Setelah dituduh sebagai pemuja iblis, Carvina tewas dengan penuh dendam dan jiwanya terjebak di dunia iblis selama ratusan tahun. Setelah sekian lama, dia akhirnya terlahir kembali di dunia yang berbeda dengan dunia sebelumnya.
Dia merasuki tubuh seorang anak kecil yang ditindas keluarganya, namun berkat kemampuan barunya, dia bertemu dengan paman pemilik tubuh barunya dan mengangkatnya menjadi anak.
Mereka meninggalkan kota, memulai kehidupan baru yang penuh kekacauan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Matatabi no Neko-chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Leon duduk di hadapan Reina setelah meletakkan seporsi salad buah dan susu di hadapan gadis yang baru menginjak usia remaja itu. Dengan tenang, ia membuka maskernya sedikit dan menyeruput teh hijau tawar, menikmati ketenangan pagi itu. Sarapan mereka selalu sederhana—dua orang saja. Arina sangat jarang ikut sarapan bersama, dan Althea selalu datang paling akhir.
"Jadi, di mana kau akan melanjutkan sekolah?" tanya Leon sambil menggigit sandwichnya, nadanya datar, seperti biasa, penuh dengan sarkasme. Seolah pertanyaan itu hanya bagian dari rutinitasnya, tanpa benar-benar tertarik pada jawaban yang akan diterima.
Reina menelan makanannya dengan tenang, tampak merenung sejenak, berpikir tentang dunia yang sangat berbeda dari yang dia kenal sebelumnya. Dunia yang penuh aturan yang tak dikenalnya.
"Aku ingin yang dekat sini saja, Ayah. Lagipula pelajaran di setiap sekolah itu sama, bukan?" jawab Reina santai, sembari menyeruput susu. "Yang penting aku bisa sekolah dengan tenang, tanpa gangguan."
Leon tersenyum tipis, lalu meneguk teh hijau miliknya sebelum menjawab dengan nada sarkastik. "Oh, tentu, semua sekolah itu serupa. Kecuali, kau mungkin lebih suka sekolah yang ada gangguan terus. Kalau itu, ada banyak pilihan."
Reina meliriknya dengan tatapan tajam namun tanpa berkata-kata, lalu mengangguk. "Baiklah, aku akan menemanimu mencari sekolah besok. Pagi ini kita ke ladang untuk mengangkut hasil panen," lanjut Leon tanpa merasa perlu menjelaskan lebih lanjut.
"Sekalian balapan. Kita lihat siapa yang lebih dulu tiba," tantang Reina, nada suaranya penuh semangat, seolah ingin memancing reaksi lebih dari Leon.
Leon mendengus, setengah tertawa. "Kau benar-benar putriku. Aku suka gayamu."
Mereka kembali melanjutkan sarapan dengan tenang, hingga suara langkah kaki terdengar mendekat.
"Selamat pagi, Ayah, Kak Reina," sapa Althea dengan suara lembut. Leon dan Reina menatapnya dengan lirikan kompak, jelas-jelas tidak terlalu bersemangat menyambut kehadirannya.
Dengan canggung, Althea duduk di sebelah Reina, kemudian tanpa sungkan mengambil dua sandwich yang ada di atas meja saat melihat tangan Reina hendak menyentuhnya.
"Aku suka keduanya, untukku saja, ya?" ucap Althea dengan nada manja, seolah itu adalah haknya.
Reina menyeringai tipis, lalu menatap Althea dengan tajam. "Tentu," jawabnya datar, menyembunyikan rasa kesalnya di balik suara yang tenang.
Leon hanya memandangnya dengan tatapan malas, seolah sudah tahu apa yang akan terjadi berikutnya. "Oh, jadi itu cara baru untuk mendapatkan perhatian? Mengambil sandwich orang lain dan memainkannya di meja?" ujarnya sarkastik, tanpa berniat menutup mulut.
