Tiga tahun lalu, Agnia dan Langit nyaris menikah. Namun karena kecelakaan lalu lintas, selain Agnia berakhir amnesia, Langit juga divonis lumpuh dan mengalami kerusakan fatal di wajah kanannya. Itu kenapa, Agnia tak sudi bersanding dengan Langit. Meski tanpa diketahui siapa pun, penolakan yang terus Agnia lakukan justru membuat Langit mengalami gangguan mental parah. Langit kesulitan mengontrol emosi sekaligus kecemburuannya.
Demi menghindari pernikahan dengan Langit, Agnia sengaja menyuruh Dita—anak dari pembantunya yang tengah terlilit biaya pengobatan sang ibu, menggantikannya. Padahal sebenarnya Langit hanya pura-pura lumpuh dan buruk rupa karena desakan keluarga yang meragukan ketulusan Agnia.
Ketika Langit mengetahui penyamaran Dita, KDRT dan talak menjadi hal yang kerap Langit lakukan. Sejak itu juga, cinta sekaligus benci mengungkung Dita dan Langit dalam hubungan toxic. Namun apa pun yang terjadi, Dita terus berusaha bertahan menyembuhkan luka mental suaminya dengan tulus.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11. Surat Cerai
“Kamu lihat Ibu! Kalau Ibu, ibu yang egois. Sudah Ibu tinggal kamu! Ibu cukup bawa adik-adikmu!”
Mendengar cekcok antara Dita dan sang ibu, terdengar makin serius, Langit sengaja bersembunyi di tembok gang sebelah.
Kontrakan Dita tinggal ada di bagian dalam kawasan padat di sana. Dan untuk menuju kontrakan, harus melewati gang kecil yang menghubungkan ke gang-gang lain juga. Di lain sisi, ucapan sang ibu teramat melukai Dita. Padahal selama ini, khususnya selama lima tahun terakhir semenjak Dita lulus SMA kemudian langsung bekerja tetap di pabrik, Dita sudah membantu perekonomian keluarga.
“Kalau Ibu tetap enggak sudi dan enggak bisa menerima semua pengorbananku sebagai anak, ... ya sudah masukin lagi saja aku ke perut Ibu. Karena andai bisa memilih, aku juga enggak mau jadi anak Ibu!” ucap Dita yang kemudian menyeka tuntas air matanya menggunakan tangan kanan.
“Sepertinya dia sedang butuh banyak uang!” batin Langit yakin dan merasa tak nyaman dengan sumpah serapah dari ibu Darsem yang menyebut Dita sebagai anak durhaka.
“Bu, ... memangnya Ibu pikir, semua biaya pengobatan Ibu. Dari yang sejak operasi dan sampai sekarang. Termasuk biaya transportasi, biaya makan, dan biaya keperluan di rumah sampai detik ini. Ibu kira, semua itu ditanggung BPJS dan pemerintah atau malah tetangga?” ucap Dita. “Semua itu dari anak yang Ibu sebut DURHAKA, Bu!”
“Sekarang kalau Ibu mau buang aku, silakan. Aku enggak butuh dikasihani oleh Ibu. Walau tugas seorang Ibu, tentu bertanggung jawab ke anak-anaknya. Bukan malah memaksa anak bertanggung jawab dan jadi tulang punggung keluarga. Makanya kalau enggak siap urus anak, enggak usah bikin anak. Enggak usah nikah!” kesal Dita yang memilih lanjut mengepel.
Ini menjadi kali pertama Dita membalas kerusuhan yang ibunya ciptakan. Kerusuhan yang selalu memaksanya untuk terus menghasilkan uang, uang, dan uang. Agar keluarganya bisa memiliki kehidupan lebih baik. Namun selama itu juga, ibu Darsem akan memanjakan kedua adik Dita dengan kehidupan berkecukupan bahkan boros menggunakan hasil keringat Dita. Hingga ibarat tabungan, Dita telah menabung di tempat bocor.
“Otakku sudah buntu kalau harus mikirin keluargaku. Makanya aku takjub banget ke mama Azzura yang begitu mengurus anak-anaknya. Bukan malah mewajibkan anak-anaknya buat urus!” batin Dita. Ia dapati, sang ibu yang langsung diam dan memilih masuk lagi ke kontrakan bagian dalam.
“Lagi sakit bukannya instrospeksi diri dan lebih mendekatkan diri ke Yang Maha Kuasa, eh ini masih saja zalim ke anaknya!” batin Dita yang kemudian malah terlonjak hingga terbanting gara-gara kedatangan Langit yang begitu tiba-tiba di hadapannya.
“Nih orang kok ada di sini? Dia tahu rumahku dari mana?” batin Dita yang perlahan berangsur berdiri lantaran Langit tetap berdiri angkuh di depan teras kontrakannya.
Langit yang menyimpan kacamata hitam tebalnya di saku kemeja merah hati bagian dada, menghakimi Dita melalui tatapannya. “Kamu memang sedang butuh banyak uang, kan?”
“Memangnya kamu mau kasih berapa?” balas Dita dengan nada bicara tak kalah bengis dari Langit.
“Berapa pun yang kamu mau, aku kasih! Asal kamu mau cerai!” tegas Langit sambil mengantongi kedua tangannya di kantong sisi celana bahan warna hitam yang menyempurnakan penampilannya.
