskusi. Ponselnya berdering beberapa kali, membuatnya merasa terganggu.
“Hallo. Iya Shahnaz, ada apa?” Ayzel mengangkat panggilan rekannya tersebut masih sambil mengunyah makanan.
“Ay, lama banget angkatnya” protes Shahnaz.
Tanpa Ayzel tahu Shahnaz mengubah mode panggilan menggunakan pengeras suara atas permintaan Alvaro.
“Baru makan siang Naz, kenapa?” Ayzel masih sambil menyuapkan makanan kemulutnya.
“Jam segini bukan makan siang tapi makan sore,” protes Shahnaz lagi. Shahnaz lupa kalau dia masih di ruang meeting dengan Alvaro yang meliriknya tajam.
“Bisa langsung? Aku masih ada sesi konsultasi, kamu sedang mengganggu makan siangku” Ayzel protes dan cukup membuat Shahnaz tidak enak hati. Sebenarnya yang memintanya menelpon Ayzel adalah Alvaro.
“Itu anu Ay,” Shahnaz di buat kaget Alvaro yang meraih ponselnya untuk bicara dengan Ayzel.
“Ze. Ini saya Alvaro,”
“Uhuk ... uhuk,” Ayzel tersedak makanan karena terkejut mendengar suara Alvaro. Dia bergegas minum untuk mengurangi sakit akibat tersedak.
“Ze, kamu baik-baik saja?” Alvaro khawatir karena tiba-tiba mendengar Ayzel yang terbatuk sesaat setelah dia berbicara, sementara yang lain saling bertukar pandang melihat ekspresi atasan mereka.
“Pak Alvaro mau buat saya mati tersedak karena kaget?” protes Ayzel dengan sedikit menaikkan tone suaranya.
“Bukan begitu Ze. Ada yang ingin saya bicarakan,” Alvaro sebenarnya ingin bilang agar Ayzel membuka blokirannya, tapi urung dia lakukan karena masih ada beberapa karyawannya.
“Masih ada besok pak, saya tidak menghilang tanpa kabar. Pak Alvaro tidak perlu khawatir,” ucapan Ayzel mampu membuat Alvaro merasa makin tidak enak.
“Deg,” Alvaro merasa Ayzel sedang menyindirnya.
“Ini tentang aplikasi care clinic. Ada beberapa hal kamu yang harus menjelaskan,”ucap Alvaro sedikit ragu.
Ayzel mengubah pembicaraannya dengan Alvaro yang semula menggunakan bahasa Turki menjadi berbahasa Indonesia.
“Saya rasa mereka bisa menjelaskan dengan baik pak Alvaro. Aplikasi tersebut mereka yang membuat konsep, saya hanya membantu mengevaluasi. Ketua tim mereka lebih dari paham dengan konsep care clinic,” ucapan Ayzel lembut namun tegas penuh penekanan.
“Penjelasan kamu lebih mudah di mengerti dari pada mereka,” sanggah Alvaro agar Ayzel tetap mau berbicara dengannya. Sebenarnya itu hanya akal-akalan Alvaro.
“Ayzel Zekai, keruangan saya kita diskusi dan evaluasi sekarang!” ucap pengawas Ayzel terdengar oleh Alvaro dari ujung telepon.
“Baik. Saya kesana,” jawab Ayzel.
“Pak Alvaro anda sudah paham care clinic. Bukankah kita pernah membahasnya?”
Alavro merasa di skakmat Ayzel. “Ah ya, soal itu.”
“Mohon undur diri, saya sudah ditunggu” Ayzel mematikan panggilan telepon mereka.
Pak Kim yang paham dengan ekspresi Alvaro hanya bisa menahan tawa, sudah pasti Ayzel yang mengakhiri lebih dulu panggilan telepon mereka. Meeting hari itu berakhir setelah Ayzel mengakhiri panggilan telepon.
“Pak Alvaro, pak Kim. Bisa saya bicara dengan anda berdua?” Athaya harus segera memberitahu mereka tentang Ayzel yang berniat mengakhiri kontrak magangnya.
“Penting Athaya?” tanya pak Kim.
“Tentang Ayzel,” Alvaro dan pak Kim saling bertukar pandang saat Athaya menyebut nama Ayzel.
“Kita bicara di ruangan pak Kim saja,” ucap Alvaro yang berjalan keluar dari ruang meeting menuju ruang asisten utama Alvaro.
“Silahkan Athaya. Apa yang ingin kamu bicarakan,” mereka bertiga duduk di sofa yang ada di ruang kerja pak Kim.
