"Ayo kita pacaran!" Ryan melontarkan kata-kata tak pernah kusangka.
"A-apa?" Aku tersentak kaget bukan main.
"Pacaran." Dengan santainya, dia mengulangi kata itu.
"Kita berdua?"
Ryan mengangguk sambil tersenyum padaku. Mimpi apa aku barusan? Ditembak oleh Ryan, murid terpopuler di sekolah ini. Dia adalah sosok laki-laki dambaan semua murid yang memiliki rupa setampan pangeran negeri dongeng. Rasanya aku mau melayang ke angkasa.
Padahal aku adalah seorang gadis biasa yang memiliki paras sangat buruk, tidak pandai merawat diri. Aku juga tidak menarik sama sekali di mata orang lain dan sering menjadi korban bully di sekolah. Bagaimana Ryan bisa tertarik padaku?
Tidak! Aku akan menolaknya dengan keras!!!
[update setiap hari 1-2 bab/hari]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adzalziaah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11 | Terjebak di Toilet
Pelajaran dimulai, meskipun aku mencoba untuk fokus, pandanganku lebih sering beralih ke luar jendela. Aku menatap dedaunan yang berguguran perlahan-lahan, seolah-olah mengikuti irama hidupku yang terasa begitu lambat.
Semua yang terjadi belakangan ini, hubungan aneh dengan Ryan, perhatian yang terus menerus dari teman-temanku, membuatku ingin melarikan diri sejenak. Rasanya dunia di luar sana lebih damai, lebih tenang.
Namun, ketenanganku tak bertahan lama. Tiba-tiba, kepalaku terasa pusing, seperti ada beban berat yang mengimpit otakku. Aku memegangi pelipisku, berusaha menahan rasa sakit yang datang begitu mendalam. Tidak tahu kenapa, rasa pusing ini datang begitu mendalam, seakan mengganggu seluruh pikiranku.
“Bu! Saya izin pergi ke toilet,” ucapku dengan suara pelan, berharap guru tidak terlalu memperhatikan.
Aku merasa tidak enak badan, rasanya sulit untuk terus bertahan di kelas dengan sakit kepala yang semakin memberat. Guru hanya mengangguk tanpa banyak bertanya, aku segera beranjak dari kursiku, keluar dari kelas dengan langkah yang sedikit tergesa-gesa. Pikiranku masih berputar, tetapi aku berusaha untuk tetap tenang. Mungkin aku hanya butuh sedikit waktu untuk diri sendiri.
Ketika aku tiba di toilet, aku langsung berjalan menuju wastafel dan membasuh wajahku dengan air dingin. Aku berharap rasa sakit itu segera hilang. Rasanya, tubuhku begitu lelah, seperti sudah bertahan terlalu lama tanpa cukup istirahat.
“Ha ... lega ...” ucapku pelan, mencoba untuk menenangkan diri setelah merasakan dinginnya air yang menyegarkan.
Aku mengelap wajahku dengan handuk kecil yang ada di dekat wastafel, berharap sedikit kesegaran bisa mengusir pusing yang semakin parah.
Namun, tiba-tiba aku mendengar suara pintu yang terbuka, seperti ada seseorang yang baru saja masuk. Aku menoleh, tetapi tidak melihat siapa pun. Waktu aku kembali fokus ke wajahku yang sudah kering, suara pintu yang terkunci membuatku terkejut.
“Siapa itu?” tanyaku pada orang yang baru saja lewat.
Krit ...
ceklek!
Aku menoleh cepat ke arah pintu, merasakan perasaan aneh merayap ke dalam diriku. Sepertinya, pintu itu ... terkunci. Dengan cepat, aku bergegas menuju gagang pintu dan mencoba memutar kunci. Tapi sia-sia. Pintu itu tidak terbuka. Aku menarik gagangnya berulang kali, mencoba untuk membukanya, namun pintu itu tetap saja terkunci rapat.
“Halo! Tolong, buka pintunya!” seruku, mencoba menjaga ketenanganku meski perasaan panikku mulai naik.
Aku menggedor pintu dengan keras, berharap ada seseorang yang mendengar. Namun, tidak ada jawaban. Aku berdiri di sana sejenak, memeriksa sekeliling, tetapi sepi. Aku mencoba untuk mendengarkan suara langkah kaki, atau apa pun yang bisa menunjukkan ada orang di luar sana. Tapi tidak ada apa-apa. Hanya keheningan yang menambah ketegangan dalam dadaku.
Perasaan panikku semakin meningkat. Apa yang sedang terjadi? Kenapa pintunya bisa terkunci? Siapa yang melakukannya? Aku merasa seolah-olah terkunci dalam sebuah jebakan tanpa ada jalan keluar. Aku mencoba lagi, meraih gagang pintu dengan lebih keras.
“Tolong, buka pintunya!” suaraku terdengar lebih putus asa. Tetapi masih tidak ada jawaban. Aku mulai merasa sesak, perasaan terperangkap itu semakin mencekik hatiku.
