🔥Bocil dilarang mampir, dosa tanggung masing-masing 🔥
———
"Mendesah, Ruka!"
"El, lo gila! berhenti!!!" Ruka mendorong El yang menindihnya.
"lo istri gue, apa gue gak boleh pakek lo?"
"El.... kita gak sedekat ini, minggir!" Ruka mendorong tubuh El menjauh, namun kekuatan gadis itu tak bisa menandingi kekuatan El.
"MINGGIR ATAU GUE BUNUH LO!"
———
El Zio dan Haruka, dua manusia dengan dua kepribadian yang sangat bertolak belakang terpaksa diikat dalam sebuah janji suci pernikahan.
Rumah tangga keduanya sangat jauh dari kata harmonis, bahkan Ruka tidak mau disentuh oleh suaminya yang merupakan Badboy dan ketua geng motor di sekolahnya. Sementara Ruka yang menjabat sebagai ketua Osis harus menjaga nama baiknya dan merahasiakan pernikahan yang lebih mirip dengan neraka itu.
Akankah pernikahan El dan Ruka baik-baik saja, atau malah berakhir di pengadilan agama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nunna Zhy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
"Pantes bau-bau percintaan kuat banget! Lo bukannya mandi junub dulu malah ngacir kesini." ledek Rico sambil menghisap rokok di tangannya.
El menyambar gelas minuman lagi, "gue pusing, Ruka pasti marah banget!" ujarnya lalu menenggak minuman di tangannya hingga tandas.
"Lagian lo keburu nepsong sih, jatohnya lo perkaos bini lo sendiri."
"Gue beneran gelap mata... Gara-gara Diego!" El mengacak rambutnya frustasi.
Rico mengerutkan kening, mengembuskan asap rokoknya pelan sambil memandang El dengan tatapan tajam. "Diego? Ya, harusnya Ruka nikah sama tu cowok aja, tu anak keliatan baik."
"BANGSAT!" El memukul kepala Rico.
Rico tertawa terbahak-bahak, meskipun kepalanya masih terasa sedikit sakit akibat pukulan El. "Santai, bro! Gue cuma bercanda. Tapi serius deh, lo makin nggak waras gara-gara cemburu sama Diego. Lagian kalau suka, kenapa gak ungkapin aja?"
El mendengus kasar, "Lo nggak ngerti sih, Ruka cuma anggep pernikahan ini hanya kontrak. Dia selalu ingetin gue untuk gak jatuh cinta sama dia. Gimana gue bisa confess?"
"Terus lo pikir tindakan lo tadi itu solusi?" Rico menyandarkan tubuhnya ke sofa, rokok di tangannya tinggal separuh. "Lo malah bikin semua kelihatan lebih buruk, El. Kalau gue jadi Ruka, gue juga bakal marah besar." Dia mematikan rokoknya di asbak, lalu menatap El serius. "Dengerin gue. Lo udah bikin kesalahan besar, dan lo nggak bisa nyalahin Diego doang. Mau gimana pun, lo harus minta maaf sama Ruka. Ngerti?"
"Gue tahu, Ric. Tapi kalau dia gak mau maafin gue gimana..."
"Kalau lo beneran cinta sama dia, lo harus berani ngadepin semuanya. Bikin dia lihat perjuangan lo. Kalau nggak, ya lo cuma pengecut yang lari dari tanggung jawab."
El terdiam memikirkan solusi yang Rico berikan, "Tapi, gimana caranya?"
"Ganteng doang, tapi soal cewek dongo!"
"Anjing lo!"
***
Ruka menarik napas dalam-dalam, menggenggam gagang koper dengan tangan gemetar. Udara malam yang dingin menusuk kulitnya, tapi ia tak peduli. Malam ini, ia harus pergi. Tak ada lagi alasan untuk bertahan di rumah itu—rumah yang seharusnya menjadi tempat ia merasa aman, tapi malah menjadi penjara penuh luka.
Langkahnya mantap melewati pintu depan, koper besar itu berdecit halus saat rodanya menyentuh permukaan jalanan. Mata Ruka menatap lurus ke depan, meski hatinya penuh keraguan. "Nggak apa-apa, Ruka." ia berkata pada dirinya sendiri. "Yang penting gue keluar dulu dari tempat ini."
Rumah El semakin jauh di belakangnya, tapi rasa sakit yang melekat pada tempat itu masih menghantui pikirannya. Ruka tidak tahu akan ke mana. Tempat yang bisa disebut rumah sudah tak ada lagi. Ayahnya hilang entah ke mana, rumah masa kecilnya terkunci rapat, dan teman-temannya mungkin tak bisa benar-benar memahami apa yang dia alami. Namun, satu hal yang ia yakini malam ini: bertahan di sisi El hanya akan menghancurkan dirinya lebih jauh.