Athaya menghela napas panjang sebelum memulai bicara, hal tersebut membuat Alvaro dan pak Kim mengerti. Sepertinya apa yang akan di katakan Athaya adalah hal serius.
“Ini tentang Ayzel. Pak Alvaro bisa membacanya sendiri,” Athaya menyerahkan map yang tadi pagi di serahkan Ayzel padanya.
“Kenapa?” pak Kim semakin penasaran melihat ekspresi Alvaro setelah membaca map yang di berikan Athaya padanya.
“Tidak bisa. Apapun alasannya saya tidak akan menyetujui dia mengundurkan diri,” ucap Alvaro pada Athaya dengan ekspresi kesal tapi juga resah.
Sementara itu pak Kim hanya tersenyum melihat ekspresi Alvaro, Athaya menggelengkan kepalanya. Athaya juga tidak ingin Ayzel keluar, tapi dialah yang mungkin paling tahu alasan di balik pengunduran dirinya. Bagaimanapun Athaya mempunyai background pendidikan yang sama dengan Ayzel.
“Aku sudah bilang, cepat kembali. Sekarang kejadian,” ujar pak Kim yang selalu mengingatkan Alvaro.
“Sebaiknya besok pak Alvaro bicara dengan Ayzel. Bicara dari hati ke hati,” ucap Athaya pada atasannya tersebut yang sontak membuat Alvaro dan pak Kim terperanjat.
“Apa sangat terlihat?” ucap pak Kim sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
“Pak Kim lupa? Saya dan Ayzel mempunyai background pendidikan yang hampir sama,” Athaya juga adalah lulusan undergraduated psikologi. Bedanya dia tidak mengambil pasca sarjana.
“Ah benar juga,” pak Kim sedikit tertawa karena dia tidak ingat hal tersebut.
“Lalu apa yang harus saya lakukan?” Alvaro bertanya pada Athaya, hal tersebut nenbuat Athaya merasa lucu. Hanya karena Ayzel dia bisa melihat ekspresi berbeda dari atasannya tersebut.
“Pak Alvaro bicaralah dengan Ayzel. Anda akan mengerti bagaimana dia, saya tidak bisa membantu banyak. Anda sudah menyiramkan minyak pada api kecil,” Athaya kemudian pamit karena saat ini sudah jam enam sore.
“Tapi apa maksud ucapan kamu tadi Athaya?” Alvaro benar-benar belum paham.
“Bicaralah dengan tulus jika berhadapan dengannya. Maka kamu akan mengetahui ucapan tadi,” Athaya berlalu meninggalkan atasannya yang masih bingung.
Setelah perbincangan mereka bertiga, Alvaro memilih pergi ke ruangannya sebentar sebelum pulang. Dari tadi sampai memang dia langsung meeting, dia bahkan belum sempat melihat ruang kerja yang sudah satu bulan itu dia tinggalkan.
“Kenapa kosong?” Alvaro bergumam saat melihat meja Ayzel yang sudah kosong, tak ada satu barangpun di sana.
Alvaro kemudian berjalan menuju mejanya, ada kotak kecil yang menarik atensinya. Dia buka kotak kecil tersebut, ternyata berisi kunci mobil beserta surat-suratnya. Ada note kecil yang berbunyi “Terimakasih untuk fasilitas mobilnya, saya kembalikan karena saya rasa tidak membutuhkannya.”
“Sial,” ucap Alvaro sambil mengepalkan ke dua tangannya. Rupanya dia baru menyadari telah menyinggung Ayzel.
...***...
Keesokan harinya Alvaro sampai kantor sengaja lebih pagi dari Ayzel, dia meminta OB untuk memindahkan semua barang-barang Ayzel dari divisi dua ke ruangan Alvaro. Hanya cara itu yang bisa dia lakukan, karen jika Ayzel sudah sampai pasti dia akan menolak dengan berbagia alasan.
“Pagi kak Ray. Pagi Shahnaz,” sapa Ayzel pada dua orang rekannya. Karena yang lain belum sampai.
“Pagi Ay,” jawab mereka berdua.
“Naz. Mejaku kenapa kosong? Berkas dan beberapa barangku di mana?” tanya Ayzel dengan bingung.
“Cepat ke ruangan pak Alvaro deh. Dia minta OB untuk memindahkan semua barangmu kembali ke ruangannya,” ucap Ray.
“Sepertinya dia marah Ay,” ujar Shahnaz.
“Baiklah. Aku ke sana dulu,” Ayzel tersenyum pada mereka berdua sebelum berlalu menuju ruang Alvaro.
