seorang wanita muda yang terjebak dalam kehidupan yang penuh rasa sakit dan kehilangan, kisah cinta yang terhalang restu membuat sepasang kekasih harus menyerah dan berakhir pada perpisahan.
namun takdir mempertemukan mereka kembali pada acara reuni SMA tujuh tahun kemudian yang membuat keduanya di tuntun kembali untuk bersama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 10
Ayana dan Devano tiba di klinik kandungan yang ramai dengan pasien. Ayana terlihat gelisah, meskipun ia berusaha menyembunyikannya. Sementara itu, Devano mendampinginya dengan wajah tenang, mencoba memberikan dukungan dengan cara yang halus.
Devano berbisik sambil menggenggam tangan Ayana
"Kalau kamu merasa tidak nyaman, kita bisa batalkan. Aku nggak mau kamu merasa terpaksa, Ayana."
Ayana hanya mengangguk kecil tanpa menatap Devano. Di dalam hatinya, ia merasa seperti sedang diadili atas keinginannya untuk tidak memiliki anak, sesuatu yang selalu menjadi harapan besar ibunya.
Dokter kandungan, seorang wanita paruh baya dengan wajah lembut, menyambut mereka dengan senyuman ramah. Setelah mengulas riwayat kesehatan Ayana, dokter mulai berbicara.
Dokter dengan nada lembut berkata
"Ibu Ayana, berdasarkan hasil pemeriksaan sementara, kondisi kesehatan fisik Anda sebenarnya cukup baik untuk menjalani program kehamilan. Tapi..."
Ayana mengangkat kepalanya, matanya mulai penuh dengan kekhawatiran. Devano meremas tangannya perlahan untuk menenangkannya.
Dokter kembali melanjutkan
"Ada hal lain yang perlu kita perhatikan. Ibu Ayana, saya melihat dari riwayat medis Anda bahwa Anda sedang menjalani terapi psikologis. Benar begitu?"
Ayana mengangguk pelan, tak mampu berkata-kata. Devano menatap dokter dengan penuh perhatian.
Dokter:"Kesehatan mental sangat penting, terutama untuk program hamil. Emosi yang stabil dan pikiran yang tenang itu sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Saya menyarankan agar Ibu Ayana melanjutkan terapi psikiaternya terlebih dahulu. Biarkan pikiran dan hati Anda benar-benar siap sebelum memulai langkah ini."
Ayana merasa lega sekaligus tertekan mendengar saran dokter. Ia bersyukur tidak harus langsung menjalani program yang direncanakan ibunya, tapi di sisi lain, ia tahu tekanan dari sang ibu akan semakin berat.
Devano dengan nada hormat menjawabnya
"Baik, Dok. Saya akan memastikan Ayana melanjutkan terapinya. Saya juga akan mendampinginya."
Dokter pun tersenyum
"Itu bagus sekali, Pak Devano. Dukungan suami adalah salah satu faktor terpenting. Jangan terlalu terburu-buru, ya. Kalau Ibu Ayana sudah siap, kita bisa mulai kapan saja."
Sepulang dari klinik, suasana di dalam mobil terasa sunyi. Ayana menatap keluar jendela, matanya memandangi jalanan yang ramai. Devano meliriknya sesekali, mencoba membaca pikirannya.
Devano memecah keheningan
"Aku tahu ini bukan yang kamu mau, Ayana. Tapi aku harap kamu tahu, aku nggak pernah mau memaksakan apa pun ke kamu."
Ayana tetap diam, merasa terlalu lelah untuk menjawab. Ia tahu Devano mencoba menenangkan, tapi pikirannya terus dipenuhi tekanan dari ibunya, pernikahannya, dan perasaannya terhadap Biantara yang belum bisa hilang.
Devano melanjutkan, dengan nada lembut
"Kalau kamu butuh waktu lebih lama, aku nggak masalah. Tapi aku cuma minta satu hal... jangan pernah merasa sendirian, Ayana. Aku ada di sini buat kamu."
Ayana menoleh, menatap Devano yang berbicara dengan ketulusan. Ia merasa bersalah, tapi juga bersyukur memiliki Devano yang begitu sabar. Dengan suara pelan, ia akhirnya berbicara.
"Terima kasih, Devano. Aku akan mencoba... tapi aku nggak janji." jawab ayana pelan
Devano tersenyum kecil
"Itu sudah cukup buat aku Ayana"devano tersenyum cukup senang mendengar jawaban dari Ayana.
Ayana menunduk lagi, kali ini merasa ada sedikit beban yang terangkat dari hatinya, meskipun masalah yang lebih besar masih menunggu untuk dihadapi.
