Please! Don'T Be My Boyfriend
Sore hari, sepulang sekolah. Langit terlihat jingga, memancarkan kehangatan yang cukup untuk mengusir rasa dingin di hati. Aku melangkah menuju belakang sekolah, tempat di mana Ryan menunggu.
Katanya ada yang ingin dia bicarakan, tapi aku tidak tahu apa itu. Hati ini berdebar-debar, beragam perasaan berkecamuk di dalam diri. Apa yang dia inginkan dariku? Rasa penasaran bercampur gugup menyelimuti langkahku.
Saat aku mendekatinya, terlihat sosoknya berdiri di bawah pohon rindang, wajahnya bersinar dengan sinar matahari sore. Desiran angin lembut menggoyangkan dedaunan, memberikan suasana dramatis pada pertemuan kami.
Ryan mengenakan kaus putih sederhana, namun tetap saja terlihat tampan, seperti pangeran dari kisah dongeng yang selalu kuimpikan.
“Apa yang mau kamu bicarakan?” tanyaku, wajahku tertunduk malu, mencoba menyembunyikan pipi yang mulai memerah.
Suaraku terdengar seperti bisikan di antara desir angin dan suara riuh lapangan yang mulai sepi.
Ryan tersenyum lembut. Senyumnya itu membuatku sedikit lebih tenang, namun masih tak bisa menghilangkan rasa maluku. Maklum, aku sering dipanggil seorang introvert yang jarang berbicara. Apalagi dengan laki-laki sepertinya.
Ryan adalah sosok yang disukai banyak orang. Murid-murid sering membicarakan ketampanannya, kehebatannya dalam bermain basket, daya tariknya,juga kecerdasannya.
“Ayo kita pacaran!” ucapnya tiba-tiba, seakan menghempaskan angin segar ke wajahku.
“A-apa?” Suaraku hampir tak terdengar, terperangkap di antara kaget dan tidak percaya.
Aku merasakan jantungku berdetak begitu cepat, seperti ingin melompat keluar dari dada.
“Pacaran,” ulangnya dengan santai, seolah itu adalah hal yang paling biasa di dunia ini.
Kepalaku berputar, rasanya seperti mimpi yang tidak mungkin menjadi nyata. Ryan, seorang yang populer di sekolah, mengajakku berpacaran?
Pikiran itu menggema di kepalaku, mengisi setiap sudut dengan rasa tidak percaya. Apa kata anak-anak lainnya nanti? Aku pasti semakin dirudung oleh mereka.
“Kita berdua?” tanyaku, memastikan apa yang baru saja kudengar, meskipun jawabannya sudah jelas.
Kata-kata itu keluar seperti bisikan, hampir tak terdengar.
Ryan mengangguk, senyumannya semakin lebar. Dalam sekejap, aku merasakan merinding yang aneh. Semua gadis di sekolah ini pasti akan iri, bahkan mungkin merasa sakit hati mendengarnya. Kenapa dia memilihku?
Satu bulan yang lalu, kami bertemu di masa orientasi sekolah. Di aula besar yang penuh sesak, aku tidak pernah menyangka bahwa pandanganku akan bertemu dengan Ryan. Saat itu, aku hanya seorang gadis biasa, tanpa niat untuk menyukai seseorang sepertinya. Semuanya terasa begitu cepat.
Kini, di detik itu, aku mendapati diriku berlari menjauh darinya, meninggalkannya sendirian di sana. Ada perasaan yang tak bisa kugambarkan, antara takut dan terkejut.
“Aura, tunggu …” teriak Ryan di belakangku.
Suaranya terdengar seperti rintihan penuh kebingungan. Tapi aku tak berhenti. Aku tahu dia tidak mengejarku. Jika dia benar-benar menyukaiku, dia pasti mengejarku, kan? Tapi dia tidak. Itu artinya, mungkin rasa cintanya padaku hanya sekadar rasa iba.
Aku terus berlari, angin sore menerpa wajahku, membawa rasa sejuk yang anehnya tak mampu meredakan debaran hatiku. Aku ingin menangis, ingin berteriak. Semua terasa terlalu mendadak, terlalu membingungkan.
Sesampainya di rumah, aku langsung masuk ke kamar dan merebahkan diri di atas ranjang. Suasana kamar yang seharusnya nyaman kini terasa pengap. Poster bintang film favoritku, tirai putih yang melambai pelan, semuanya terasa menatapku dengan tatapan menyalahkan. Aku menutup mata, berharap bisa menyingkirkan segala pikiran itu. Tapi bayangan wajah Ryan terus saja muncul.
