NovelToon NovelToon
TARGET OPERASI

TARGET OPERASI

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Mata-mata/Agen / Keluarga / Persahabatan / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: Seraphine E

Arga, lulusan baru akademi kepolisian, penuh semangat untuk membela kebenaran dan memberantas kejahatan. Namun, idealismenya langsung diuji ketika ia mendapati dunia kepolisian tak sebersih bayangannya. Mulai dari senior yang lihai menerima amplop tebal hingga kasus besar yang ditutupi dengan trik licik, Arga mulai mempertanyakan: apakah dia berada di sisi yang benar?

Dalam sebuah penyelidikan kasus pembunuhan yang melibatkan anak pejabat, Arga memergoki skandal besar yang membuatnya muak. Apalagi saat senior yang dia hormati dituduh menerima suap, dan dipecat, dan Arga ditugaskan sebagai polisi lalu lintas, karena kesalahan berkelahi dengan atasannya.
Beruntung, dia bertemu dua sekutu tak terduga: Bagong, mantan preman yang kini bertobat, dan Manda, mantan reporter kriminal yang tajam lidahnya tapi tulus hatinya. Bersama mereka, Arga melawan korupsi, membongkar kejahatan, dan... mencoba tetap hidup sambil menghadapi deretan ancaman dari para "bos besar".

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 15 : Justice for Jessica

Suasana mencekam di sekitar apartemen Jessica masih terasa. Polisi bergerak cepat, berlarian seperti semut yang kehilangan induknya. Beberapa dari mereka langsung menuju ke arah jendela, mendapati Ivan yang baru saja melompat dari lantai tiga, jatuh dengan suara berderak yang mengerikan. Tapi keberuntungan masih menyertai Ivan, karena tubuhnya berhasil mendarat di mobil box yang terparkir di bawah—mobil penuh springbed yang tampaknya sedang siap-siap dipindahkan. Meskipun tubuhnya terasa seperti dihantam truk, setidaknya dia masih hidup.

"S**t!" Ivan menggerutu sambil mencoba berdiri, wajahnya kesakitan. Sebelum dia sempat mengatur napas, polisi sudah mengepungnya. "Tahan dia!" teriak salah satu polisi.

Di sisi lain, Arga, yang berlari kencang bersama Rini, baru saja sampai dan langsung melihat apa yang terjadi. Tapi bukan rasa lega yang Arga rasakan, melainkan amarah yang membuncah dalam dirinya, melihat Ivan yang hampir saja berhasil lolos dari kejaran hukum.

"Dasar brengsek!" teriak Arga sambil berlari mendekat. Tanpa pikir panjang, dia menghampiri Ivan yang kini sudah dalam cengkraman polisi, dan dengan cepat melayangkan pukulan keras ke wajah Ivan. "Lo pikir gue takut sama lo? Sini maju, kalau berani" Arga marah, darahnya mendidih. "Udah ngebu--nuh Jessica, terus masih mau kabur lagi?! Pengecut lo, bang--sat!!!"

Ivan hanya bisa mengerang kesakitan, tapi tidak ada simpati di mata Arga. Rini yang ada di belakangnya segera berlari mendekat. "Arga! Jangan!" teriaknya, namun sudah terlambat. Pukulan kedua hampir saja meluncur lagi, kalau saja Dedi, Rahmat, dan beberapa polisi lainnya tidak segera menahan Arga dengan keras.

"Udah, bro, udah!" teriak Dedi, menarik Arga ke belakang. "Gue ngerti lo marah, tapi kalau lo ngelakuin itu, lo bakal kena masalah besar. Tenang!"

Arga menjerit, melepaskan diri dari cengkraman Dedi. "Gue nggak bisa tenang, Bang Dedi! Lo nggak ngerti, Jessica mati gara-gara anak sialan ini!" Arga berteriak, nafasnya berat. "Gue harus... gue harus..." Tapi dia terhenti. Dadanya terasa sesak, dan kata-kata itu seolah terhenti di tenggorokannya.

Gunawan menatap Arga dengan serius, lalu memberi tamparan keras di wajahnya. "Cukup, Arga," katanya, suara tegas tapi penuh keprihatinan. "Kamu nggak bisa begitu. Kamu nggak bisa jadi seperti mereka. Ingat, kamu ini adalah polisi bukan preman, bukan penjahat. Kamu masih punya akal sehat, kan?"

Arga terdiam sejenak, memegang pipinya yang terasa panas akibat tamparan itu. Matanya yang penuh amarah mulai sedikit mereda, tapi masih ada rasa sesak di dadanya. "Aku cuma nggak ngerti, Pak Gunawan. Kenapa orang-orang seperti dia bisa bebas? Kenapa Jessica harus mati?"