Althea tak menyadari sindiran itu dan dengan cepat menggigit sandwichnya, lalu menatap Reina dengan tatapan yang dibuat-buat, seolah sedang menguji sabar. "Ini enak sekali! Kakak mau?" tawarnya dengan suara mengejek, lalu segera mengganti ekspresinya menjadi wajah bersalah yang penuh dengan drama. "Tapi aku suka keduanya, gimana dong?"
Reina menatapnya tanpa ekspresi. "Untukmu saja. Aku sudah kenyang." Jawabannya dingin, namun di dalam hati, dia sudah menyiapkan sesuatu untuk gadis itu. "Dan perlahan kau akan merasakan akibatnya, Althea," pikirnya, namun tidak menampakkannya di wajah.
Leon menghabiskan tehnya hingga habis, kemudian kembali memasang maskernya. Ia menatap kedua anak perempuan itu dengan ekspresi yang sulit dipahami—di satu sisi bangga dan kagum pada Reina, namun di sisi lain khawatir akan Althea yang semakin memanipulasi situasi demi perhatian.
Reina dengan kedewasaan dan ketenangannya membuat Leon merasa bangga, meskipun ada rasa kesedihan yang menggerogoti hati kecilnya. "Kau terlalu dewasa untuk umurmu," pikirnya, merasa ada yang salah dengan kehidupan gadis ini, yang telah membawa beban hidup jauh lebih berat dari usia semestinya.
Namun, di sisi lain, Leon tahu bahwa Althea adalah gadis yang memanipulasi setiap situasi untuk meraih perhatian. Meski orang lain mungkin melihatnya sebagai gadis lembut dan baik hati, Leon tahu betul sifat asli Althea—selalu mencari jalan pintas untuk menjadi pusat perhatian, bahkan jika itu berarti menjatuhkan orang lain.
Hatinya terasa berat saat menatap keduanya. Reina dengan sikap dewasa yang memimpin, dan Althea dengan segala tipu muslihatnya. “Aku akan melakukan apapun untuk melindungimu, Reina,” gumam Leon dalam hati, meskipun ia tahu bahwa kelak, Althea mungkin akan melangkah terlalu jauh, mengejar perhatian dengan cara yang sangat mengkhawatirkan.
✨
Deru dua mobil pick-up menderu kencang di jalan desa, saling mendahului dan menikung tajam di tikungan terakhir. Salah satunya bahkan melakukan drift dengan gaya sebelum berhenti tepat di depan rumah berlantai dua. Asap ban masih terlihat samar-samar, menciptakan suasana seperti adegan balapan jalanan.
Leon turun dari mobil pick-up pertamanya, matanya langsung tertuju pada mobil kedua yang baru saja berhenti dengan lebih hati-hati. Reina keluar dari mobil tersebut dengan napas sedikit terengah, namun wajahnya memancarkan kepuasan tersendiri.
Leon menyeringai, ekspresi penuh ejekan terukir jelas di wajahnya. "Kau lamban sekali. Apa kau sedang membawa seekor siput di mobil itu?" sindirnya dengan nada tajam yang khas.
Reina mendengus, lalu melipat tangannya di dada. "Ayah sedang mengejekku? Ayolah, siapa pun tahu kau itu raja jalanan. Aku? Baru pemula, Ayah! Jangan harap aku bisa mengalahkanmu secepat itu," balasnya kesal, tapi masih dengan nada bercanda.
Leon terkekeh kecil sambil melirik ke arah bak mobil Reina. Kali ini, keranjang buah yang dia bawa terlihat utuh, tidak ada yang terguling atau rusak. "Setidaknya buahnya tidak berhamburan. Itu kemajuan, putriku. Bagus!" ucap Leon sambil menepuk pundak Reina dengan gaya meremehkan.
Reina hanya mengangkat bahu, memasang ekspresi bangga meski nada Leon terasa setengah mengejek. "Tentu saja! Ini Reina, Ayah. Aku nggak main-main!"
Suara langkah kaki terdengar mendekat. Althea muncul dari arah teras, mengenakan pakaian rapi yang sama sekali tidak cocok untuk membantu pekerjaan rumah. Ia menatap Reina dengan pandangan penuh kritik.
