Hidup Nicho Javariel benar-benar berubah dalam sekejap. Ketenaran dan kekayaan yang dia dapatkan selama berkarir lenyap seketika akibat kecanduan obat-obatan terlarang. Satu per satu orang terdekatnya langsung berpaling darinya. Bukannya bertobat selepas dari rehabilitas, dia malah kecanduan berjudi hingga uangnya habis tak tersisa. Dia yang dulunya tinggal Apartemen mewah, kini terpaksa tinggal di rumah susun lengkap dengan segala problematika bertetangga. Di rumah susun itu juga, ia mencoba menarik perhatian dari seorang perempuan tanpa garis senyum yang pernah menjadi butler-nya. Dapatkah ia menemukan tempat pulang yang tepat?
"Naklukin kamu itu bangganya kek abis jinakin bom."
Novel dengan alur santai, penuh komedi sehari-hari yang bakal bikin ketawa-ketawa gak jelas
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yu aotian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Pasalnya, seseorang yang baru saja masuk lift itu adalah mantan kekasihnya. Melihat Nicho, lantas perempuan bernama Chacha itu langsung menegur sapa.
"Nic, ngapain kamu di sini?"
"Lo sendiri ngapain ada di sini pagi-pagi!" ketusnya sambil tetap bersandar di pojok lift dalam posisi bersedekap.
"Pacar aku tinggal di sini," jawabnya dengan malu-malu sambil memperbaiki rambutnya yang sedikit berantakan, "kalo kamu? Jangan bilang ... kamu juga bakal pindah ke sini!"
"Gak jadi!" jawabnya cepat, "apartemennya jelek, sama kayak para penghuninya."
"Emang kamu juga masih sanggup gitu bayar sewa apartemen sekelas ini? Kamu belum dapat job apa pun, kan?" sindir Chacha, "Kamu masih aja jadi orang yang maksain diri."
Perempuan itu menggeleng kepala dengan gerakan lambat. Sebagai orang yang pernah menjalin hubungan dengannya, tentu ia sangat tahu karakter pria itu.
"Oh, iya, kemarin aku ketemu sama mama kamu. Dia nanyain kamu, tuh! Dia suruh aku paksa kamu ke pesta ulang tahun adik tiri kamu hari ini. Tapi aku lupa di hotel mana gitu. Mungkin mama kamu pikir kita masih pacaran," imbuh perempuan itu lagi.
Nicho memilih bergeming. Tak merespon apa pun.
Chaca lalu kembali berkata, "Kamu kan baru aja abis rehab, apa gak sebaiknya pulang ke rumah orangtua kamu?" Perempuan itu mendekat sembari meletakkan tangannya di lengan Nicho sambil berkata, "Kalo kamu mau berubah dan bersedia jadi anak manis nyokap kamu, kan kamu jadi gak perlu luntang-lantung kek gini. Mungkin aku juga bisa pertimbangkan buat balikan sama kamu."
Nicho menoleh pelan, menurunkan sedikit kacamata hitamnya sambil berkata, "Balikan? Sorry, prinsip gua sejak awal: sesuatu yang dah lo buang gak segampang itu buat lo pungut kembali!"
Tepat saat terdengar suara denting lift yang terbuka, Nicho langsung menepis tangan mantan kekasihnya itu lalu bergegas keluar.
**
Sepulangnya dari apartemen itu, Nicho kembali ke hotel dengan membawa suasana hati yang buruk. Baru saja tiba di lobi, ia berjalan terburu-buru menuju arah lift seolah tak sabar untuk kembali ke kamarnya.
"Nicho ...." Suara panggilan dari seseorang mendadak membuat langkahnya terhenti.
Dia berbalik dengan pelan. Di saat yang sama, manik matanya melebar ketika melihat sosok perempuan paruh baya yang baru saja memanggilnya. Untuk sesaat, keduanya tampak saling melempar pandangan, sebelum akhirnya wanita dengan penampilan elegan itu berjalan pelan ke arahnya.
