Gita, putri satu-satunya dari Yuda dan Asih. Hidup enak dan serba ada, ia ingat waktu kecil pernah hidup susah. Entah rezeki dari Tuhan yang luar biasa atau memang pekerjaan Bapaknya yang tidak tidak baik seperti rumor yang dia dengar.
Tiba-tiba Bapak meninggal bahkan kondisinya cukup mengenaskan, banyak gangguan yang dia rasakan setelah itu. Nyawa Ibu dan dirinya pun terancam. Entah perjanjian dan pesugihan apa yang dilakukan oleh Yuda. Dibantu dengan Iqbal dan Dirga, Dita berusaha mengungkap misteri kekayaan keluarganya dan berjuang untuk lepas dari jerat … pesugihan.
======
Khusus pembaca kisah horror. Baca sampai tamat ya dan jangan menumpuk bab
Follow IG : dtyas_dtyas
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 ~ Tumbal
Entah jam berapa saat Yuda tiba di sebuah rumah jauh dari perkampungan. Yang jelas sudah cukup malam, sepi dan … agak seram. Rumah yang dia tuju agak pelosok, melewati rimbunan pohon bambu dan mungkin saja tidak jauh dari hutan.
Semalaman berfikir, ditambah hari ini keyakinannya kembali diuji. Gita jatuh saat bermain, luka di kening dan di lengan bahkan sampai harus dijahit dan menebus obat. Sisa uangnya tidak cukup, meski sudah melarang nyatanya Asih kembali meminta bantuan keluarga untuk biaya pengobatan Gita. Yuda selama ini yakin kalau Tuhannya ada, tapi tidak pernah menunjukan keberadaannya saat ia susah.
Hatinya semakin sakit melihat anak dan istri menikmati makan siang hanya nasi saja, itupun sisa tadi pagi. Menjelang maghrib ia meninggalkan rumah, minta Asih dan Gita tetap di rumah sampai ia kembali. Menyewa motor dari tetangga satu kampung meski belum dibayar, Yuda menuju alamat yang pernah dia dengar bisa memberikan kekayaan.
Merasa pilihannya tidak salah. Ratmi teman sekolahnya sudah sukses di kota, bahkan kalau pulang kampung pakai mobil mewah dan perhiasan yang membuat penampilannya mentereng. Yang ia tahu Ratmi memakai penglaris untuk dagangannya. Manto, tetangga kampung. Mendadak kaya raya dan sekarang sudah pindah ke kota. Usahanya maju pesat dan dari informasi yang dia dengar, Manto menggunakan pesugihan di salah satu gunung.
“Setelah aku bisa membahagiakan keluargaku, aku akan berhenti,” gumam Yuda setelah menghentikan motor lalu mendorongnya. Ia pernah dengar tidak boleh membuat kebisingan di tempat yang tidak biasa. Mana tahu tempat ini termasuk wingit.
Rumah yang ia tuju sudah terlihat. Tidak perlu takut salah alamat, karena hanya itu rumah satu-satunya di sini.
Srek.
Langkah Yuda terhenti, sambil terengah karena mendorong motor membutuhkan energi, suara tadi seperti suara langka di belakangnya. Mendadak tengkuknya dingin dan merinding. Mana tahu ada orang dibelakangnya, ia bisa sama-sama melewati rimbunnya pohon di depan yang terasa menyeramkan.
Perlahan ia menoleh dan … sepi. Hanya suara angin dan daun bambu yang berges3kan. Gegas ia kembali melangkah sambil mendorong motornya. Suasana gelap, hanya ada penerangan dari rumah yang dia tuju, itu pun lampu temaram dan cahaya bulan. Berharap langit tidak mendung sehingga awan tidak menutupi rembulan.
Srek srek
Suara langkah kaki kembali terdengar, Yuda gegas menoleh. Lagi-lagi tidak ada siapapun atau apapun. Detak jantungnya mulai berirama tidak biasa, pikirannya mulai bisa menduga kalau suara itu bukan … manusia.
“Si-siapa?”
Hening, hanya ada suara alam.
“Maaf, saya hanya mau lewat.” Yuda berkata seakan ia minta izin dengan seseorang lalu kembali melanjutkan langkahnya.
Menatap ke atas rimbunan pohon yang akan ia lewati, ada batang pohon terjulur kokoh di atas jalan setapak.
“Demi Asih dan Gita, kamu kuat Yuda. Jangan takut dan jangan lihat ke atas,” gumam Yuda menguatkan dirinya.
Suara gemerisik daun yang terkena angin juga langkah kakinya sendiri. Tidak berani menatap ke atas, yang ia tahu rejeki akan turun dari langit tapi tidak nyangkut di pohon. Mulutnya komat-kamit, tapi ia sendiri bingung bacaan apa yang dilafalkan sangking gugup dan takut.
Mendadak motor yang tidak ia kendarai terasa berat, padahal jenis motor bebek keluaran lama.
“Ini kenapa sih? Apa aku hidupkan saja, tapi nanti boros bensin,” ujar Yuda masih berusaha mendorong motor dengan memegang kedua stang.
