Emily seorang model yang sukses dan terkenal. Namun, kesuksesan itu tidak dia dapatkan dengan gampang dan berjalan mulus. Mimpi buruk terjadi disaat dia menjadi boneka *** pribadi milik presedir di agensi tempat dia bekerja. Mulut terbungkam saat dia ingin berteriak, namun ancaman demi ancaman terlihat jelas di depan matanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yeppeudalee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Semua Itu Nyata
📍Apartement
-Dalam Kamar-
Deringan telepon tiba-tiba memecah keheningan pagi. Emily tersentak dari tidurnya, matanya langsung terbuka lebar. Napasnya masih berat saat ia terduduk, menyibakkan selimut yang melilit tubuhnya.
Tanpa membuang waktu, tangannya meraih ponsel yang tergeletak di meja kecil di samping tempat tidur. Nama Yubin eonnie tertera di layar. Emily mengusap wajahnya, mencoba menghilangkan rasa kantuk, lalu menggeser layar untuk menjawab panggilan.
-In Calling-
“Emily?” suara Yubin terdengar tegas namun sedikit panik di seberang.
“Iya, Yubin eonnie?” jawab Emily dengan suara serak.
“Kamu baru bangun?”
“Iya, eonnie. Ada apa?” Emily duduk lebih tegak, merasa ada yang tidak beres dari nada suara manajernya.
“Kamu harus lihat berita hari ini,” kata Yubin singkat namun penuh tekanan.
Emily terdiam sesaat, kerutan kecil muncul di dahinya. “A-ada apa?” tanyanya, suaranya berubah pelan. Ada rasa takut yang perlahan merayap masuk.
“Lihat aja,” ujar Yubin sebelum memutuskan panggilan tanpa penjelasan lebih lanjut.
Emily menatap layar ponselnya yang kini kembali gelap. Jantungnya mulai berdebar. Ia dengan cepat membuka aplikasi berita seperti yang dikatakan Yubin. Jemarinya bergerak cepat di layar, mencari tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Begitu halaman berita terbuka, matanya langsung terpaku pada sebuah judul yang besar dan mencolok.
"Apa ini..." bisiknya, nyaris tak terdengar.
Emily tahu, ini lebih besar daripada yang ia bayangkan.
Deringan telepon kembali terdengar, memecah keheningan yang menggantung di kamar Emily. Ia tersentak, ponselnya hampir terlepas dari tangan. Masih dalam kondisi terpaku setelah membaca berita, ia buru-buru menjawab panggilan itu, menekan layar dengan tangan gemetar.
-In Calling-
“I-iya, eonnie,” jawab Emily, suaranya bergetar.
“Emily, aku akan menjemputmu jam 9 nanti,” kata Yubin dengan nada tenang namun terdengar sibuk. “Ah! Aku lupa bilang, runway-mu dilanjutkan. Minggu depan kita akan berangkat ke Milan untuk fashion week Y*l.”
Emily terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja dikatakan Yubin. “B-bukannya mereka membatalkan undangan itu?” tanyanya pelan, suaranya dipenuhi rasa tak percaya.
“Tidak jadi. Mereka sudah meminta maaf. Staff mereka menghubungiku pagi ini,” jelas Yubin, nadanya sedikit lega. “Katanya, ada banyak hadiah yang dikirim oleh penggemarmu, juga dari beberapa brand ternama, sebagai tanda permintaan maaf karena sudah menuduhmu melakukan hal menjijikkan itu.”
Emily menggenggam ponselnya lebih erat. Raut wajahnya berubah. Matanya membesar, penuh rasa kaget bercampur haru. Ia menggigit bibirnya, seakan mencoba memastikan bahwa ini bukan mimpi.
“Eonnie, jadi... namaku sudah bersih?” tanyanya dengan suara pelan, hampir seperti berbisik.
“Ya, Emily. Berita yang membersihkan namamu sudah tersebar pagi ini. Semuanya baik-baik saja sekarang,” jawab Yubin.
Emily memandang layar ponselnya yang redup, merasakan matanya mulai berkaca-kaca. Tangan bebasnya menyentuh dadanya, mencoba meredakan debaran jantung yang tak terkendali. Ia menatap ke jendela, melihat cahaya matahari pagi yang mulai menerangi apartemennya.
Kenyataan ini, seolah terlalu baik untuk dipercaya, tapi ia tahu... ini bukan mimpi.
***
“Pagi, Cece,” suara lembut Baby terdengar dari dapur kecil apartemen.
Emily yang baru saja keluar dari kamar mengangguk pelan sambil menyapu rambutnya yang berantakan. “Pagi, Baby.”
