para pemuda yang memasuki hutan yang salah, lantaran mereka tak akan bisa pulang dalam keadaan bernyawa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Novita Ledo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5: Korban Pertama
Bayangan besar itu meluncur mendekati mereka, memancarkan aura dingin yang membuat tubuh mereka kaku. Raka berdiri di depan mekanisme ukiran di dekat pintu, mencoba memahami cara kerjanya. Bima dan Dinda berdiri di depannya, memegang kayu yang mereka temukan di lantai sebagai senjata, meski mereka tahu itu tak akan banyak membantu.
"Raka, cepet!" teriak Dinda, matanya terus mengawasi bayangan itu yang bergerak semakin dekat.
"Gue butuh waktu!" balas Raka panik. Jemarinya bergetar saat mencoba memutar ukiran yang berbentuk roda, tapi simbol-simbol di sana terlalu rumit. Tidak ada petunjuk jelas bagaimana cara mengaktifkannya.
Bayangan itu berhenti sejenak, seolah-olah sedang mengamati mereka, menikmati ketakutan yang terpancar dari wajah-wajah mereka. Kemudian, ia bergerak cepat, mengayunkan lengannya yang besar ke arah Bima.
"AWAS!" teriak Dinda.
Bima melompat ke samping, menghindari serangan itu, tapi tidak cukup cepat. Ujung lengan bayangan itu menyentuhnya, dan Bima berteriak keras. Kulit di lengannya terlihat menghitam, seperti terbakar oleh sesuatu yang tak terlihat.
"BIMA!" Dinda mencoba menariknya menjauh, tapi bayangan itu kembali menyerang. Kali ini, Dinda menabrakkan dirinya ke bayangan itu dengan nekat, mencoba mengalihkan perhatiannya.
Bayangan itu terdorong sedikit ke belakang, tapi hanya untuk beberapa detik. Mata merahnya menyala lebih terang, dan tubuhnya membesar, memenuhi ruangan dengan kegelapan yang lebih pekat.
Raka terus bekerja dengan putus asa, memutar simbol demi simbol, mencoba mencocokkan pola yang terlihat seperti lingkaran yang saling bertautan. Ia tahu waktu mereka hampir habis.
Dinda menjerit saat bayangan itu mencengkeram kakinya. Tubuhnya ditarik ke udara, dan ia berteriak, "RAKA! CEPAT!"
Bima, meski terluka, bangkit kembali dan memukul bayangan itu dengan kayu. Tapi seperti sebelumnya, serangannya tidak berdampak apa-apa. Kayu itu hanya melewati tubuh bayangan itu seperti asap.
Raka akhirnya mendengar bunyi klik. Sebuah simbol di tengah mekanisme mulai bersinar samar. "GUE DAPAT!" teriaknya.
Pintu besar itu mulai bergetar, seolah-olah sedang membuka sesuatu yang terkunci sejak lama. Tapi gerakannya lambat, terlalu lambat.
Bayangan itu mengayunkan lengannya lagi, kali ini ke arah Dinda. Tubuh Dinda terhempas ke dinding dengan keras. Ia jatuh ke lantai, tak bergerak.
"DINDA!" Bima berlari ke arahnya, meninggalkan Raka di depan mekanisme. Tapi saat ia mencoba menyentuh Dinda, tubuhnya terasa membeku. Bayangan itu melangkah mendekat, mata merahnya kini terpaku pada Bima.
"Lo harus pergi," Dinda tiba-tiba berbisik, dengan suara lemah. "Tinggalin gue…"
"Jangan ngomong kayak gitu!" balas Bima, mencoba mengangkat tubuhnya.
Tapi bayangan itu tidak memberi mereka waktu lagi. Dengan satu gerakan cepat, ia mencengkeram tubuh Dinda dan menyeretnya ke dalam kegelapan.
"DINDA!!!" Bima berteriak, tapi Dinda hanya sempat menatapnya sekali lagi sebelum tubuhnya benar-benar lenyap.
Pintu akhirnya terbuka lebar, dan sebuah cahaya terang menyembur dari celah itu, menembus kegelapan ruangan. Bayangan besar itu terhenti, seolah-olah cahaya itu melukainya. Ia melolong keras, suara yang bergema di seluruh ruangan, membuat telinga mereka berdenging.
"BIARIN DIA, BIM! CEPET KELUAR!" teriak Raka.
Bima tidak ingin meninggalkan Dinda, tapi ia tahu tidak ada yang bisa ia lakukan. Dengan air mata mengalir, ia berlari mengikuti Raka, melintasi pintu itu dan masuk ke dalam cahaya.
---
Raka dan Bima jatuh ke tanah di sisi lain pintu. Udara di sini hangat dan segar, sangat berbeda dari kegelapan mencekam yang baru saja mereka tinggalkan. Mereka berada di sebuah lapangan terbuka, dengan langit malam penuh bintang di atas mereka.
Namun, pintu itu masih terbuka di belakang mereka, dan bayangan besar itu terlihat berdiri di ambangnya. Meski tubuhnya mulai memudar, ia masih berusaha melangkah keluar.
"Tutup pintunya!" teriak Raka.
Bima berlari ke arah pintu dan mulai mendorongnya. Tapi pintu itu terlalu besar dan berat untuk ditutup sendirian.
"Raka, bantu gue!"
Raka berlari ke arah pintu, dan bersama-sama mereka mendorongnya dengan sekuat tenaga. Bayangan itu semakin dekat, lengannya mencoba keluar, tapi cahaya dari sisi lain pintu terus membakarnya, membuatnya melolong kesakitan.
Dengan dorongan terakhir, pintu itu akhirnya tertutup, dan suara lolongan itu menghilang.
Raka dan Bima jatuh terduduk, kelelahan. Mereka hanya bisa saling menatap, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.
"Tapi Dinda…" gumam Bima, suaranya penuh kesedihan.
Raka hanya bisa menunduk. Tidak ada kata-kata yang bisa menghibur saat ini. Mereka tahu, mereka telah kehilangan dua teman mereka—Andre dan Dinda.
---
Saat mereka mencoba menenangkan diri, suara langkah kaki terdengar dari kejauhan. Mereka menoleh dengan cepat, pikirannya kembali dipenuhi rasa takut.
Namun, yang muncul dari balik pohon adalah seorang pria tua dengan tongkat di tangannya. Wajahnya penuh kerut, tapi matanya memancarkan kebijaksanaan.
"Kalian berhasil keluar," katanya, suaranya berat. "Tapi apa yang kalian lepaskan tidak akan berhenti begitu saja."
"Apa maksud lo?" tanya Raka, masih terengah-engah.
Pria tua itu menunjuk ke langit. "Kalian telah membuka pintu yang tidak seharusnya dibuka. Sekarang, bayangan itu akan terus mencari jalan keluar. Dan kalian… akan menjadi yang pertama dia cari."
Malam itu, di bawah langit penuh bintang, Raka dan Bima menyadari bahwa mereka belum benar-benar selamat. Hutan Giripati telah meninggalkan bekas yang tak terhapuskan dalam hidup mereka—dan mungkin juga dalam dunia ini.