“Oh, ... sebenarnya kamu siapa? K–kamu yang—” Dita yang refleks akan membahas bahwa Langit yang ada di hadapannya, merupakan pria yang menyusup ke kamar Langit suaminya, refleks berucap meledak-ledak. “Kamu yang malam itu masuk ke kamar suamiku!”
“Betina yang satu ini benar-benar tidak tahu, bahwa aku suaminya?!” batin Langit tetap tidak akan mengabarkan statusnya kepada Dita. Meski apa yang terjadi membuatnya makin yakin, bahwa Dita tak mengenalinya sebagai Langit buruk rupa sekaligus lumpuh.
Tak lama kemudian, Langit memberikan amplop besar warna cokelat. “Itu berkas-berkas perceraian kamu dan Langit. Mau tidak mau, suka tidak suka, Langit tetap akan menceraikan kamu. Sementara mengenai orang tuanya, tolong jangan jadikan mereka sebagai alasanmu tetap bertahan. Terlebih setelah mengetahui keadaanmu yang sebenarnya, sepertinya kamu sengaja bertahan agar mendapatkan keuntungan uang dari mereka!”
Hati Dita yang sebelumnya sudah sangat terluka karena perlakuan ibu kandungnya, seketika seolah memb u suk. Dengan cepat Dita merebut amplop-nya dari tangan kanan Langit.
“Dengan senang hati aku menerima perceraian ini! Bilang ke Langit, enggak usah repot-repot mengurusku apalagi sampai berpikir harus menyiapkan sejumlah uang agar aku meninggalkannya!” tegas Dita susah payah menahan agar air mata di kedua matanya dan sudah membuat pandangannya kabur, tak jatuh.
Awalnya, Dita akan masuk ke dalam kontrakan, begitu saja. Hingga dalam hatinya, Langit yang melepas kepergian punggung Dita sambil menghela napas lega, juga mengucapkan alhamdullilah. Namun, tiba-tiba saja, air di ember pel yang Dita bawa, mengguyur wajah berikut dada Langit, dan itu ulah Dita.
“Y—ya! Kamu!” teriak Langit benar-benar emosi, tapi alasannya emosi, hanya menatapnya singkat kemudian masuk ke dalam kontrakan. Terdengar Dita yang sampai mengunci kontrakannya.
“Sudah ... beneran sudah selesai! Ya sudah, ... aku siap-siap cari kerja lagi. Hidupku kan ditakdirkan buat kerja, kerja, dan menghasilkan uang sebanyak mungkin! Namun karena berpenampilan seperti ini membuatku tak diterima perusahaan, ... ya sudah. Toh, aku sudah diceraikan. Sepertinya, talak malam itu juga sudah cukup memperjelas pernikahanku. Ya Allah, punya suami lumpuh, buruk rupa saja, enggak sudi ke aku. Apalagi yang sampai sempurna?” batin Dita geleng-geleng sendiri.
Hanya dalam hitungan menit, Dita sudah mengubah penampilannya. Namun, Dita tak lantas kembali ke penampilan awalnya yang tak berhijab. Dita tetap menutup kepalanya menggunakan hijab, tapi tak sampai memakai pakaian syari. Selain itu, Dita juga mengganti cadar menggunakan masker.
Walau sangat dongkol kepada sang ibu, Dita tetap pamit. Namun, ibu Darsem tak menggubrisnya. Ibu Darsem yang hanya diam, justru memalingkan wajah menghindari tangan kanan Dita yang siap menyalaminya.
Di tempat berbeda, ibu Azzura dibuat ketar-ketir oleh WA dari Dita yang pamitan kepadanya. Dita juga memfoto berkas-berkas gugatan perceraian dari Langit, dan sudah ditandatangani oleh Dita.
“LANGITTTTTTT!”
Dita : Mohon maaf jika selama mengenal, aku banyak salah, Bu. Cincin nikah segera menyusul saya kirim jika sudah bisa dilepas 🙏🙏🙏🙏🙏
Dita : (Foto jari manis tangan kiri bengkak dan lecet)
Pesan WA terakhir dari Dita yang ibu Azzura dapat merupakan foto jari manis tangan kanan Dita yang terluka karena cincin emas di sana, tidak bisa lepas.
•••
“Kalau dipikir-pikir, hidupku beneran toxic. Ibu dan keluarga toxic, suami pun toxic!” batin Dita yang kemudian jadi ingat, dirinya bisa menghubungi mantan atasannya yang dulu sempat melamarnya, tapi ditolak oleh ibu Darsem.
“Mau enggak mau, aku tetap harus tanggung semua biaya pengobatan ibu. Kalau bukan aku, siapa lagi kan. Aku butuh banyak biaya. Ya sudah lah, sekarang aku kerja sebanyak-banyak ya biar hasilnya juga lebih banyak!” tekad Dita sudah bulat. Meski hati dan pikirannya masih sangat terluka karena kehidupannya yang dikelilingi orang toxic, Dita memutuskan untuk segera bangkit. Ia yang sudah kembali naik angkot, berangsur menegakkan dada maupun punggungnya. “Pak, depan kiri ya!” ucapnya dengan suara gemetaran karena sepanjang perjalanan keluar dari kontrakan tanpa restu sang mama, Dita sibuk menangis. Apalagi ketika ia mengabarkan perceraiannya kepada ibu Azzura lewat WA. Dita tak hanya makin sulit menyudahi air matanya. Sebab hati Dita terasa sangat sakit.