Masa lalu yang kelam mengubah hidup seorang ALETHA RACHELA menjadi seseorang yang berbanding terbalik dengan masa lalunya. Masalah yang selalu datang tanpa henti menimpa hidup nya, serta rahasia besar yang ia tutup tutup dari keluarganya, dan masalah percintaan yang tak seindah yang dia banyangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Delima putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13: Rencana
Setelah makan malam, ketiga pria itu—Damian, Satria, dan Darian—berkumpul di ruang kerja yang sunyi, dikelilingi oleh tumpukan dokumen dan layar komputer yang menyala. Suasana malam itu terasa berat, jauh dari percakapan ringan yang biasa mereka lakukan. Kali ini, mereka tahu apa yang harus dilakukan, dan perasaan serius serta amarah memenuhi ruangan.
Damian, yang duduk di ujung meja, memecah keheningan dengan suara yang penuh tekad. "Gue nggak bisa diem aja, Rian," katanya, nadanya serius,
"Lihat Aletha, dia udah cukup lama berjuang sendiri. Kita udah cukup liat dia diperlakukan kayak itu. Gue nggak bisa biarin ini terus berlanjut."
Satria menatap Damian, wajahnya tampak kesal dan marah. "Gue liat kejadian di CCTV tadi, Dan. Aletha ditampar di depan semua orang dan nggak ada yang bantuin. Itu bukan cuma soal fisik, tapi harga dirinya. Keluarga Wijaya udah kelewatan batas. Kita nggak bisa diam aja, kita harus ambil tindakan." ucal
Darian, yang biasanya lebih tenang, akhirnya angkat bicara dengan nada yang lebih hati-hati.
"Tapi kita nggak bisa langsung main ambil langkah sembarangan. Gue ngerti perasaan kalian, gue juga marah banget, tapi kita harus hati-hati. Keluarga Wijaya itu nggak main-main, mereka punya pengaruh besar. Kita harus siap sebelum bergerak."
Damian menyeringai, menatap kedua temannya. "Gue tau, Rian. Kita nggak bisa gegabah. Tapi ini soal keadilan. Kita nggak akan biarin orang-orang itu terus nyakitin Aletha. Ini udah cukup, mereka harus bayar."
Satria mengangguk, meski tetap berhati-hati. "Gue sepakat, tapi kita butuh bukti yang lebih kuat. Kita nggak bisa cuma ngandelin emosi. Kita harus gali informasi lebih dalam tentang keluarga Wijaya. Kalau kita nekat, bisa-bisa kita yang kena imbasnya."
Darian menarik napas panjang, menyandarkan tubuhnya di kursi. "Bener banget. Kita perlu rencana yang matang. Gak bisa langsung nyerang. Kita harus tahu siapa musuh kita dan apa kelemahan mereka."
Satria kemudian ingat sesuatu. "Gue inget, kita sempat ngerekam kejadian di kantin. Mungkin itu bisa jadi bukti yang kita butuhin."
Damian langsung berdiri dan berjalan menuju layar komputer. "Ayo buka, Satria. Kita harus liat itu."
Satria membuka file rekaman CCTV di layar komputer dengan tangan sedikit gemetar. Layar komputer itu menunjukkan suasana kantin yang ramai, tempat dimana segalanya terjadi. Aletha tampak duduk bersama teman-temannya di salah satu meja yang agak jauh dari keramaian. Mereka tertawa kecil, berbicara dengan santai, seperti anak-anak muda pada umumnya, meskipun mata Aletha tampak sedikit kosong, seolah ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Namun, di tengah kebersamaan itu, suasana mulai berubah.
Layar menunjukkan seorang perempuan yang sangat dikenali—Athala—muncul dari pintu kantin, berjalan dengan langkah pasti, matanya tajam menatap Aletha yang sedang duduk. Satria menatap layar dengan hati-hati, sudah merasakan ada sesuatu yang buruk akan terjadi. Tanpa ada kata-kata atau peringatan, Athala mendekat dengan ekspresi dingin. Semua mata tertuju pada keduanya, dan dalam sekejap, tampak jelas bahwa Athala menampar wajah Aletha dengan keras, dengan kekuatan yang seolah tanpa ampun. Suasana yang sebelumnya penuh dengan tawa dan percakapan itu seketika menjadi hening, hanya suara bisik-bisik teman-teman yang terdengar setelah kejadian tersebut.
Aletha terkejut, matanya terbelalak seketika, dan tubuhnya tampak kaku sejenak. Wajahnya memerah, bukan hanya karena tamparan itu, tapi juga karena penghinaan yang datang begitu mendalam. Dia diam, tidak melakukan apa-apa. Wajahnya yang biasanya cerah itu tiba-tiba tampak rapuh, seperti sudah terlalu lama menahan semua rasa sakit yang akhirnya meledak dalam kejadian tersebut.