"Kak Reina, nggak pantas membawa mobil seperti itu. Seorang perempuan harus bersikap anggun," tegur Althea dengan nada sinis, seolah dia sedang memberikan nasihat bijak.
Reina menoleh tajam. "Aku nggak butuh saran nggak guna dari orang nggak guna kayak kamu," sahut Reina dengan dingin, nada bicaranya langsung menusuk tanpa basa-basi.
Althea tampak terkejut sesaat, tapi sebelum dia sempat membalas, Leon menyelipkan dua kantong plastik penuh buah ke tangannya. "Althea, tolong bawa ini ke belakang," perintahnya singkat.
Althea segera memalingkan wajah dengan cemberut. "Nggak mau, Pa. Nanti pakaian aku kotor. Suruh Reina aja. Dia kan sudah biasa ngerjain hal-hal kayak gini," balasnya dengan nada manja yang memancing emosi.
Leon mendengus panjang, matanya menatap Althea penuh rasa muak. "Kau memang anak nggak berguna. Sama seperti ibumu," ucap Leon dengan sarkasme yang tajam, membuat Althea langsung terdiam dengan wajah pucat.
Tanpa menunggu lebih lama, Leon menoleh ke arah Reina. "Reina, tolong bawa ini ke belakang. Habis itu, kita balapan lagi. Kali ini jangan lamban, atau aku akan benar-benar percaya kau membawa siput!"
Reina menyeringai lebar. "Wah, Ayah nantangin? Oke, kali ini aku yang menang!" balasnya penuh semangat sambil membawa keranjang buah ke belakang. Meskipun Leon terkenal dengan sikap tajam dan sarkas, Reina selalu berhasil menyambut ejekan itu dengan gaya santai khasnya.
✨
"Seharian ini kau nggak di rumah! Keluyuran kemana kamu?!" Bentak Arina dengan nada tinggi begitu Reina memasuki dapur sambil membawa beberapa bahan makanan di tangannya. Wajah wanita itu penuh kemarahan, seperti biasa, mencari alasan untuk berteriak.
Reina mengangkat sebelah alis, meletakkan bahan makanan ke atas meja, dan menatap Arina dengan pandangan dingin. "Bantu Ayah. Aku nggak seperti kamu yang cuma malas-malasan. Nggak guna banget jadi manusia," balasnya tajam, tanpa ragu menusuk balik.
Arina terdiam sejenak, mulutnya terbuka seperti hendak membalas, tapi suara dari pintu dapur membuatnya menoleh.
"Reina! Cepat!" seru Leon yang berdiri di ambang pintu dengan tangan berkacak pinggang, tatapannya tajam ke arah Arina sebelum beralih ke Reina. "Nggak usah meladeni sampah nggak guna di dalam sana!" sindirnya langsung, membuat Arina terdiam dengan wajah merah padam.
Leon berjalan masuk ke dapur, memandang bahan makanan yang dibawa Reina, lalu menatap putrinya dengan ekspresi setengah kesal, setengah geli. "Kau lambat sekali. Karena itu, kita nggak bisa bawa hasil panen ke pasar hari ini," katanya dengan nada tajam, meski Reina tahu itu lebih kepada ejekan ringan.
Reina menatap Leon dengan rasa bersalah. "Maaf, Ayah... Jadi, apa yang akan kita lakukan sekarang?"
Leon menyeringai kecil, matanya berbinar penuh rencana. "Sebagai gantinya, ayo kita cari mobil rongsokan. Aku sudah menemukan lokasinya."
Mata Reina langsung berbinar penuh antusias. "Sungguh? Jadi, kita bawa apa ke sana?"
Leon menjawab dengan santai, tanpa mengubah ekspresinya yang sarkastis. "Terbang," sahutnya asal, meninggalkan Reina tertegun sebelum akhirnya terkikik kecil, menyadari gaya bercanda khas ayahnya.