Ayzel berjalan dengan cukup tenang menuju ruangan Alvaro, atasan yang sudah sebulan ini tidak dia jumpai. Ayzel juga memblokir nomor teleponnya, mungkin dia adalah satu-satunya karyawan yang berani memblokir nomor CEO perusahaan.
“Tok ... tok,” Ayzel mengetuk pintu ruangan Alvaro. Kalau sebulan lalu dia bisa langsung masuk karena menjadi asistennya, tapi kali ini dia tidak lagi bisa masuk dengan sembarang. Setidaknya itulah pemikiran Ayzel.
“Masuk,” sesuai dugaan Alvaro. Ayzel pasti akan langsung ke ruangannya setelah semua barangnya di pindahkan lagi ke meja yang ada dalam ruangan Alvaro.
“Pagi pak Alvaro,” Ayzel dengan cukup tenang menyapa Alvaro. Tanpa ada sedikitpun rasa canggung, profesional itulah Ayzel.
“Pagi Ze,” Alvaro tersenyum melihat Ayzel. Dia kira Ayzel akan duduk di meja kerjanya kembali, ternyata pemikiran Alvaro salah.
“Saya mau mengambil ini,” Ayzel menunjuk barang-barangnya yang tadi di pindahkan OB dari ruang divisi dua ke ruang Alvaro.
Alvaro terbengong-bengong, prediksinya salah. Bahkan Ayzel terlihat benar-benar tenang, tidak seperti terakhir kali mereka saling bicara dan membahas tentang aplikasi. Dalam satu bulan banyak sekali perubahan Ayzel yang hari ini di jumpai Alvaro, padahal ini masih pagi.
“Mau kemana?” tanya Alvaro.
“Ke ruang divisi dua,” Ayzel mengangkat kotak berisikan barang miliknya menuju pintu ke luar.
“Tunggu,” Alvaro dengan sigap berlari kearah pintu keluar untuk menghadang Ayzel.
“Ada apa pak Alvaro?” Alvaro menyadari tatapan tegas Ayzel padanya.
“Kamu masih asisten saya. Jadi kamu harus tetap di ruangan ini,” ucap Alvaro.
“Bukankah pak Alvaro sudah memindahkan saya ke divisi dua?” Ayzel masih cukup tenang dan santai dalam menjawab.
“Kamu tetap asisten saya Ze,” Alvaro merebut kotak yang di bawa Ayzel tadi. Alvaro tidak menaruhnya di meja Ayzel, tapi dia menaruh di bawah meja Alvaro. Alvaro duduk di kursinya dengan penuh kemenangan, karena tidak mungkin Ayzel akan berani mengambil kotak tersebut di sana.
“Pilihannya hanya satu pak Alvaro. Divisi dua atau asisten! Atau tidak dua-duanya,” ucap Ayzel lebut namun tegas dan penuh penekanan.
Alvaro terlihat berpikir dengan serius, sedikit menimbang ucapan Ayzel padanya. Perempuan itu menjadi lebih tegas dari terakhir kali mereka berjumpa, Alvaro juga tidak melihat emosi atau kemarahan terpancar dari sorot matanya.
“Kamu kembali jadi asisten saya,” Alvaro menyetujui permintaan Ayzel. Untuk saat ini menuruti Ayzel mungkin lebih baik asal bisa membuatnya tidak jadi mengundurkan diri.
“Ok ... mulai hari ini sampai dua minggu ke depan saya kembali jadi asistes anda,” ucapan Ayzel sontak membuat Alvaro terkejut.
“Kenapa hanya dua minggu?” Alvaro menuntut penjelasan.
“Saya sudah menyerahkan surat pengunduran diri saya,” Ayzel melihat ekspresi Alvaro yang mencebik padanya.
“Tidak boleh,” Ayzel menatap tajam Alvaro. Seketika Alvaro ingat ucapan Athaya, untuk bicara dengan tulus pada Ayzel.
“Ma ... maksudnya beri saya waktu tiga bulan Ze, untuk mencari asisten baru. Tidak mungkin pak Kim mengurus semuanya sendirian,” Alvaro menatap lekat Ayzel yang berdiri tak jauh darinya.
“Mana barang-barang saya,” Ayzel menghampiri Alvaro meminta kotak berisi barang-barangnya.
“Ze ... saya mohon,” Ayzel terkejut dengan ucapan Alvaro.
“Bagaimana saya bisa bekerja di sana kalau barang saya ada di anda,” Ayzel menunjuk meja di ujung dekat sofa biasa dia bekerja. Alvaro tersenyum lega, dia juga mengerti maksud dari Athaya tentang berbicara tulus dengan Ayzel.