Terdengar suara tawa wanita, lebih tepatnya mengikik. Suaranya berasal dari atas, tidak jauh dari tempatnya berdiri. Yuda tidak berani menatap malah menunduk, dahinya berkeringat jantungnya berdetak sangat cepat. jelas itu bukan perempuan biasa, entah perempuan luar biasa macam mana dimalam begini jauh dari keramaian malah tertawa.
Hendak kembali melanjutkan perjalanannya, tapi motornya masih terasa berat. Tidak mungkin ia tinggal, bayar sewa saja belum apalagi kalau hilang. Dari mana dia bisa mengganti.
“Motor, kamu kenapa berat sekali.”
Terdengar lagi suara tawa mengikik, kali ini lebih panjang.
“Berat ya, kangmas.”
“Iya,” sahut Yuda. “Astaga, kenapa aku jawab.” Yuda merasa tengkuknya ikut berat dan bulu kuduk merinding.
“Bawannya yang bikin berat, kangmas.” Suara wanita itu lagi dilanjutkan dengan tawa mengikik.
“Bawaan,” gumam Yuda. Ia merasa tidak membawa apapun selain diri sendiri. Perlahan ia menoleh dan ….
“Aaaaa.” Yuda berteriak dan terjatuh duduk menatap sosok yang duduk di motornya. Sosok pocong yang bagian kepalanya bergoyang pelan ke kiri dan kanan. Belum lagi suara mengikik tepat di atasnya. Membuat tubuh Yuda sangat berat dan kaku. Mulutnya pun tidak bisa mengucap, persis seperti orang ketindihan.
Hanya pandangan matanya yang bisa menatap sosok pocong yang masih berada di atas motor lalu menatap ke atas di mana ada sosok wanita duduk berayun di atas dahan sambil memainkan rambutnya. Mendadak tubuhnya lemas, detak jantung masih berdebar bahkan keringat semakin banyak seakan ia habis maraton. Mulutnya hanya sanggup bergumam tidak jelas, perlahan penglihatannya kabur dan gelap.
***
Yuda mengerang pelan dan mengerjapkan matanya. Cahaya lampu temaram di tengah ruangan membuatnya segera beranjak duduk. Entah ia berada di mana dan rumah siapa, seingatnya tadi ia sedang mendorong motor.
“Hah, motorku ….”
“Aman.”
Yuda menoleh, seorang pria tua duduk dengan tangannya menaburkan sesuatu di atas bara dalam gerabah. Aroma tidak biasa langsung menguar dan Yuda tahu itu … kemenyan.
“Motormu aman, ada di depan rumah. Kamu berani sampai sini artinya sudah menggadaikan hidup dan keyakinan kamu, tapi sama kuntilanak dan pocong aja pingsan.”
Yuda yang masih berbaring di atas bale, gegas turun dan ikut duduk berhadapan dengan bapak tua itu hanya terhalang sebuah meja kecil.
“Maaf mbah.” Pria tua di hadapannya pasti Mbah Kiyut, pria yang bisa memberikan jalan pintas mendapatkan banyak uang tanpa capek-capek bekerja.
“Kamu yakin datang kemari akan menyelesaikan persoalan hidupmu?”
“Yakin mbah,” jawab Yuda sambil menunduk. Tidak berani menatap wajah pria di hadapannya, apalagi sekeliling ruangan. Banyak benda aneh dan berhubungan dengan dunia perdukunan.
“Siap dengan segala konsekuensinya?” tanya Mbah Kiyut lagi.
Kali ini Yuda berani menatap pria tua di hadapannya. “Tapi keluarga saya tidak akan jadi tumbal ‘kan?”
“Ck,kamu ini belum apa-apa sudah tawar menawar. Keluarga kamu tidak akan menjadi tumbal, asal kamu siap dengan persyaratannya. Melanggar, kamu yang akan binasa.”
“Persyaratannya apa saja mbah?”
Mbah Kiyut memejamkan mata dan melafazkan entah doa apa, dalam bahasa yang tidak Yuda mengerti. Tiba-tiba pria itu terbelalak membuat Yuda terkejut dan mengusap dadanya.
“Dengarkan aku baik-baik, syarat yang harus kamu siapkan. Jangan disela dan jangan bertanya sampai aku selesai menjelaskan.
Yuda menganggukan kepala lalu menunduk. Mendengarkan dengan baik persyaratan yang disampaikan oleh Mbak Kiyut.
“Paham kamu?”
“Jenazah mbah?” tanya Yuda.
“Kamu tidak ingin keluarga menjadi tumbal, penggantinya adalah jenazah. Jenazah yang belum dua puluh empat jam dimakamkan. Setelah melakukan ritual selama tujuh malam, makamkan lagi jenazah itu di sekitar tempat tinggalmu dan rawat makam-makam itu seakan harta paling berharga. Pundi-pundi uang akan mengalir saat ritual dilaksanakan. Semakin mengenaskan cara meninggal dari si jenazah, semakin menguntungkan dirimu. Ingat, jangan ambil jenazah yang belum dimakamkan atau dimakamkan lebih dari dua puluh empat jam.”
Yuda menelan salivanya, masih mendengarkan penjelasan dari Mbak Kiyut. Bagaimana ia bisa mendapatkan jenazah, apa ia harus mencuri dari pemakaman. Tidak ingin keluarga menjadi korban, ia harus ganti dengan cara lain … tumbal jenazah.