Gunawan menghela napas panjang, matanya lembut. "Karena dunia ini nggak selalu adil, Arga. Tapi kamu nggak bisa balas dendam dengan cara itu. Kita harus bekerja untuk keadilan, bukan mengikuti amarah."

Setelah Ivan digiring ke mobil polisi, Gunawan menoleh, memberi isyarat kepada anak buahnya untuk segera membawa Ivan ke kantor untuk diproses lebih lanjut. Namun, sebelum sempat melangkah, Arga yang masih memendam amarah mendekati Ivan, yang kini tampak tergeletak di dalam mobil polisi, mulutnya terkunci rapat, namun matanya tetap menunjukkan sikap menantang.

"Jangan pikir lo bakal bebas begitu aja, Ivan," kata Arga, suaranya bergetar karena emosi. "Kalau lo bebas, gue yang bakalan cari lo sampai dapat. Selamanya."

Ivan yang terkulai di kursi belakang mobil polisi mendongak sedikit, memandang Arga dengan tatapan penuh ejekan. Tawa sinis keluar dari bibirnya, membuat darah Arga mendidih. "Coba aja, kalau lo bisa. Gue nggak bersalah, dan Jessica mati gara-gara dia sendiri, gue nggak lakuin apa-apa" ejek Ivan, seperti seorang raja yang merasa tak terkalahkan, bahkan meskipun dia baru saja ditangkap.

Arga ingin sekali menerobos masuk ke mobil itu dan menindaklanjuti ancamannya, namun Rini dan Gunawan sudah berdiri di dekatnya, menahan agar tidak terjadi sesuatu yang lebih buruk. Gunawan hanya memberikan Arga satu tatapan tajam, seolah memberi peringatan bahwa situasi ini belum selesai.

Setelah beberapa saat, Ivan dibawa pergi, dan Arga hanya bisa memandang kepergiannya dengan rasa kesal yang masih bergemuruh dalam dadanya. Namun, tak lama setelah itu, situasi sedikit berubah ketika seorang petugas koroner mendekat.

Dengan langkah terburu-buru, petugas itu menyerahkan sebuah boneka kecil yang terlihat usang, dan sebuah handphone lipat merek Samsung yang tampak biasa saja. "Mungkin ada sesuatu di dalamnya," kata petugas itu, sambil memperlihatkan kedua benda tersebut dengan ekspresi serius. "Kita temukan ini di lokasi kejadian, mungkin bisa memberikan petunjuk lebih lanjut. Aku akan membawa ini ke lab forensik untuk dilakukan analisis lebih lanjut"

Gunawan mengambil benda-benda itu dengan hati-hati, matanya fokus. Boneka kecil itu tampak tak berarti, namun ada sesuatu yang aneh. Boneka itu terlihat seperti hadiah yang sudah lama dimiliki, mungkin memiliki makna lebih bagi Jessica. Handphone lipat Samsung, di sisi lain, tampaknya lebih penting.

...****************...

Rosa tiba di apartemen Jessica dengan napas yang terengah-engah, matanya penuh kecemasan. Begitu dia melihat kerumunan polisi dan ambulans di depan gedung, tubuhnya seolah kehilangan tenaga. Dia berjalan terburu-buru, berharap, meski hatinya sudah mulai merasakan firasat buruk.

Namun, ketika dia sampai di depan pintu unit Jessica, pandangannya langsung tertuju pada tubuh Jessica yang telah terbungkus kain putih. Rosa terkejut, hingga hampir terjatuh. Untung saja seorang polwan yang melihatnya langsung sigap menahan tubuhnya agar tidak ambruk.

"Jessica...!" teriak Rosa, suaranya tercekat, seolah terhisap oleh rasa sakit yang luar biasa.

Rosa mendorong polwan itu dengan keras, membiarkan tubuhnya jatuh terduduk di lantai. "Kenapa kalian membiarkannya? Kenapa Ivan dibebaskan?! Kalian—kalian juga pembunuh! Kalian membunuh Jessica" teriaknya dengan amarah yang membuncah. Matanya berkaca-kaca, wajahnya merah padam karena marah dan kecewa.

Polwan yang menahannya hanya bisa terdiam, sementara rekan-rekannya yang sedang sibuk mengamankan TKP hanya memperhatikan tanpa bisa berbuat banyak. Beberapa polisi tampak bingung, sementara yang lain menghindari tatapan Rosa. Tentu saja, mereka tahu alasan di balik kemarahan wanita itu.

