Netha Putri, wanita karir yang terbangun dalam tubuh seorang istri komandan militer, Anetha Veronica, mendapati hidupnya berantakan: dua anak kembar yang tak terurus, rumah berantakan, dan suami bernama Sean Jack Harison yang ingin menceraikannya.
Pernikahan yang dimulai tanpa cinta—karena malam yang tak terduga—kini berada di ujung tanduk. Netha tak tahu cara merawat anak-anak itu. Awalnya tak peduli, ia hanya ingin bertanggung jawab hingga perceraian terjadi.
Sean, pria dingin dan tegas, tetap menjaga jarak, namun perubahan sikap Netha perlahan menarik perhatiannya. Tanpa disadari, Sean mulai cemburu dan protektif, meski tak menunjukkan perasaannya.
Sementara Netha bersikap cuek dan menganggap Sean hanya sebagai tamu. Namun, kebersamaan yang tak direncanakan ini perlahan membentuk ikatan baru, membawa mereka ke arah hubungan yang tak pernah mereka bayangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pulang
Setelah memastikan si kembar sudah mandi dan rapi, Netha langsung membuka aplikasi GoFood di ponselnya. Ia dengan sigap memesan empat porsi sarapan lengkap dan minuman favorit masing-masing. Makanan itu berupa nasi uduk dengan lauk ayam goreng, sambal, dan kerupuk. Minumannya: dua teh manis untuk si kembar, kopi hitam untuk Sean, dan jus jeruk untuk dirinya sendiri.
“Ah, praktis. Tinggal tunggu datang,” gumamnya sambil memasukkan alamat rumah dinas Sean. Ia tidak terlalu memikirkan bagaimana nanti makanan itu bisa sampai ke rumah dinas, mengingat betapa ketatnya pengawasan di pos penjagaan. “Mereka pasti tahu cara mengantar ke rumah komandan,” pikirnya santai.
Setelah selesai memesan, Netha duduk di ruang tengah sambil melirik ke arah Sean yang baru saja keluar dari kamar mandi. Sean mengenakan pakaian kasual—kaos abu-abu polos dan celana denim gelap. Rambutnya yang basah terlihat membuatnya tampak lebih segar.
“Kamu pesan makan? Untuk kita semua?” tanya Sean sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil.
Netha mengangguk santai. “Iya, aku pesan lewat GoFood. Sudah tahu alamat rumahmu, jadi langsung saja.”
Sean tersenyum kecil. “Kamu yakin mereka bisa masuk? Pos jaga biasanya ketat.”
Netha melirik Sean sambil mengangkat bahu. “Yah, kalau tidak bisa, nanti aku sendiri yang jemput ke pos. Gampang, kan?”
Sean hanya tertawa kecil. “Kamu memang simpel sekali, ya. Tapi kalau nanti ada masalah, bilang saja aku yang suruh.”
“Kalau ada masalah, aku tahu harus sebut nama siapa,” balas Netha dengan senyum tipis, nada bicaranya setengah menggoda.
Sean tidak bisa menahan senyumannya. Ia merasa semakin nyaman dengan perubahan sikap Netha yang kini tampak lebih santai dan tidak terlalu menjaga jarak seperti sebelumnya.
Sekitar 30 menit kemudian, terdengar bel rumah berbunyi. Netha segera beranjak untuk membuka pintu. Ternyata, di depan rumah sudah ada petugas pos jaga yang menemani seorang kurir GoFood. Kurir itu terlihat agak gugup, mungkin karena suasana militer yang jarang ia alami.
“Bu, ini pesanannya,” kata kurir itu sambil menyerahkan makanan dan minuman yang dibawa dalam tas besar.
“Terima kasih, ya,” ucap Netha sambil memberikan tip kecil. Petugas pos jaga hanya tersenyum sopan sambil memberikan hormat kepada Netha sebelum kembali ke tempatnya.
Netha membawa makanan itu ke ruang tengah. “Sarapan sudah datang!” serunya kepada Sean dan si kembar.
Si kembar langsung berlari keluar dari kamar mereka dengan wajah antusias. “Mama pesan apa?” tanya Al sambil melongok ke dalam kantong makanan.
“Kesukaan kalian, nasi uduk sama teh manis,” jawab Netha sambil mengeluarkan semua makanan dan menatanya di meja makan.
Sean membantu menyiapkan piring dan gelas, sementara Netha menuangkan teh manis ke gelas si kembar. Dalam sekejap, suasana meja makan menjadi hangat dengan gelak tawa dan obrolan ringan di antara mereka berempat. Untuk pertama kalinya, mereka menikmati sarapan bersama seperti keluarga yang benar-benar harmonis.
Setelah selesai sarapan, Sean memandang Netha yang sedang membereskan piring-piring di meja makan. Ia mendekati Netha dengan santai, menyandarkan bahunya di dinding sambil bertanya, “Setelah ini kamu mau ke mana?”
Netha melirik Sean sekilas, lalu menjawab dengan nada santai, “Ya pulanglah. Masa mau tinggal di sini terus?”
Sebelum Sean sempat merespons, El dan Al langsung merajuk. “Mama, jangan pulang dulu! Kita mau sama Mama lebih lama,” ucap Al sambil memeluk tangan Netha.
“Benar, Mama! Kalau Mama pulang, kami ikut juga,” tambah El dengan wajah memelas.