Aku meraih ponsel dan membuka aplikasi pesan, mencari nama Ryan di daftar kontak. Sudah berapa kali dia menghubungiku, tetapi saat ini, aku merasa seperti terjebak dalam dilema. Haruskah aku menghubunginya dan menjelaskan perasaanku yang sebenarnya? Atau biarkan saja semuanya berlalu seperti ini?
“Ryan! Dia cowok yang sangat tidak peka. Ada ratusan murid perempuan di sekolah itu, kenapa dia memilih aku?” gumamku pelan.
Mungkin hanya dinding yang bisa mendengar, tapi rasanya lega mengatakan itu meski hanya untuk diri sendiri.
Semua gadis di sekolah pasti memimpikan bisa bersama Ryan, yang terkenal dengan ketampanan dan pesonanya. Dan di sini aku, seorang gadis biasa yang tak pernah bercita-cita menjadi pacar murid terpopuler. Kenapa harus aku? Bukankah dia bisa mendapatkan siapa pun yang dia mau?
Malam itu terasa panjang. Bayangan Ryan, suaranya, dan tatapannya terus terputar di kepalaku. Aku berguling ke sisi lain ranjang, menarik selimut, berharap rasa tidak nyaman ini segera lenyap.
...»»——⍟——««...
Keesokan harinya, aku pergi ke sekolah seperti biasa, dengan langkah yang terasa berat. Pikiran tentang ucapan Ryan itu membuat hatiku semakin berat dan terus menghantuiku.
Saat aku memasuki ruang kelas, suasana yang biasanya ceria tiba-tiba terasa tegang. Banyak murid sudah berkumpul di dalam kelas, dan suara bisik-bisik mereka membuatku canggung memasuki ruangan. Aku tahu mereka membicarakanku.
Meski aku berusaha untuk tidak peduli, telingaku tetap menangkap setiap kata yang mereka ucapkan. Seakan-akan, semua mata terfokus padaku. Aku memilih duduk di mejaku, meja pojok paling belakang dekat jendela.
Angin sepoi-sepoi yang masuk terasa menyegarkan, tapi hatiku tetap berat rasanya. Sambil menatap ke luar jendela, pikiranku melayang jauh, melamun dengan tenang. Apakah mereka benar-benar tahu tentang percakapan kemarin? Atau hanya sekadar gosip?
Tiba-tiba, suara gaduh memecah keheningan pagi itu.
“Brak!” Suara keras itu membuatku terkejut.
Aku mengangkat kepala dan melihat seorang gadis berdiri di depanku, dengan tatapan marah yang membakar.
“Jadi kamu?” katanya dengan nada menantang.
Wajahnya memerah dan matanya menyipit, penuh emosi. “Kamu yang berani merebut Ryan dariku!”
Aku langsung merasakan jantungku berdegup kencang, darah seakan membeku di pembuluhku. Sebelum sempat menjawab, dia sudah menjambak rambutku. Rasa sakit menusuk kepalaku, membuat mataku perih.
Aku bisa merasakan tatapan teman-teman sekelas yang penasaran, sebagian dari mereka mencoba melerai kami. Tapi suasana ini terasa seperti mimpi buruk.
Tangan-tanganku gemetar saat mencoba melepaskan diri dari genggamannya. Aku terjatuh ke lantai, debu-debu mengotori seragamku. Dengan susah payah, rambutku lepas dari genggamannya.
“Berani sekali kamu diam-diam menemui Ryan!” katanya lagi, melotot dengan amarah yang tak terselubung.
Aku hanya bisa duduk tersungkur, memandangnya dengan mata lelah. Tidak ada yang berani menyela. Semua terlalu sibuk menonton drama yang tak pernah kuduga akan terjadi.
Aku berusaha berdiri dengan lutut yang masih gemetar. Pandanganku kabur sejenak, tapi aku bisa merasakan tatapan sinis dari beberapa teman sekelas yang berdiri di sekitar kami.
Beberapa murid terlihat terkejut, namun tak ada yang berani benar-benar turun tangan. Rasa malu dan amarah bercampur menjadi satu, membuat mataku panas.
“Dengar, aku tidak berbuat apa-apa!” suaraku serak, nyaris patah, mataku berkaca-kaca menahan tangis karena rasa sakit dari kepalaku.
Napasku tersengal-sengal, mencoba menahan gemetar di bibirku. Gadis itu, namanya Isabella, murid terkenal lainnya yang memiliki geng pertemanan yang selalu terlihat mencolok. Dia mendekatkan wajahnya ke arahku, jaraknya terlalu dekat hingga aku bisa mencium aroma parfum mawar yang menyengat.
“Jangan pura-pura polos, Aura,” katanya dengan suara rendah yang tajam. “Kamu pikir kamu bisa mendapatkan Ryan begitu saja?”
...»»——⍟——««...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
diann
kenapa novelnya selalu dimulai dari penolakan?
2024-11-11
2