“Tidak bisa seperti ini,” pikirku, berusaha menenangkan diri.
Aku tidak bisa terjebak di sini. Aku harus keluar. Aku harus pergi.
Waktu seakan berjalan begitu lambat. Setiap detik yang berlalu terasa seperti jam. Aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk membuka pintu itu, berteriak, menggedor, bahkan mencoba merusak jendela dengan benda-benda yang ada di sekitar ruangan.
Tapi semuanya sia-sia. Aku merasa semakin lelah, tubuhku lemas, dan pikiran mulai kacau. Kepalaku berdenyut sakit, rasanya aku tak tahu lagi harus berbuat apa. Setiap kali mendengar suara langkah kaki di luar, aku terbangun dari kecemasan dan mulai berteriak, berharap seseorang mendengarkan. Tapi yang kuterima hanya keheningan yang semakin mencekam.
...»»——⍟——««...
Sudah berapa lama aku terjebak di sini? Sudah hampir dua jam sejak aku meninggalkan kelas, semakin banyak waktu yang terbuang, semakin gelap perasaan ini. Tidak ada yang datang untuk menolong. Sepertinya, aku benar-benar sendirian.
Aku merasa seperti dunia ini tidak adil padaku. “Kenapa ini terjadi padaku?” pikirku dengan frustasi.
Aku hanya ingin pulang. Aku hanya ingin kembali ke rumah dan beristirahat. Aku tidak tahu siapa yang melakukannya, tetapi jelas ada yang sengaja menjebakku di sini. Tapi untuk apa?
Perutku mulai terasa lapar, dan rasa haus pun semakin menyiksa. Tubuhku mulai gemetar, bukan hanya karena dinginnya ruangan yang sempit ini, tetapi juga karena perasaan tak berdaya yang semakin merayap. Aku ingin keluar.
Saat itu, aku mendengar suara langkah kaki. Langkah itu semakin mendekat, semakin cepat. Ada seseorang! pikirku dengan harapan. Aku berdiri tegak, menunggu, merasa cemas dan lega dalam waktu bersamaan. Apakah ini akhirnya saatnya aku bisa keluar dari sini?
Brak!
Pintu toilet di depanku didobrak dengan keras.
Seseorang dengan wajahnya yang tampak cemas, matanya menatapku penuh perhatian, seolah dia benar-benar khawatir. Aku tidak bisa memungkiri bahwa ada sedikit rasa lega yang mengalir begitu saja dalam diriku begitu aku melihat dia. Ryan ... dia datang untuk menolongku.
“A-Aura?”
Aku hanya bisa memandangnya tanpa bisa mengucapkan sepatah kata pun. Air mataku tiba-tiba mengalir begitu saja, tanpa bisa kuhalangi. Aku merasa sangat lelah, begitu tertekan, dan setelah semua waktu yang terasa seperti berjam-jam terjebak di dalam ruangan ini, aku akhirnya merasa sedikit lega.
“Ryan!” Aku memanggil namanya dan tanpa sadar, air mataku semakin deras mengalir.
Aku tidak bisa menahan perasaan itu lagi. Rasanya sudah terlalu lama aku menahan semuanya sendirian. Kini, dengan dia ada di sini, perasaan itu akhirnya pecah. Semua yang sudah aku tahan keluar begitu saja.
Ryan terdiam beberapa saat, matanya menatapku dengan penuh perhatian. Tanpa banyak bicara, dia langsung mendekat dan tanpa ragu, dia memelukku. Memelukku. Itu adalah pelukan yang begitu hangat, seolah dia ingin menenangkan semua kegelisahan yang ada dalam diriku.
Aku tidak bisa menghindar, tidak bisa menolaknya. Pelukan itu datang dengan hangat. Aku membiarkan diriku terhanyut dalam pelukan itu, membiarkan semua perasaan yang selama ini terpendam keluar begitu saja.
“Kenapa kamu ada di sini? Aku mencari-cari kamu sejak tadi.” Suara Ryan terdengar pelan, namun ada rasa cemas yang begitu jelas.
Aku bisa merasakan betapa dia benar-benar peduli padaku. Seolah dia benar-benar khawatir jika terjadi sesuatu padaku.
Aku hanya bisa menangis lebih keras, mengubur wajahku di dada Ryan, membiarkan seragamnya menjadi tempat untuk melepaskan semua emosi yang selama ini tertahan. Aku merasa sangat lelah. Lelah dengan semua yang terjadi, dengan semua rasa takut yang menghantuiku.
Namun, di pelukan Ryan, aku merasa sedikit lebih tenang. Meskipun masih banyak pertanyaan yang mengganggu pikiranku, meskipun aku masih takut dengan siapa yang mengunciku di sini, setidaknya aku tahu ada seseorang yang peduli padaku.
“Tenang, Aura. Kamu aman sekarang. Kamu sudah aman.” Suara Ryan terdengar menenangkan, meskipun aku tahu dia sendiri mungkin juga merasa cemas dan bingung dengan apa yang terjadi.
...»»——⍟——««...