Raka, seorang pemuda 24 tahun dari kota kecil di Sumatera, datang ke Jakarta dengan satu tujuan, mengubah nasib keluarganya yang terlilit utang. Dengan bekal ijazah SMA dan mimpi besar, ia yakin Jakarta adalah jawabannya. Namun, Jakarta bukan hanya kota penuh peluang, tapi juga ladang jebakan yang bisa menghancurkan siapa saja yang lengah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25 di Balik Bayang-Bayang
Ruang kontrol yang mereka masuki itu dipenuhi dengan layar-layar monitor yang memancarkan cahaya redup, memperlihatkan berbagai sudut kota Jakarta. Seperti kawat listrik yang menghubungkan setiap titik, kamera-kamera pengawas ini memantau dan mencatat setiap gerakan.
Raka berdiri diam sejenak, mencoba menyaring informasi yang mereka temui, meskipun rasa tidak nyaman terus menghantuinya. Di balik semua ini, ada kekuatan yang lebih besar—sesuatu yang lebih kuat dan lebih jahat dari yang bisa mereka bayangkan. Jakarta, yang mereka anggap sebagai kota penuh peluang dan harapan, kini terbuka sebagai jaringan besar yang mengikat semuanya dengan tali-tali tak terlihat.
“Lihat itu,” Nadia menunjuk ke salah satu layar monitor. Gambar yang terpantul adalah sebuah jalan yang ramai dengan orang berlalu-lalang, tetapi ada sesuatu yang janggal. “Ada dua pria yang terlihat mencurigakan di dekat pasar. Mereka terlihat seperti sedang mengawasi seseorang.”
Raka mendekat dan memeriksa lebih teliti. “Itu... Viktor,” bisiknya dengan nada penuh perasaan.
Nama itu telah mereka dengar beberapa kali selama perjalanan mereka. Viktor, seorang pria yang terlibat dalam dunia yang tak mereka pahami, namun selalu muncul sebagai ancaman di setiap langkah mereka.
Di layar, Viktor tampak berbicara dengan seorang pria lain yang wajahnya samar. Mereka berbicara dengan cepat, seolah membicarakan sesuatu yang sangat penting. Raka bisa merasakan ketegangan dalam gambar itu, meskipun hanya tampak sekejap. Dia tahu, Viktor bukan hanya seorang penghubung atau informan biasa. Pria ini adalah bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar.
Nadia melangkah maju, mencermati layar dengan cermat. “Mereka seperti berkomunikasi dengan kode,” katanya, lebih pada dirinya sendiri. “Ada sesuatu yang sedang mereka rencanakan.”
Pak Hasan, yang sejak awal sudah terbiasa dengan kehidupan bawah tanah Jakarta, memperhatikan dengan cermat. “Ini bukan hanya masalah kita,” katanya dengan suara rendah. “Viktor mungkin hanyalah ujung dari jaringan yang lebih besar. Ini adalah permainan besar yang melibatkan orang-orang di atas kita—mungkin lebih dari sekedar para pejabat.”
Raka mengangguk pelan. Dalam dunia ini, sepertinya tidak ada yang benar-benar tahu siapa yang mengendalikan apa. Semua orang, dari para pengusaha besar hingga pejabat pemerintah, terhubung dalam sebuah jaringan yang lebih rumit dari yang bisa mereka pahami.
Bahkan mereka, yang berusaha melawan ketidakadilan ini, hanya bisa melihat sedikit dari keseluruhan gambaran besar. Tetapi mereka tahu satu hal—mereka tidak bisa mundur. Mereka sudah terlibat terlalu dalam.
“Kenapa kita tidak langsung saja menghadapi mereka?” tanya Nadia dengan suara penuh tekad. “Kita bisa serang mereka sekarang juga.”
Raka menatapnya. “Itu bukan hanya soal kita berani atau tidak. Jika kita menyerang sekarang, kita hanya akan membongkar sedikit bagian dari sistem yang lebih besar. Kita harus mencari tahu siapa yang ada di belakang semua ini, dan bagaimana kita bisa mengalahkan mereka.”
Pak Hasan menatap layar, wajahnya serius. “Kita harus tahu lebih banyak. Jika kita sembarangan bergerak, kita akan kehilangan kontrol. Jakarta bukan hanya sekedar tempat—ini adalah perang terbuka antara kekuatan yang saling bersaing, dan kita hanya salah satu pion kecil.”
Mereka bertiga terdiam, mencerna kata-kata Pak Hasan. Mungkin dia benar. Ini lebih besar dari yang mereka kira. Mungkin mereka bisa saja jatuh ke dalam perangkap yang telah disiapkan oleh orang-orang yang bermain di balik layar.