"Gimana kabar kamu sekarang? Kamu dah ganti nomor, ya? Mama hubungi kok gak masuk-masuk," ucap wanita itu sambil memerhatikan tubuh Nicho dengan saksama. Ia lalu memegang tangan Nicho sambil berkata, "Kamu jadi lebih kurusan sekarang. Mama mohon sama kamu, gak papa kalo kamu pengen hidup bebas, tapi jangan lagi pake narkoba! Itu cuma merusak diri kamu sendiri."
Satu menit terlewati membuat Nicho tampak seperti patung. Ia masih tak mengeluarkan sepatah kata pun.
"Kamu nginap di hotel ini? Kebetulan adik kamu malam ini adain pesta ulang tahunnya di sini. Kalo kamu punya waktu, sempatkan hadir untuk menyapa ayah dan adikmu, mereka kangen sama kamu. Jangan lupa kasih ucapan selamat ulang tahun sama adikmu."
"Aku sibuk. Gak ada waktu!" tandas Nicho sambil bergegas pergi meninggalkan wanita yang ternyata adalah ibu kandungnya.
Dua jam kemudian, Sera berjalan menuju area kolam renang. Dari jauh, ia mendapati Nicho tengah bersandar di sisi kolam dengan tubuh yang terendam air.
"Anda sudah dua jam berada di sini. Tolong beri kesempatan pengunjung lain untuk memakai fasilitas ini."
Nicho menoleh lambat ke arah Sera yang berdiri selangkah darinya. "Mana minuman yang gue minta?"
"Maaf, Anda boleh minta minuman apa saja, kecuali alkohol."
"Hah?" Nicho menaikkan sebelah alisnya. "Apa itu aturan hotel?"
"Tidak, ini aturan yang saya buat untuk Anda."
Kali ini mata Nicho menyipit sebelah. lengkungan asimetris pun terbit di bibirnya.
"Alkohol bukan pelarian terhadap setiap masalah. Jika Anda butuh teman untuk berkeluh kesah, saya siap mendengarkan."
Nicho kembali meluruskan pandangan. Sepuluh menit berlalu tanpa ada suara di antara mereka. Pria itu masih tak mengeluarkan sepatah kata. Hanya terdengar suara helaan napas berat. Ujung-ujung jarinya telah mengerut karena terlalu lama berendam di air. Sebaliknya, Sera masih setia berdiri di belakang untuk menemani pria itu.
"Kenapa seorang ibu harus menikah lagi dan melahirkan anak dari suami barunya?" Nicho berucap tiba-tiba sambil tersenyum kecut.
Sera lantas menatapnya dari arah belakang. "Apakah seorang ibu tidak boleh egois untuk dirinya sendiri? Apa cuma pria yang boleh melanjutkan hidup setelah bercerai atau ditinggal mati pasangannya?"
Nicho tertawa hampa sembari membuang pandangan ke sembarang arah. "Setidaknya kalo pengen bersikap egois, dia gak hatus mengabaikan anak pertamanya begitu lama, hanya untuk mengabdi ke keluarga barunya."
Sera tertegun sejenak dengan pandangan yang masih tertuju pada pria itu.
"Selama ini ... gua senang jadi pusat perhatian orang-orang, karena gua benci diabaikan. Gak peduli yang mereka bicarakan itu tentang keburukan atau kekurangan gua, selama mereka masih ingat gua, itu cukup melegakan." Kekehan kecil terdengar keluar dari mulut Nicho.
"Apa pun yang telah Anda lalui selama ini, Anda sudah sangat hebat. Setidaknya Anda berhasil menjalani persoalan hidup sampai detik ini."
Nicho kembali menoleh ke arahnya. "Apa itu pujian? Atau hiburan?"
"Afirmasi positif," jawabnya singkat. Sera tampaknya tahu, orang yang curhat sebenarnya tidak butuh nasihat atau saran apa pun, melainkan hanya butuh didengarkan dan dikuatkan.
Sorot mata Nicho yang rapuh kembali berlabuh pada manik hangat Sera.
"Dingin," bersit pria itu.
"Kalo gitu, cepat berdiri. Anda bisa terkena hipotermia."
Nicho bergegas keluar dari kolam renang. Tubuhnya yang basah langsung dibungkus Sera dengan handuk piyama yang sudah disediakan. Ketika Sera selesai mengikatkan tali piyamanya, Nicho langsung menempatkan sebelah tangannya di bahu perempuan itu. Hal ini sontak membuat Sera terhenyak.