Saat langkahnya mulai melemah, ia berhenti di bawah lampu jalan yang redup, membiarkan angin malam menerpa wajahnya. Telepon genggamnya gemetar di tangannya. "Siapa yang bisa gue hubungi?" pikirnya.
Pilihan yang tersisa tampak suram, tetapi Ruka tahu dia tak bisa kembali. Dengan napas panjang, dia mengetik pesan singkat kepada satu-satunya orang yang mungkin masih peduli. "Han, gue butuh bantuan lo."
Sambil menunggu balasan, Ruka menatap langit malam. Gelap, tanpa bintang, tapi entah bagaimana ia merasa lebih lega. Setidaknya, malam ini ia membuat keputusan untuk dirinya sendiri.
***
Hana memeluk Ruka erat, mengusap-usap punggungnya dengan lembut. Isak tangis Ruka masih terdengar, terputus-putus oleh napas yang berat. Hana menatap sahabatnya itu dengan perasaan campur aduk—marah, sedih, tapi juga penuh tekad untuk melindungi Ruka.
"Lo nggak sendiri, Ruka," bisik Hana, suaranya penuh kehangatan. "Lo bisa tinggal sama gue disini, ibu gue pasti izinin kok."
Ruka mengangguk pelan, meskipun air mata masih mengalir deras di pipinya. "Makasih, Han... Gue nggak tahu kalau gak ada lo, gimana nasib gue?"
Hana menggeleng tegas. "Lo punya gue. Gue gak akan biarin lo tidur di kolong jembatan. Nanti gue minta bokap gue untuk nyari bokap lo, hm?"
Pelukan mereka semakin erat. Di tengah segala kekacauan yang melingkupi hidupnya, untuk pertama kalinya Ruka merasa sedikit lega. Ada seseorang yang mau menerima dan mendukungnya tanpa syarat.
"Makasih, Hana."
Hana tersenyum kecil, meskipun matanya ikut berkaca-kaca. "Gue sahabat lo, Ruka. Itu udah jadi kewajiban gue."
***
Pagi itu, Ruka berdiri tegak di gerbang sekolah dengan tatapan tajam. Seragamnya rapi, almamater kebesaran OSIS menjadi tanda otoritas. Ia menyilangkan tangan di dada, memperhatikan setiap siswa yang terlambat memasuki area sekolah. Angin pagi membawa aroma debu jalanan, tapi Ruka tak terganggu. Dia terlalu fokus dengan misi balas dendamnya pagi ini. Targetnya El!
Deru mesin motor yang meraung di kejauhan membuatnya menoleh. Serombongan anak-anak Speed Demon datang terlambat seperti biasa, memarkir motor mereka dengan santai di depan gerbang. Di antara mereka, sosok El terlihat mencolok—jaket kulit yang setengah terbuka memperlihatkan seragam yang dipakai asal-asalan. Wajahnya yang penuh percaya diri semakin membuat darah Ruka mendidih.
Mata Ruka menyipit, penuh dendam yang tertahan. Tanpa basa-basi Ruka melangkah maju, berdiri tepat di depannya dengan tatapan yang tak bisa diabaikan.
“Turun lo!” suara Ruka memecah kesunyian pagi. Perintahnya tegas, tak ada ruang untuk penolakan.
El berhenti, melirik Ruka sekilas, ada kelegaan dalam dirinya saat melihat istrinya disana. Semalaman penuh El mencari keberadaannya yang kabur entah kemana.
Senyum kelegaan berganti dengan senyum tengil khas El yang menyebalkan. Dia melepas helmnya dengan santai, lalu mengacak-acak rambutnya. “Santai, Ketua OSIS. Baru telat beberapa menit aja udah ngamuk?” katanya dengan nada bercanda, namun matanya menatap Ruka dengan sedikit provokasi. "Semalaman gue nyari cewek gue yang kabur, jadi telat deh. Tapi gapapa, ternyata dia baik-baik saja." bisiknya.
Ruka berdecih, “Gue bilang, turun.” titahnya, kali ini lebih dingin.
Anak-anak Speed Demon yang lain mulai terkekeh pelan, tapi El hanya mengangkat bahu sebelum benar-benar turun dari motornya. Langkahnya santai, seperti tidak ada yang salah. Dia menatap Ruka dari atas ke bawah, lalu menyeringai kecil. "Lain kali bilang kalau kabur." bisik El.
