Tak sekedar menambatkan hati pada seseorang, kisah cinta yang bahkan mampu menitahnya menuju jannah.
Juna, harus menerima sebuah tulah karena rasa bencinya terhadap adik angkat.
Kisah benci menjadi cinta?
Suatu keadaanlah yang berhasil memutarbalikkan perasaannya.
Bissmillah cinta, tak sekedar melabuhkan hati pada seseorang, kisah benci jadi cinta yang mampu memapahnya hingga ke surga
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27
Setelah mendengar kabar bahwa Jazil berkeinginan menikahkan putra bungsunya dengan Yura, dan bergosip dengan adik sepupunya, Dini langsung memberitahukan berita penting tersebut pada Rezky. Namun alih-alih mendapat pembelaan, sang suami justru malah turut mendukung niat mamahnya.
Bagus dong, biar hubungan kami lebih kental, yang nantinya Juna dan Yura akan punya anak. Jadilah ada darah kami mengalir di anaknya Yura. Dan kamu, tidak bisa lagi mengolok soal hubungan darah terhadap adik perempuanku.
Begitulah jawaban Reski kira-kira.
Otomatis membuat Dini makin bersungut-sungut. Hanya karena rasa iri, Dini menjadi amat tidak suka pada adik iparnya, sebaik apapun Yura pada Dini, tak serta merta membuat hatinya luluh.
Bahkan ketidaksukaannya itu kian menjadi-jadi jika Jazil memanjakan Yura di depan matanya.
Pemandangan yang amat sangat memuakkan bagi dirinya.
"Juna, kamu tuh susah amat di hubungi, si?"
"Maaf, mbak. Aku memang jarang pegang hape. Kalaupun pas pegang, jarang banget ada sinyal"
Setelah puluhan kali Dini menghubungi nomor Juna, akhirnya tersambung juga. Dan kini mereka sedang terlibat pembicaraan melalui telfon genggam.
"Kamu apa kabar?"
"Baik. By the way ada apa mbak Dini menelfonku?"
"Ini loh, si Sindy pengin minta rekomendasi kamu, kira-kira baiknya kerja di rumah sakit mana?"
"Loh memangnya belum ada pekerjaan?" Tanya Juna sedikit heran. Pasalnya sudah sejak beberapa bulan lalu Sindy lulus di bidang kedokteran.
"Ya sudah si, tapi katanya kurang nyaman"
"Coba mbak Dini tanya ke mbak Tita, siapa tahu dia punya chanel di rumah sakit tempat bu Amara kerja"
"Jadi tanya ke mbak Tita ya?"
"Iya mbak, aku kan dulu di ajak gabung di sana sama mamahnya mbak Tita. Rumah sakitnya bagus kok. Cukup bergengsi"
"Ya sudah deh, nanti aku tanyakan ke mbak Tita"
"Ya sudah ya mbak, aku sibuk. Suara mbak Dini juga mulai putus-putus" Ujar Juna.
"Tunggu sebentar Jun"
"Apa lagi, mbak?"
"Yura di beliin mobil tuh sama papah"
"Masa si?"
"Kamu belum tahu?"
"Belum. Aku nggak ada telfon rumah sudah hampir empat bulan ini"
"What!! Empat bulan kamu nggak ada hubungi mamah?"
"Iya"
"Memangnya apa yang membuatmu nggak telfon mama sampai segitu lamanya"
"Sibuk, mbak"
"Kayaknya nggak mungkin deh, sesibuk-sibuknya seseorang harusnya kabarin rumah"
"Dokter Juna, pak komandan demamnya makin tinggi, bisa bantu saya menangani beliau?" Tiba-tiba Dini mendengar suara wanita dari sebrang sana.
"Bisa, doker Zora!" Sahut Juna.
Sementara Dini hanya diam.
"Maaf ya mbak, aku sibuk"
"Siapa itu, Jun?"
"Rekan, sekaligus teman dekat"
"T-teman dekat? Kamu cinlok, Jun?"
"Aku tutup dulu, mbak. Assalamu'alaikum"
"J-Jun, Juna!" Panggilan sudah di tutup sepihak. Bahkan Juna tak menunggu kakak iparnya menjawab salamnya.
"Di tutup?" Gumam Dini sambil menatap layar ponsel.
"Teman dekat? Juna punya teman dekat?" Wanita itu berfikir seraya menarik sudut bibirnya ke arah kiri.