Belum sempat Sera bereaksi atas tindakannya itu, Nicho sudah lebih dulu berkata, "Papah gua! Kaki gua keram banget soalnya."
Tanpa berkata apa-apa, Sera pun memapahnya berjalan menuju kamar hotel. Sulit bagi Sera menebak jika ini hanyalah modus belaka. Kenyataannya pria itu memang pandai berakting layaknya orang yang tengah kesulitan berjalan tegak. Meski begitu, pria dengan garis alis tebal nan rapi itu tak bisa menyembunyikan senyumnya. Keduanya terus berjalan beriringan, melewati koridor kamar-kamar yang tertutup.
Begitu sampai di kamar, Sera memastikan lebih dulu ranjang pria itu siap untuk ditiduri, sebelum pamit pergi. Ketika hendak keluar, Nicho seakan hendak kembali menahannya.
"Tunggu!"
Sera berbalik. "Apa masih ada yang Anda butuhkan?"
Nicho tampak berpikir, "Gue cuma mau ngasih tahu, besok gua bakal check out dari hotel ini."
"Anda sudah mengatakannya pagi tadi."
"Oh, iya, ya? Kok gua lupa." Nicho malah menyengir bodoh. "apa tidak ada yang ingin lo sampaikan sebelum gua ninggalin tempat ini?" ucapnya berharap Sera mengatakan sesuatu tentangnya.
"Jangan lupa periksa seluruh barang-barang Anda sebelum meninggalkan kamar."
Wajah Nicho langsung memberengut. "Kalo cuma kek gitu, gak perlu diingatin sekarang kali. Ya, udah, pergi sana!" ketusnya kesal.
Sera pun berbalik bersiap untuk keluar kamar. Namun, tiba-tiba ia menoleh kembali ke arah pria itu sambil berkata, "Mulai sekarang, cobalah damaikan diri Anda sendiri tanpa bergantung pada perhatian dan kepedulian siapapun."
Perkataan Sera membuat Nicho tertegun. Sejujurnya, ia masih ingin perempuan itu sedikit lebih lama di kamarnya. Namun, otaknya mendadak buntu memikirkan alasan untuk membuat Sera tetap di sana. Selama beberapa hari menetap di hotel ini, ia mulai memandang perempuan itu tak hanya sebatas pelayan pribadinya.
Beda halnya dengan Sera. Sebagai seorang butler, dia telah melayani banyak tamu VVIP dari kalangan pejabat negara, pengusaha dan selebritis baik dalam negeri maupun manca negara. Baginya, Nicho pun akan tergantikan dengan tamu-tamu yang akan datang.
Setelah Sera pergi, Nicho baru teringat untuk memberikan tip yang telah disediakan untuk perempuan itu. Berpikir masih ada hari esok, ia pun urung untuk memanggil Sera ke kamarnya lagi.
Tak terasa, putaran waktu begitu cepat sehingga malam sudah tergantikan oleh pagi. Mata Nicho mengerjap lembut. Saat kesadarannya mulai penuh, kepalanya langsung menoleh ke arah telepon seluler.
Aneh, tak ada morning call seperti biasa. Apa dia lupa meminta layanan itu semalam? Di waktu yang sama, pintu kamarnya mendadak terbuka diikuti suara troli yang berjalan. Nicho bergegas bangun dan merapikan rambutnya yang awut-awutan. Namun, air mukanya berubah seketika, saat melihat sosok pelayan yang masuk bukanlah Sera melainkan orang lain.
"Siapa Lo?" tanya Nicho dengan ekspresi setengah kaget.
"Maaf, saya pelayan baru Anda. Jika butuh sesuatu jangan sungkan untuk hubungi saya," balas perempuan yang baru saja masuk.
"Loh, pelayan saya sebelumnya mana?"
"Oh, dia izin tidak masuk hari ini."
.
.
.
Like dan komeng
itu mah gagap kali
setidaknya kali ini Sera nanya keadaan Nicho, berarti Nicho terlihat dimatanya🤭