Di perjalanan devano di kabari ibunya bahwa mertua dan ibunya tengah sampai dan menunggu hasil dari dokter yang devano dan ayana bawa untuk di kabarkan pada mereka
Suasana di dalam mobil terasa canggung. Ayana duduk di samping Devano, tatapannya kosong seolah-olah dia sedang memikirkan hal lain. Di sisi lain, Devano terlihat sedikit gelisah, lebih banyak fokus pada jalanan namun sesekali menoleh ke arah Ayana.
Devano dengan ponsel di tangan, setelah menerima kabar dari ibunya
"Ay, ibuku dan ibu kamu sudah sampai di rumah. Mereka nungguin kita di sana. Aku... aku harus kasih tahu mereka tentang hasil konsultasi dokter."
Ayana terdiam, wajahnya berubah sedikit pucat mendengar itu. Dia tahu ini adalah salah satu hal yang paling ia takutkan—menghadapi ibu mertuanya dan ibunya sendiri, yang selalu ingin tahu tentang apa yang terjadi dengan dirinya, terutama terkait pengobatannya.
Ayana dengan suara pelan, hati-hati
"Devano... aku minta tolong, jangan kasih tahu mereka soal terapi aku."
Devano menoleh sekilas, merasa cemas. Ia tahu betapa pentingnya hal ini bagi Ayana, namun ia juga tahu bahwa ibunya dan ibunya Ayana sudah menunggu dengan harapan tertentu.
Devano berusaha menenangkan, sambil tetap fokus pada jalan
"Aku mengerti, Yana. Tapi mereka sudah menunggu hasilnya. Mungkin... mungkin ini saatnya kita nggak bisa terus-terusan menyembunyikan semuanya."
Ayana dengan nada terbata-bata, merasakan ketegangan di dadanya
"Tapi Devano, aku minta supaya kamu tidak memberitahukan mereka. Ini hal pribadi... Aku nggak ingin mereka tahu aku sedang menjalani terapi. Aku merasa mereka akan menganggap aku lemah. Aku tidak siap kalau mereka tahu..."
Devano mendengar ketegangan di suara Ayana. Ia mengerti perasaan Ayana, tetapi juga tahu ada beban yang harus ia sampaikan.
Devano berusaha lembut menjelaskan
"Ay, aku tahu ini berat. Tapi... jika mereka tahu, mereka mungkin bisa lebih memahami kenapa kita butuh waktu. Aku nggak mau kamu merasa terus tertekan. Dan aku nggak mau kamu merasa sendiri."
Ayana menunduk, merasa semakin terjepit antara keinginan untuk menjaga privasinya dan tuntutan dari keluarga yang selalu ingin tahu segalanya. Ketika Devano melihat betapa berat beban yang dipikul Ayana, ia melambatkan mobilnya dan berhenti sejenak di pinggir jalan.
Devano menghela napas panjang, menatap Ayana dengan serius
"Kita bisa bicarakan ini. Tapi aku ingin kamu tahu, apa pun yang terjadi, aku ada di sini. Aku akan mendampingimu, Ayana. Kalau kamu nggak siap, aku akan bilang mereka nanti. Tapi aku nggak ingin kamu merasa tertekan lagi."
Ayana merasa ada sedikit kelegaan mendengar kata-kata Devano, meskipun masih ada rasa ragu yang mendalam di hatinya. Ia tahu Devano tidak ingin melukainya, tapi ia takut sekali pada reaksi keluarganya jika mereka mengetahui kenyataan yang selama ini disembunyikan.
Ayana dengan suara lirih
"Terima kasih, Devano. Tapi aku... aku takut mereka akan melihatku berbeda jika mereka tahu."
Devano menggenggam tangan Ayana dengan lembut, penuh pengertian
"Aku akan tetap di sisimu, Yana. Apa pun yang mereka pikirkan, aku yakin kita bisa melewatinya bersama."
Ayana menatap tangan Devano yang menggenggamnya, merasakan kenyamanan dalam sentuhannya. Meskipun masih ada ketidakpastian yang membayangi, dia merasa sedikit lebih tenang karena ada seseorang yang akan selalu mendukungnya, apapun yang terjadi.
Ayana akhirnya mengangguk pelan, dengan tatapan lebih tenang
"Terima kasih, Devano. Aku... aku akan coba. Tapi tolong... jangan terlalu terburu-buru memberitahu mereka."
Devano tersenyum lembut, merasa lebih lega
"Tenang saja, Yana. Kita akan bicarakan ini dengan cara yang kamu rasa paling nyaman."
Suara mesin mobil kembali mengisi keheningan, sementara keduanya melanjutkan perjalanan menuju rumah, dengan Ayana sedikit lebih tenang, meskipun perasaan ragu dan cemas masih ada.