"Ah, sama wanita manapun masih lebih bagus dari pada sama Yura. Lagi pula aku juga nggak terlalu minat jodohin Sindy sama Juna, nanti kalau mamah lebih sayang ke Sindy, aku lebih nggak rela kalau sainganku adalah sepupuku sendiri. Bahkan bila perlu, derajatku harus lebih tinggi dari keluargaku yang lain termasuk Sindy"
"Baguslah, biar makin tahu rasa si Yura kalau Juna cepat-cepat nikah"
****
Di kediaman Irfan, Yura yang tengah memasak untuk makan malam, menatap heran pada Jazil yang sedang duduk melamun di kursi makan.
Yura tahu persis apa yang sedang Jazil fikirkan.
Melangkah mendekat, pelan tangan Yura menarik kursi di sebelah Jazil, lalu sedikit menggesernya supaya lebih dekat dengan sang mama.
Ia mengusap lembut lengan Jazil, kemudian mendaratkan kepala di pundaknya yang membuat tubuh Jazil sedikit tersentak karena kaget.
"Sayang!" Lirih Jazil.
"Mama mikirin mas Juna?"
Jazil merespon dengan bahasa tubuh. Mengangguk.
"Mas Juna masih belum telfon?"
"Belum, Ra"
"Ada sms?" Tanya Yura dengan posisi yang masih sama.
"Sms si ada, dia bilang lagi sibuk banget. Pas giliran nggak sibuk malah nggak ada sinyal"
"Ya udah berarti mas Juna baik-baik saja, mamah nggak usah sedih-sedih. Aku nggak suka lihat mamah sedih"
"Tapi mamah kangen banget sama anak itu, Ra" Mamah pengin dengar suaranya, pengin lihat wajahnya, pengin ngobrol sama dia"
"Mamah sabar ya, mas Juna pasti udah usaha buat telfon, cuma memang situasinya yang nggak mendukung"
"Tapi masa iya sampai empat bulan nggak pernah ada sinyal. Kayaknya nggak mungkin, Ra"
"Coba nanti aku sms mas Juna"
"Kalau mau sms mending sekarang aja, sayang. Jangan nanti-nanti!"
"Okay, aku sms mas Juna sekarang" Yura bangkit, lalu melangkah ke arah kompor. Ia tadi meletakkan ponselnya di lemari dapur yang menggantung menempel tembok.
Begitu ponsel ada di tangannya, dengan gesit jarinya mengetik sebuah pesan.
Assalamu'alaikum..! Kalau sudah nggak sibuk langsung telfon mamah, iya!
Yura langsung mengirim pesan itu ke nomor Juna.
Selang lima menit, tiba-tiba ponsel Yura berdering, dan entah kenapa setelah melihat siapa yang menelfonnya, jantung Yura berdebar dengan tidak biasa.
Mas Juna Calling...
Sebuah panggilan Video, dengan sedikit gemetar wanita itu menggeser ikon agar bisa tersambung dengan sang kakak.
"Assalamu'alaikum!" Sapa Yura, mengarahkan ponsel ke langit-langit ruangan.
"Wa'alaikumsalam"
Mendengar jawabannya, detakan di dada Yura makin tak karuan.
"Yura!" Panggil Juna.
"Iya, sebentar aku ke mamah"
Padahal Juna ingin sekali melihat wajah Yura. Tapi Yura malah sengaja tidak memperlihatkan wajahnya.
"Kamu di mana?" Tanya Juna.
"Aku tadi di dapur" Jawab Yura lantas menyerahkan ponselnya kepada Jazil.
"Mas Juna nelfon, mah"
"Juna telfon?" Jazil seakan tak percaya.
"Iya" Yura tersenyum. "Ini, mah"
"Huh.. Dasar anak itu, mamah kirim pesan dari tadi nggak di baca, giliran Yura yang sms malah langsung telfon" Usai menggerutu, Jazil mengarahkan ponsel ke wajahnya. Ia langsung melihat seperti apa rupa anak bungsunya.
"Assalamu'alaikum, mah"
"Wa'alaikumsalam!"
"Maaf, mah!"
Jazil diam, dia terus fokus menatap wajah putranya yang tampak kelelahan. Karena saking sibuknya, Juna mungkin tak begitu merawat wajahnya dengan baik. Namun kesan tampan masih tertera di wajahnya yang sedikit di tumbuhi bulu-bulu halus di bagian tertentu.
"Mah!" Panggil Juna, melihat sang mamah hanya bergeming.
"Kamu kapan pulang?" Jazil bersuara dengan nada sendunya.