Baby menoleh, membawa dua piring berisi sarapan sederhana ke meja makan. “Aku baru lihat berita tentang Cece pagi ini. Ah! Cece baik-baik saja, kan? Sangkin sibuknya dengan belajar, aku bahkan gak tahu apa-apa sampai kemarin.”
Emily menarik kursi dan duduk. Senyumnya tipis, lelah namun tulus. “Aku baik-baik saja, Baby.”
“Syukurlah,” ucap Baby lega. “Aku buatkan sarapan pagi untuk Cece. Ayo, kita nikmati.”
“Hm,” jawab Emily singkat, mengambil sendok dengan gerakan lambat.
***
-Dalam Mobil Van-
Pagi itu terasa aneh bagi Emily. Hidupnya seperti dipermainkan. Kemarin, ia dihujat habis-habisan, menerima caci maki atas sesuatu yang tidak pernah ia lakukan. Tapi pagi ini, semuanya berubah drastis. Orang-orang yang dulu mencacinya kini berlomba-lomba meminta maaf, bahkan mencoba mendekatinya.
Emily duduk di dalam van hitam mewah yang menjemputnya. Matanya menatap kosong ke luar jendela, menyaksikan jalan yang berlalu dengan cepat. Pikirannya penuh dengan kontradiksi.
“Mengerikan...” gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. “Sangat mengerikan ketika uang dan kekuasaan mengalahkan segalanya.”
Yubin, yang duduk di kursi depan, menoleh ke belakang. “Emily, bagaimana dengan van ini? Kamu menyukainya?”
Emily mengalihkan pandangannya dari jendela, menatap Yubin sebentar. “Ini hanya sebuah mobil, eonnie,” jawabnya datar, lalu kembali menatap ke luar.
Yubin tersenyum kecil, mencoba mencairkan suasana. “Ini bukan sembarang mobil. Ini van keluaran terbaru. Kamu satu-satunya model yang menggunakannya. Bahkan artis, aktor, atau idol terkenal belum diberi akses oleh CEO perusahaan.”
Emily menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Suaranya pelan namun dingin. “Apa aku harus mengucapkan terima kasih?” tanyanya sambil tetap memandang ke luar.
Yubin terdiam, bingung harus menjawab apa.
Emily menggenggam tangan di pangkuannya, jemarinya sedikit gemetar. “Yang benar saja... Aku bahkan berada di tahap di mana aku merasa sangat menjijikkan dengan diriku sendiri. Rasanya, aku ingin berkumur sampai mulutku berdarah.” Ia berhenti sejenak, suaranya pecah. “Dan aku berharap ini hanya mimpi buruk.”
Matanya terlihat berkaca-kaca saat ia berbisik, hampir tak terdengar. “Tapi kenyataannya, ini nyata. Dan itu... jauh lebih mengerikan.”
****
📍Rai's House
-Ruang Makan-
“Ini sangat mengejutkan,” ucap Rein sambil menatap layar televisi yang menampilkan berita pagi. “Bagaimana bisa semua ini berubah hanya dalam waktu semalam?”
Reymond duduk dikursi makan, matanya serius memandang layar iPad yang terbuka di depannya. Ia sedang membaca berita yang sama dengan istrinya.
“Dia tidak bersalah. Kebenaran selalu menemukan jalannya sendiri,” ujar Mattheo sambil tersenyum kecil dikursi makan.
Rein mengangguk. “Papa benar. Ah! Lihat ini, saham perusahaan kembali naik dan meningkat pesat,” ucapnya dengan nada lega, mengalihkan pandangannya pada grafik yang terlihat di layar televisi.
Mattheo mengangguk perlahan. “Kamu benar, Rein. Keadaan sudah kembali membaik.”
Rein tersenyum lembut, wajahnya menunjukkan kepuasan. Suasana paginya tampak lebih tenang dibanding hari-hari sebelumnya.
“Hari ini kamu ada kerjaan di luar kota, kan?” tanya Mattheo sambil melirik Reymond.
“Iya, Papa Mertua,” jawab Reymond sopan.
“Menginap?” Mattheo melanjutkan, menyesap kopi dari cangkirnya.
“Sepertinya begitu, Pa,” jawab Reymond sambil mengangguk.
“Kalau begitu, sebaiknya menginap saja. Jangan memaksakan diri pulang larut malam. Pastikan kamu istirahat cukup,” ujar Mattheo dengan nada penuh perhatian.
“Baik, Papa Mertua.”