Reaksi teman-temannya di meja tidak kalah mencolok. Mereka tampak terkejut, namun tidak ada satu pun yang bergerak untuk membantu atau melerai. Mereka hanya bisa diam, terperangah, seolah tidak tahu apa yang harus dilakukan. Mereka semua tahu siapa itu Athala dan betapa besar pengaruh keluarga Wijaya, jadi mereka memilih untuk tidak bertindak. Tidak ada suara protes atau dukungan yang datang untuk Aletha—hanya hening yang semakin memperburuk perasaan yang ada di dalam hatinya.
Di ruang kerja, ketiga pria itu, Damian, Satria, dan Darian, menyaksikan peristiwa itu dengan hati yang teriris. Damian yang sebelumnya begitu tenang, kini tampak marah. Wajahnya memerah, dan matanya yang penuh tekad mulai dipenuhi dengan rasa frustrasi yang mendalam. "Gue nggak bisa ngeliat ini lebih lama lagi," ujar Damian dengan suara bergetar penuh kemarahan. "Ini keterlaluan. Mereka pikir bisa perlakukan Aletha kayak gini, tanpa konsekuensi?"
Satria yang sebelumnya lebih banyak diam, kini menggertakkan giginya, matanya berkilat tajam. "Itu jelas udah kelewatan, Dan. Nggak hanya tamparan itu yang ngelanggar batas, tapi juga penghinaan yang datang dari semua orang di sekitar dia. Mereka semua diam aja, nggak ada yang bantuin. Gue... gue nggak bisa tinggal diam."
Namun, Darian yang selalu lebih tenang, mencoba untuk menenangkan ketegangan yang semakin memuncak. Ia melihat pentingnya langkah yang hati-hati meskipun rasa marah sudah mulai menguasai dirinya. "gue ngerti kalau kalian marah, dan gue juga marah banget liat apa yang terjadi di CCTV ini. Tapi kita nggak bisa asal bertindak. Keluarga Wijaya punya pengaruh yang besar, dan mereka nggak akan ragu untuk hancurin siapa saja yang mereka anggap ancaman."
Damian yang hampir tidak bisa menahan amarahnya itu, menggertakkan gigi. "Tapi ini tentang keadilan, Rian! Ini bukan cuma soal kita balas dendam, ini soal ngebuktiin bahwa nggak ada yang boleh diperlakukan seperti ini. Kita harus bertindak!"
Satria menatap Darian dengan mata yang penuh emosi, dan akhirnya berkata, "Kita nggak bisa cuma langsung ambil langkah emosional. Kalau kita langsung lawan mereka tanpa bukti atau strategi yang tepat, kita malah bisa terjebak dalam permainan mereka. Kita butuh bukti yang lebih kuat, kita perlu ngerti siapa mereka sebenernya dan kelemahan mereka."
Darian menepuk meja, dengan tatapan yang lebih tenang namun penuh keyakinan. "Oke, gue setuju sama kalian. Keluarga Wijaya harus bayar untuk ini. Tapi kita harus hati-hati. Kita mulai dengan mengumpulkan informasi lebih dalam tentang mereka. Kalau kita terlalu terburu-buru, mereka bisa nyerang balik."
Satria yang masih terfokus pada layar, mengingatkan kembali tentang hal yang baru saja ia ingat. "Kita bisa pakai rekaman CCTV ini. Gue baru inget, waktu itu kita sempat ngerekam kejadian di kantin. Ini bisa jadi bukti yang kita butuhkan, kalau kita pakai dengan hati-hati."
Darian mengangguk setuju, lalu berdiri dan mendekati komputer untuk melihat lebih dekat. "Buka lagi, Satria. Kita harus lihat lebih teliti, dan mungkin ini adalah awal dari langkah kita."
Satria pun membuka kembali rekaman itu. Kali ini, tampak lebih jelas lagi bagaimana Athala menampar Aletha tanpa ampun. Ketiga pria itu pun semakin merasa panas hati mereka. Damian mengepalkan tangannya di meja. "Gue nggak bisa terima ini. Kita harus pastiin mereka ngerasain konsekuensinya, nggak cuma Athala, tapi seluruh keluarga Wijaya."
Satria menatap tajam pada layar, "Gue setuju. Ini lebih dari sekedar balas dendam. Kita harus pastiin mereka nggak bisa ganggu Aletha lagi. Gue nggak mau mereka ngerusak hidupnya lebih lama lagi."
Darian menghela napas panjang, menatap keduanya. "Kita harus cerdas. Jangan sampai kita jadi sasaran mereka karena terburu-buru. Kita mulai dengan strategi yang matang."
Ketiganya saling memandang dengan tekad yang semakin kuat. Mereka tahu bahwa ini bukan hanya tentang membela Aletha, tapi juga untuk menghentikan ketidakadilan yang sudah terlalu lama dibiarkan. Mereka tahu jalan yang mereka pilih penuh risiko, namun mereka juga sadar, jika mereka tidak bertindak sekarang, Aletha akan terus menderita.