Mendengar itu, rahang Ruka mengeras. Semua kenangan pahit tentang El yang masih menghantui pikirannya kembaLi menguar. Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha mengontrol dirinya. “Lo pikir gue bercanda, El?”
El mengangkat tangan, seolah menyerah. “Oke, oke. Gue salah. Tapi kalau gue minta maaf, lo bakal lepaskan gue, kan?” ucapnya, yang sengaja dibuat lebih santai.
Ruka melangkah lebih dekat, jarak mereka kini hanya beberapa sentimeter. “Dengar, gue nggak peduli alasan lo. Selama gue ketua OSIS di sini, lo ikut aturan gue. Ngerti?” ucapnya dingin, suaranya serak karena menahan amarah.
El hanya tertawa kecil, meskipun dalam hatinya dia tahu bahwa Ruka sedang tidak main-main.
“Ngerti, Ketos galak. Gue ikut aturan lo."
"Bagus, ikut gue!"
"Kemana?"
"Gak usah banyak nanya, ikut gue sekarang!"
Ruka membawa para siswa bandel itu ke belakang sekolah, "kalian lihat halaman ini? Hukuman kalian bersihkan, baik itu dari sampah, maupun rumput liar!"
"Hah??" El mengangkat alis, menatap halaman belakang sekolah yang luas dengan ekspresi kaget bercampur malas. Beberapa anak Speed Demon mulai menggerutu pelan, tetapi tatapan tajam Ruka membuat mereka enggan protes lebih lanjut. Tanah berumput liar dan beberapa tumpukan sampah yang berserakan di sudut-sudut halaman tampak seperti pekerjaan berat yang tidak mungkin selesai dalam waktu singkat.
“Lo serius?” El akhirnya angkat bicara, “Lo kira kita tukang kebun?"
Ruka melipat tangan di depan dada, matanya memicing penuh ketegasan. “Nggak ada pilihan lain. Lo dan geng lo bikin aturan sendiri? Gue bikin hukuman sesuai mood gue.”
Salah satu anak Speed Demon, Damar, mengeluh sambil menendang kerikil kecil di dekat kakinya. “Gila, Ketos kejam banget sih? Ngelap papan tulis aja gue ogah, apalagi yang begini.”
Ruka menoleh tajam ke arah Damar. “Kejam?” ia mendekat, berdiri tepat di depannya. "Toilet itu juga butuh dibersihkan, sepertinya lo cocok buat bersihin toilet."
"Ampun..." Damar menunduk, tak berani membalas lagi. Bisa turun harga dirinya jika dia membersihkan toilet yang jorok itu.
“Gue nggak peduli mau kalian anggap gue galak atau apa, yang penting halaman ini bersih. Kalian ngerti?” suara Ruka semakin dingin.
El melipat tangan dengan ekspresi setengah malas. Dia tahu Ruka serius, tapi gengsinya terlalu besar untuk menyerah begitu saja. “Oke, oke. Gue ngerti. Tapi gimana kalau lo kasih kita sapu atau alat buat bersihin? Apa lo mau gue cabutin rumput pake tangan kosong?” tanyanya, suaranya penuh sindiran.
Ruka mendekat, berdiri di depan El dengan tatapan dingin. “Kalau lo keberatan, gue bisa tambah tugas lain buat lo. Mau?"
El tertawa kecil, lalu mengangkat tangan seolah menyerah. “Fine, Bu Ketos. Gue nurut."
Ruka memutar matanya, merasa terganggu dengan nada sinis El. Namun, dia memilih untuk tidak terpancing. "Bagus. Kalau gitu, mulai sekarang, semua tangan kalian harus kerja. Gue nggak mau lihat ada yang cuma berdiri atau pura-pura capek."
Anggota Speed Demon lainnya mulai bergumam dengan nada keberatan, meski tak ada yang berani melawan secara langsung. Salah satu dari mereka, Damar, menggaruk belakang kepalanya sambil menatap rerumputan liar di tanah. "Ini gila. Kita benar-benar disuruh jadi tukang kebun? Serius, El?"
Rico menoleh santai ke arah Damar, bahunya diangkat sedikit. "Lo denger sendiri kan? Bu Ketos dan Ketum udah ngomong. Daripada lo ngomel, mending lo mulai cabut rumput."
"Aelah.... Turun deh pamor gue..." keluh Damar, sambil berjongkok mencabuti rumput-rumput liar.
"Ini baru permulaan El, lo nantikan saja pembalasan gue!" gumam Ruka dalam hati.
Bersambung...