Netha menatap Sean, seolah meminta pendapat. Sean hanya mengangguk pelan sambil tersenyum tipis. “Biarkan mereka ikut kalau memang mau,” katanya tenang.
Setelah semua selesai bersiap, Netha membawa tas kecilnya, sementara Sean membantu mempersiapkan barang-barang si kembar. Mereka semua menuju mobil. Ketika Netha membuka pintu mobil untuk El dan Al, ia terkejut melihat Sean berdiri di dekat pintu pengemudi dengan santai.
“Lho, kamu ikut juga?” tanya Netha dengan nada heran.
“Iya,” jawab Sean ringan sambil membuka pintu dan duduk di kursi penumpang depan.
Netha mengerutkan kening. “Kamu nggak bertugas?”
Sean menoleh ke arahnya dengan senyum percaya diri. “Aku masih libur. Tinggal lima hari lagi, jadi mending ikut kalian aja ke rumah. Di sini ngapain kalau sendirian?”
Netha menghela napas, setengah jengkel, tapi juga tak bisa menyangkal bahwa ia merasa sedikit lega Sean ikut. “Ya sudah, terserah kamu.”
Sean hanya tersenyum tipis dan mempersilakan Netha duduk di kursi pengemudi. “Aku antar kamu kalau capek nanti,” katanya sambil melirik ke arah Netha yang sudah duduk di balik kemudi.
Si kembar di kursi belakang langsung bersorak senang. “Asyik, Papa ikut pulang!” teriak mereka bersamaan.
Netha hanya menggeleng kecil sambil menghidupkan mesin mobil. “Dasar kalian ini,” gumamnya pelan, tapi senyumnya tetap terlihat di wajahnya. Seketika mobil pun melaju, membawa mereka menuju rumah dengan suasana yang lebih akrab dari sebelumnya.
Ketika mobil yang ditumpangi Netha, Sean, dan si kembar mulai meninggalkan kompleks rumah dinas, banyak mata yang memperhatikan mereka. Para pria militer yang sedang berolahraga pagi atau bersiap untuk tugas langsung berhenti sejenak, menatap ke arah mobil Sean. Para istri prajurit yang kebetulan sedang berkumpul di dekat pos jaga pun tak kalah sibuk berbisik-bisik.
“Apa itu istrinya Komandan Sean?” bisik salah satu istri dengan nada tak percaya.
“Sepertinya begitu. Tapi kok masih muda banget? Dan cantik sekali, ya,” sahut yang lain dengan ekspresi takjub.
“Pantas saja Komandan Sean nggak pernah bicara soal istrinya. Dia pasti menjaga privasi. Tapi aku nggak nyangka istrinya seperti model, pantas tak dibawa kesini, mungkin takut dilirik sama prajurit lain.” timpal seorang wanita lain yang masih mengenakan apron dapurnya.
Tak hanya para istri yang bergosip, beberapa prajurit juga membicarakan hal serupa. “Jadi itu istri Komandan? Kukira dia hidup sendiri,” ucap salah satu prajurit sambil melipat tangan.
“Iya, selama ini kita cuma lihat dia bareng si kembar. Ternyata anak-anak itu punya ibu juga,” timpal rekannya.
“Aku dengar dia baru datang kemarin. Mungkin selama ini tinggal di luar kota,” salah satu prajurit mencoba menebak-nebak.
Sementara itu, di dalam mobil, Netha tak menyadari bahwa dirinya telah menjadi topik perbincangan hangat di kamp militer. Sean, di sisi lain, menangkap sekilas beberapa tatapan dan bisik-bisik saat mereka melintas. Ia hanya tersenyum kecil, tampak tak peduli dengan perhatian yang ia dan keluarganya terima.
Netha, yang fokus menyetir, akhirnya melirik Sean di kursi penumpang. “Kenapa kamu senyum-senyum sendiri?”
Sean meliriknya dengan santai. “Ah, nggak apa-apa. Hanya merasa bangga saja.”
“Bangganya kenapa?” Netha bertanya dengan nada curiga.
“Ya, punya istri yang cantik dan anak-anak yang luar biasa. Kamu nggak lihat tadi? Semua orang memandang kita,” jawab Sean sambil terkekeh.
Netha mengerutkan dahi. “Memandang karena apa? Jangan-jangan mereka berpikir aneh-aneh.”
“Percayalah, mereka hanya kagum. Kamu itu perhatian sama si kembar, dan, ya, kamu memang cantik. Wajar mereka terkejut,” ujar Sean dengan nada tulus.
Netha mendengus kecil sambil menggelengkan kepala, berusaha menutupi rasa malunya. “Halah, lebay.”
Di kursi belakang, si kembar sibuk berbincang tentang pantai yang mereka kunjungi kemarin. Mereka berdua sangat bersemangat menceritakan pengalaman mereka, membuat suasana di dalam mobil semakin hidup. Sean menoleh ke arah Netha sekali lagi. Dalam hatinya, ia merasa lebih yakin bahwa perlahan keluarganya mulai menyatu.
Namun, ia juga sadar, setelah ini ia harus siap menghadapi berbagai pertanyaan dari kolega dan bawahannya. Sean tak peduli. Yang terpenting, keluarga kecilnya kini bersamanya, dan itu cukup untuk membuatnya bahagia.