"3 tahun! Aku janji 3 tahun! Aku balik lagi ke sini! Kamu mau kan nunggu aku?" Dia yang pergi di semester pertama SMP.
***
Hari ini adalah tahun ke 3 yang Dani janjikan. Bodohnya aku, malah masih tetap menunggu.
"Dani sekolah di SMK UNIVERSAL."
3 tahun yang Dani janjikan, tidak ditepatinya. Dia memintaku untuk menunggu lagi hingga 8 tahun lamanya. Namun, saat pertemuan itu terjadi.
"Geheugenopname."
"Bahasa apa? Aku ga ngerti," tanyaku.
"Bahasa Belanda." Dia pergi setelah mengucapkan dua kata tersebut.
"Artinya apa?!" tanyaku lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BellaBiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11
Film horor yang bercerita tentang sebuah keluarga pindah ke desa terbengkalai. Tergiur akan harga tanah murah di sana. Ternyata desa itu menyimpan rahasia besar, yakni bekas pembantaian masal. Sehingga keluarga itu dihantui oleh para arwah yang berada di sana.
Film berawal dengan hal yang ceria dan bahagia, namun semakin berjalannya waktu, setan-setan mulai bermunculan dan membuatku terkejut berkali-kali. Aku sampai menutup wajah dengan kedua tangan. Arzio juga sama saja.
"Jangan pegang gue!" tegasnya begitu aku memegangi lengan bajunya yang panjang.
Aku tak peduli. Tetap kutarik lengan baju itu untuk menutupi wajahku.
"Peraturan lo apa tadi? Jangan sentuhan kalo takut!" ucapnya lagi.
"Berisik deh lo! Nonton aja!" bentakku agar dia melupakan peraturan itu.
***
Sepulang dari bioskop, Arzio tertawa, entah apa yang lucu. Setiap kali dia melihatku, tawa itu muncul. Sampai aku mulai kesal.
Aku berjalan mendahuluinya berjalan kaki menuju rumah nenek. Sementara dia menggunakan motor jadul warisan ayahnya.
Aku menoleh pada Arzio yang menyetarai langkahku sambil mendorong motor dengan kedua kaki. Kembali dia tertawa.
Aku langsung mendorongnya lantaran kesal. "Ada masalah apa sih lo?!" teriakku.
"Muka lo lucu kalo ketakutan," ucapnya sambil tertawa.
"Muka lo juga lawak banget! Ketakutan sama curut!" lawanku.
"Tapi gue ga sampe narik-narik baju lo sih," ejeknya.
"Ya itu kan karena gue kaget! Gue ga takut! Kaget aja! Refleks narik baju lo!" bantahku.
"Kalo refleks harusnya dilepasin dong. Ini malah sampe filmnya habis, ha ha!"
Dia kembali menjadi sosok Arzio yang menyebalkan.
Saat sampai di depan pagar rumah nenek, rintik hujan mulai turun. Aku juga bisa melihatnya dari bias cahaya oranye lampu jalanan.
"Hujan?" tanyaku.
Arzio langsung menepikan motornya dan menarikku untuk masuk. Dia masih tertawa.
"Habis dari mana, Ta? Ibu nelponin dari tadi, ga dijawab," ucap ibu.
"Hpnya dimatiin, Bu. Nonton tadi di sebelah," balasku.
Ibu terdiam menatapku. Mungkin dia berpikir yang tidak-tidak. Aku tidak berpacaran dengan Arzio.
"Ha ha!" Arzio tertawa dan berlalu.
"Kamu ga aneh-aneh kan, Ta?" tanya Ibu.
"Aneh apa? Dia maksa ngajakin nonton. Segala bilang ga tau Bioskop di mana," ocehku.
"Lah, Lita yang nantangin nonton film horor, Bu. Malah ketakutan. Sampe melar lengan baju aku ditarik-tarik. Ha ha! Kirain berani," sambut Arzio.
Rupanya dia juga bisa memposisikan cara bicaranya dengan ibuku.
"Kalian udah makan, Lita? Jio?" tanya nenek.
"Belum," jawab Arzio.
"Pulangnya nanti aja, Sofia. Biar anak kamu makan dulu sama Jio," ucap nenek pada ibu.
Ibu hanya membungkuk sebagai jawaban iya.
"Aku makan di rumah aja nanti, Nek," jawabku.
Bertepatan dengan itu, suara mobil berhenti di depan pintu. Menarik perhatian kami.
"Halo!" Mama Arzio datang dengan tangan dipenuhi tote bag. "Ma," sapanya menyalami nenek dan bercipika-cipiki.
"Gimana kerjanya, Sofia? Berat?" tanyanya pada ibuku.
"Ah, ga. Ga berat sama sekali," jawab ibu.
"Jio! Mama ada bawa makanan buat kamu—"
Belum sempat mama Arzio menyelesaikan kalimatnya, Arzio malah mengambil tote bag berisi makanan tersebut.