Mattheo beralih menatap putrinya. “Serein, kalau kamu masih merasa mual, katakan pada Bibi untuk menyiapkan makanan yang kamu inginkan.”
“Iya, Papa,” jawab Rein sambil tersenyum kecil.
Suasana pagi di rumah itu terasa hangat, penuh perhatian seolah hubungan keluarga mereka sempurna. Mattheo tampak seperti sosok ayah yang ideal, memperhatikan setiap kebutuhan anak dan menantunya.
Namun di balik senyumnya yang lembut, tersembunyi sesuatu yang tidak diketahui oleh banyak orang. Pria itu bukan sekadar ayah penyayang—dia adalah iblis dalam balutan perhatian dan kebaikan. Setiap sikapnya adalah topeng, menutupi sifatnya yang menjijikkan, yang hanya diketahui oleh sedikit orang, atau mungkin, belum diketahui sama sekali.
Mattheo menyesap kopi lagi, senyumnya masih tergambar di wajahnya, tetapi pikirannya sedang bermain di tempat lain.
***
📍Mvvo Entertainment
Emily berdiri di luar gedung Mvvo Entertainment, matanya tertuju pada Reymond yang sedang berjalan menuju pintu masuk. Sejenak, dia terhenti di tempatnya, gelisah. "Pak Reymond? Apa sebaiknya aku bicara dengannya?" pikirnya dalam hati, menatap lelaki itu dari kejauhan.
Reymond Deonart Lee, seorang pengacara berusia 30 tahun, juga berperan sebagai pengacara pribadi di perusahaan yang dimiliki oleh Mattheo, ayah mertuanya. Jarak usia yang cukup jauh antara Reymond dan Serein, istrinya, menjelaskan sedikit banyak tentang perbedaan usia mereka yang mencolok.
“Emily, ayo masuk,” suara Yubin memecah lamunan Emily.
“Iya, eonnie,” jawab Emily, masih tampak ragu.
Dia melangkah maju, memasuki gedung perusahaan itu, namun langkahnya terhenti di depan pintu masuk. Emily menatap kosong ke arah koridor di dalam, merasakan kekhawatiran merayap dalam dirinya.
“Ini mimpi, kan?” gumamnya, berusaha meyakinkan dirinya sendiri. “Hhh…”
••••
Di ruang latihan, Emily duduk bersama Yubin, masih memikirkan langkah yang akan diambilnya.
"Eonnie?" panggil Emily ragu.
"Hm?" jawab Yubin tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya.
"Aku… ingin bicara sesuatu dengan Pak Reymond," ucap Emily, suaranya terputus-putus karena kegelisahan.
"Kalau itu hal yang random, sebaiknya tidak usah," kata Yubin tanpa menoleh.
"Kenapa?" Emily merasa bingung, tidak mengerti alasan Yubin.
"Dia nggak akan menggubrisnya, Emily. Sikapnya itu… dingin untuk siapapun. Bahkan kalau hanya untuk bicara hal sepele sekalipun," jawab Yubin, menatap Emily sekilas.
Emily terdiam, merenung sejenak. "Aku sudah lama di sini, dan aku sudah lama melihatnya. Tapi aku nggak pernah bicara dengannya."
Yubin menghela napas pelan. “Itu karena dia cenderung hanya melibatkan orang-orang tertentu dalam percakapan. Jadi, kalau kamu mau bicara dengannya, ya harus punya alasan yang serius.”
"Kalau begitu, apa aku harus punya pertanyaan serius agar dia mau bicara denganku?" tanya Emily, terdengar putus asa.
"Yap! Pembicaraan serius. Emangnya, kamu mau ngomong apa sama Pak Reymond? Kenapa tiba-tiba?" Yubin menatap Emily dengan tatapan tajam.
Emily terdiam. Di dalam hati, dia bertanya-tanya. Mana mungkin aku mengatakan semua yang terjadi dengan Yubin eonnie? Semuanya nggak akan percaya dengan apa yang aku katakan. Aku nggak punya bukti. Kalau aku mengatakan semuanya, karirku bisa hancur berantakan.
"Emily?" Yubin memanggil dengan suara lembut.
"Huh?" Emily terperanjat, kembali tersadar dari lamunannya.
"Dari tadi kamu melamun terus."
"Enggak kok," jawab Emily cepat, berusaha tersenyum.
“Ayo, kita siap-siap. Banyak sekali jadwalmu. Sangat padat. Aku bahkan harus menulis ulang jadwalmu, Emily,” kata Yubin dengan nada cekatan.
“Iya, eonnie,” jawab Emily, meski hatinya masih penuh keraguan.