"Delapan bulan lagi, mah"
"Lama sekali, nak. Mamah sudah kangen banget. Pengin ngobrol, pengin makan bareng sama kamu"
"Sabar ya mah, setelah ini insya Allah tugasnya nggak lama-lama kayak gini. Paling cuma tiga bulan, dan paling lama tujuh bulan"
"Lagian kamu kenapa harus ikut kayak gituan si, jadi dokter biasa seperti pada umumnya kan juga sudah bagus"
Yura menyodorkan selembar tisu, sementara Jazil menerimanya dan langsung mengusapkannya di matanya.
Karena tak ingin mengganggu percakapan Jazil dengan Juna, Yura pun memilih pergi ke dapur untuk melanjutkan sesi memasaknya.
"Kan sudah cita-cita, mah. Sebelumnya juga sudah minta izin ke mamah, dan mamah mengizinkan, kan?"
Jazil membuang nafas beratnya.
"Aku akan baik-baik saja mah, yang penting mamah doain aku terus biar cepat bisa pulang"
"Kamu nggak tahu serindu apa mamah sama kamu, Jun"
"Aku tahu, mah. Aku juga merasakan hal yang sama. Kita serahkan saja rindu kita pada Allah, lampiaskan dalam doa, insya Allah tahu-tahu aku pulang"
"Kamu ini kenapa makin dewasa, si? Mamah jadi tambah pengin ketemu, pengin meluk kamu jadinya"
Juna tersenyum. Ia bahkan sampai rela naik ke atas pohon demi mendapatkan sinyal agar tetap tersambung.
"Aku belajar banyak hal di sini, mah"
"Kamu ada di atas pohon, Jun?" Tanya Jazil sedikit takut.
"Iya mah, cari sinyal"
"Hati-hati, sayang"
"Sudah biasa naik-naik pohon. Aku kalau telfon us_" Hampir saja Juna kelepasan mengatakan bahwa dia sering menghubungi ustad Zaki.
"Kalau apa?" Jazil kembali bertanya.
"Ya kalau telfon dengan rekan-rekan di sini"
"Ya ampun, sampai segitunya, nak"
"Memang iya, mah" Balasnya. "Papa dimana, mah?"
"Papah masih di rumah ustad Zaki"
"Sehat juga kan, papa?"
"Sehat"
"Yura?"
"Yura juga sehat"
"Sehat terus ya mah, jangan sakit. Aku nggak di rumah, nggak ada yang meriksa nanti"
"Paling Yura yang gampang sakit"
"Suruh jangan terlalu capek, kalau bisa. Dia kan ada riwayat anemia, dan HB rendah"
"Mamah sudah sering bilangin, tapi yang namanya Yura kan memang begitu. Dia pintar menjaga kesehatan mamah, mengatur pola makan papa, tapi abai dengan kesehatannya sendiri"
"Baik banget Yura ya, mah?"
"Iya, makannya kamu jangan cemburu-cemburu lagi kalau mamah lagi sayang-sayang ke Yura. Yura itu benar-benar nggak anggap mamah orang lain. Dan kamu juga harus tahu kalau mamah itu sayang ke semua anak-anak mamah"
"Siap, mamah"
"Jangan cuma siap-siap aja, kalau bisa nikahi Yura"
"Ya kalau jodoh kan nggak kemana, mah"
"Ya kalau mau kan mama bisa maksa biar berjodoh, nak"
"Mamah ini ada-ada saja" Desis Juna menggelengkan kepalanya. "Sudah dulu ya mah, mau kerja lagi"
"Kok sudah? Baru saja sebentar"
"Ini sudah lebih dari tiga puluh menit"
"Hhfff... Ya sudah, hati-hati! Ini kapan mau telfon lagi"
"Nggak telfon sampai waktunya pulang gimana?"
"Enggak-enggak. Mamah nggak setuju"
"Kalau gitu sebulan lagi deh"
"Itu lama juga"
"Ish mamah. Sudah ya! Salam buat papa, buat Yura, buat semuanya juga"
"Iya, nanti mama sampaikan"
Bersambung
Next part pulangin Juna, yuk.. Sudah kangen berat sama mas Juna. Mas Junanya juga kangen banget sama Yura.
Terus nanti kita ombang ambingkan jantung mereka berdua.
keren juna, jawabanmu gentle berani menolak dan teruslah menjadi suami yang jadi pengayom dan pengayem
sakinah mawaddah warrohmah
semoga episode selanjutnya kak author kasih yura hamil kembar
lanjut kak
menawarkan tp utk menyakiti manusia lainnya
fix dia ini udah masuk snewen hahah