"Arzio!" tegasku dan membuat pria itu menghentikan geraknya sembari menatapku.
"Kenapa?" tanyanya.
Bagaimana cara menyampaikan ini? Aku tidak suka melihat tingkahnya yang sering menampakkan seolah dia membenci ibunya.
"Ga," jawabku singkat.
"Ya udah, kamu makan bareng Arzio aja di dapur," ucap nenek.
***
Di saat kami sedang makan Pizza. Arzio mengambilkanku segelas air minum dan kembali duduk di tempatnya.
"Arzio, kenapa sih lo suka kayak gitu sama nyokap bokap lo? Bahkan sama Bang Dio lo juga kayak gitu! Ga sopan tau!" ocehku membuatnya menoleh.
"Kayak gimana?" tanya Arzio.
"Ya gitu! Lo kayak ketus, cuek, lo kayak benci gitu sama mereka," jawabku.
"Emang kenapa?" tanyanya.
"Gue ga suka aja sih ngeliat lo kayak gitu. Soalnya dulu Dani kayak gitu dan gue dianggap pengaruh buruk dari nyokapnya."
"Jadi lo maunya gue gimana?"
"Ya seminimal-minimalnya lo senyum gitu kalo ada mereka. Atau setidaknya lo jangan pake kata-kata yang ga enak didengar. Kalo lo ga suka ya setidaknya lo jangan ngomong apa-apa," jawabku.
Dia hanya berdiam diri tanpa respons apapun.
"Lo dengerin gue ga?" tanyaku. Dia terus berdiam diri dengan mata yang masih menatapku. "Arzio! Woi! Haloo"
Meski aku sudah melambaikan tangan di depan matanya, dia tetap menatapku tanpa gerak dan suara. "Jio!" panggilku, meniru nama panggilan dari keluarganya.
Tiba-tiba dia tersenyum dan mendesahkan sebuah napas. "Kenapa lo manggil gue gitu?" tanyanya.
"Kan keluarga lo manggil Jio, emang ga boleh gue manggil Jio?" balasku.
"Ga boleh. Lo cuma boleh manggil gue Sayang." Dia mulai lagi.
"Jio! Jio! Jio! Jio! Jio! Jio! Jiooooooooooo!" Aku mulai berisik agar dia berhenti menggodaku. "Pokoknya mulai sekarang gue panggil lo Jio!"
"Kalo lo panggil gue Jio, gue bakalan panggil lo Sayang!" tantangnya.
"Apaan sih!" omelku.
"Oke Sayang?"
Iiishh! Aku benci ketika Arzio bertingkah seperti ini.
"Oh iya, kemaren ada Dani DM IG lo. Belum gue logout. Dia bilang hpnya disita, ketauan berhubungan sama lo lagi," ucap Arzio membuatku menghentikan gerak tangan yang sedang makan.
"Seriusan?" tanyaku.
Arzio mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan isi DM tersebut.
"Tenang! Lo bisa sleep call gue kapan aja. Karena gue selingkuhan yang baik," ucapnya.
"Cih! Gue ga pernah selingkuhin Dani!" tegasku.
"Gimana kalo Dani yang selingkuhin lo? Dia jauh. Lo ga bakalan bisa tau tentang dia. Bisa aja di sana dia udah punya cewek lain. Sebenarnya HP dia ga disita, cuma dia lagi sibuk sama pacarnya yang baru, jadi ga bisa ngabarin lo setiap saat, takut ketauan sama ceweknya."
Aku terkekeh mendengar tuduhan itu. "Gue kenal Dani dari SMP. Gue tau masalah hidup dia apa aja. Dan gue tau tuntutan keluarganya itu apa aja. Yang pasti semua yang lo bilang itu, ga bakalan terjadi," balasku.
"Kalo suatu saat Dani ketauan selingkuhin lo, lapor ke gue. Gue pukulin dia habis-habisan" ucap Arzio.
"Dih, ngapain lo pukulin dia?! Yang harusnya lo pukulin itu si ceweknya! Soalnya dia pasti godain Dani lebih dulu!"
"Walaupun digodain, kalo Dani emang setia sama lo, dia ga bakalan selingkuhin lo! Buktinya, lo juga gue godain, lo ga mau tuh sama gue!"
"Ga! Pokoknya yang salah tetap ceweknya!" tegasku.
"Diihh! Gemesin banget sih lo! Jangan terlalu bucin. Hati orang bisa berubah-ubah. Emangnya lo yakin nungguin Dani bertahun-tahun bakalan bikin dia jadi suami lo?"
"Yakin!" jawabku.
"Oke deh, gue bakalan tunggu Dani mati. Kalo lo dah jadi janda, kabarin gue. Gue siap lamar lo," ucapnya.
"Apaan sih?! Semakin lo kayak gini, gue semakin ga mau sama lo!"
"Suka hanyalah kiasan, soal perasaan bisa dipaksakan." Aku sampai terdiam mendengar quotes yang tidak nyambung itu keluar dari mulut Arzio.