Tetapi mereka tidak bisa berhenti. Kebenaran yang mereka cari terlalu penting untuk dibiarkan begitu saja. Jika mereka tidak melawan, siapa lagi yang akan melakukannya?
Raka menarik napas dalam-dalam. “Kita akan terus mencari,” katanya akhirnya, suara tegas. “Kita akan menemukan siapa yang ada di balik semua ini, dan kita akan bawa mereka ke permukaan.”
Mereka melangkah keluar dari ruang kontrol itu, membawa informasi yang mereka dapatkan dengan hati-hati. Saat mereka berjalan menuju pintu keluar, suasana semakin mencekam. Di luar, hujan mulai turun lebih deras, menyelimuti kota dengan tirai kabut tebal.
Jakarta yang mereka kenal—penuh dengan harapan dan impian—kini terbuka sebagai labirin yang tak terhingga. Namun, mereka tidak punya pilihan selain terus maju.
Setelah keluar dari gedung, mereka kembali bersembunyi di bayang-bayang, berusaha menghindari perhatian yang tidak diinginkan. Mereka tahu bahwa mereka kini sudah lebih dekat dengan pusat kekuasaan yang tersembunyi, tetapi mereka juga tahu bahwa semakin dekat mereka dengan kebenaran, semakin besar pula ancamannya.
Raka tidak bisa melupakan wajah Viktor yang muncul di layar. Pria itu tampaknya selalu satu langkah di depan mereka. Setiap kali mereka hampir menemukan jejaknya, Viktor dan orang-orang di belakangnya selalu bisa menghindar.
Tapi Raka tidak akan berhenti. Mereka harus mengejar, dan mereka harus menang. Hanya dengan begitu mereka bisa mengungkapkan kebenaran yang selama ini disembunyikan dari mata publik.
Di luar, suara kendaraan terdengar, berlalu-lalang di jalanan yang basah. Lampu-lampu jalan memantulkan cahaya yang kabur karena hujan. Jakarta, kota yang selalu sibuk dan bising, kini tampak lebih sunyi. Raka memandang ke depan, matanya penuh tekad. Setiap langkah yang mereka ambil membawa mereka lebih dekat kepada kebenaran—dan meskipun jalan di depan penuh dengan bahaya, dia tahu bahwa mereka harus terus melangkah. Tidak ada jalan mundur.
Nadia mengalihkan pandangannya dari langit yang gelap ke Raka. “Kita akan berhasil, kan?” tanyanya dengan penuh keyakinan.
Raka menatapnya dan tersenyum, meski senyum itu sedikit dipenuhi keraguan. “Kita tidak punya pilihan selain berhasil.”
Dengan itu, mereka melangkah menuju kegelapan malam yang semakin pekat, menuju pusat dari segala kekuatan yang mengendalikan Jakarta. Apa pun yang terjadi, mereka akan terus berjuang, karena mereka tahu bahwa kebenaran yang mereka cari akan mengubah segalanya.
Dengan langkah yang penuh tekad, mereka bergerak menuju pusat kekuasaan yang telah lama bersembunyi dalam bayang-bayang. Setiap jejak yang mereka tinggalkan semakin mendekatkan mereka pada kebenaran yang telah lama terkubur. Namun, setiap langkah juga membawa ancaman baru. Di balik bayang-bayang Jakarta yang tampaknya penuh dengan kehidupan, ada kekuatan besar yang menggerakkan segalanya dari balik layar.
Di tengah perjalanan, hujan yang turun deras seolah menjadi simbol dari perjuangan mereka—berat, melelahkan, tetapi tak pernah menyurutkan semangat. Raka memandang ke depan dengan tatapan penuh tekad, sementara Nadia dan Pak Hasan tetap menjaga langkah mereka, tak ingin terpisah. Dalam diam, mereka berbagi satu kesamaan: harapan bahwa perjuangan ini akan membawa perubahan.
Namun, di balik keyakinan mereka, rasa waspada tetap menyelimuti. Mereka tahu bahwa langkah berikutnya akan menjadi penentu—mereka bisa menemukan secercah cahaya atau malah tenggelam lebih dalam ke dalam kegelapan yang membayangi. Angin malam berembus kencang, membawa dingin yang menusuk, tapi juga seolah membisikkan kepada mereka bahwa perjuangan belum berakhir.
Dan di kejauhan, suara sirine yang samar mulai terdengar, mengingatkan mereka bahwa waktu tidak akan berhenti menunggu. Apa yang ada di ujung jalan itu, mereka belum tahu pasti. Tetapi yang mereka tahu, apa pun risikonya, mereka akan terus maju. Sebab di tengah gelapnya malam Jakarta, mereka yakin masih ada satu hal yang tak bisa dipadamkan: cahaya harapan.
hadeh hadeh, kesal banget klo inget peristiwa pd wktu itu :)