Rosa tak bisa menahan tangisnya. Setiap tetes air mata yang jatuh semakin menambah beban yang terasa begitu berat. "Dia tidak pantas mati seperti ini! Kalian seharusnya melindunginya!" katanya, suaranya semakin pecah.

Beberapa detik kemudian, Gunawan datang mendekat, melihat kekacauan yang terjadi. Dia tahu bagaimana perasaan Rosa, tapi juga tahu betapa pentingnya untuk tetap tenang. "Rosa," suara Gunawan terdengar lembut, tapi tetap tegas, "Ivan akan mendapat hukumannya. Kita akan pastikan itu."

Rosa menatap Gunawan dengan penuh kebencian. "Hukumannya? Kalau kalian bisa membuatnya dihukum, kenapa dia bisa bebas begitu saja?" katanya, nada suaranya penuh keputusasaan.

Gunawan tak bisa menjawab itu dengan mudah. Semua orang yang ada di sana tahu betapa rumitnya situasi ini. Namun, dia tetap berusaha menenangkan Rosa, berharap wanita itu sedikit tenang agar bisa menerima kenyataan yang pahit.

"Percayalah, kami akan menangani ini. Jessica akan mendapatkan keadilannya" jawab Gunawan dengan suara pelan. Tapi Rosa tak bisa lagi mendengar itu. Kepercayaan pada sistem hukum yang seharusnya melindungi dirinya, hancur bersama dengan kematian Jessica.

...****************...

Rosa berdiri dengan tubuh yang terhuyung, matanya masih sembab, tapi amarahnya semakin membara. Wajahnya merah padam, seolah seluruh dunia menindih dirinya. "Keadilan?" ia berkata dengan nada menghina yang tajam, matanya menatap satu per satu polisi yang ada di sana. "Apa itu keadilan? Ke mana keadilan itu ketika pelaku dibebaskan hanya karena orang tuanya pejabat? Apakah kalian juga ikut membungkusnya dengan uang, sama seperti orang-orang lain yang terlibat?"

Dia tertawa getir, suaranya serak penuh amarah. "Kalian semua sama saja. Polisi, budak uang! Hanya karena Ivan anak orang penting, kalian membebaskannya begitu saja. Kalian tidak peduli dengan keadilan, kalian hanya peduli pada siapa yang memiliki kekuasaan dan uang!"

Rosa melangkah maju, mendekati Gunawan, tatapannya penuh kebencian. "Jangan bicara tentang keadilan, kalau kalian hanya melayani kekuasaan! Jessica mati karena kekuasaan itu! Dia tidak punya siapa-siapa selain dirinya sendiri, dan kalian semua... kalian semua membiarkannya mati begitu saja!"

Gunawan hanya diam, menahan semua ucapan itu seperti batu yang terhimpit di dadanya. Tidak ada pembelaan yang bisa ia ucapkan, karena pada kenyataannya, kata-kata Rosa benar. Semua yang terjadi adalah bukti nyata dari kekuatan uang dan pengaruh politik yang menggerakkan roda hukum. Gunawan tahu bahwa kata-kata itu menyakitkan, namun ia juga tahu, saat ini tidak ada yang bisa mengubah kenyataan pahit tersebut.

Rosa melanjutkan, air matanya kini bercampur dengan kebencian yang semakin dalam. "Jangan harap saya akan diam. Kalau kalian semua tidak bisa memberi keadilan, saya yang akan mengusungnya! Untuk Jessica, dan untuk mereka yang tak punya suara!"

Beberapa polisi di sekitar mereka hanya bisa terdiam, mereka tahu bahwa Rosa, dalam amarahnya, benar. Tidak ada alasan yang bisa membenarkan apa yang terjadi pada Jessica, dan meskipun mereka berusaha menjalankan tugas mereka, mereka tidak bisa menutupi kenyataan bahwa ada ketidakadilan yang sangat jelas di depan mata mereka.

Gunawan akhirnya menghela napas, menatap Rosa dengan tatapan penuh penyesalan, namun juga penuh tekad. "Saya mengerti rasa sakitmu, Rosa," katanya pelan. "Dan saya janji, kami tidak akan membiarkan ini berlalu begitu saja. Kami akan cari jalan, entah bagaimana pun itu."

Tapi Rosa sudah terlalu terluka untuk bisa mempercayai kata-kata itu. Dengan satu gerakan kasar, dia berpaling dan berjalan menjauh, membiarkan kesunyian yang berat menyelimuti suasana.

...****************...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!