"Sekarang tugasku sudah selesai sebagai istri tumbalmu, maka talaklah diriku, bebaskanlah saya. Dan semoga Om Edward bahagia selalu dengan mbak Kiren," begitu tenang Ghina berucap.
"Sampai kapan pun, saya tidak akan menceraikan kamu. Ghina Farahditya tetap istri saya sampai kapanpun!" teriak Edward, tubuh pria itu sudah di tahan oleh ajudan papanya, agar tidak mendekati Ghina.
Kepergian Ghina, ternyata membawa kehancuran buat Edward. Begitu terpukul dan menyesal telah menyakiti gadis yang selama ini telah di cintainya, namun tak pernah di sadari oleh hatinya sendiri.
Apa yang akan dilakukan Edward untuk mengambil hati istrinya kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Buat apa datang?
Pagi hari di Mansion Thalib.
Edward pagi ini sudah datang kembali ke Mansion papanya. Mereka sudah berkumpul di ruang makan untuk sarapan. Ghina terlihat baru datang dari kamar Edward dan masih menggunakan baju kemarin. Netra Edward seperti memeriksa tubuh Ghina.
“Duduk Ghina, kita sarapan dulu,” pinta Oma Ratna.
Ghina langsung duduk di samping Oma Ratna.
“Edward, Ghina sudah menyetujui menikah dengan kamu. Pernikahan kalian akan di adakan 2 minggu lagi.”
Ghina menundukkan kepala, tidak sedikit pun menatap Edward yang ada di hadapannya, dia menyibukkan mengambil lauk untuk dirinya.
“Bagus kalau begitu,” jawab Edward datar.
“Nanti kalian cari waktu luang untuk beli cincin dan fitting baju pengantin,” ucap Opa Thalib.
“Iya Pah.” Edward masih menunggu Ghina mengangkat wajahnya.
Lebih baik cepat menikah, agar lebih cepat keluar dari jeratan Om Edward.
.
.
Papa dan Mama Ghina pagi ini ternyata datang ke Mansion Thalib atas permintaan Opa Thalib.
Para orang tua sedang berdiskusi di ruang tengah, Ghina berkutat di dapur menghilangkan rasa jenuhnya.
Sedangkan Edward tidak berangkat ke kantor, tapi bekerja dari mansion papanya.
Ghina dengan dibantu beberapa pelayan, membuat kue lagi dengan bahan yang masih tersedia di dapur.
“Bisa kita bicara sebentar,” pinta Edward yang tiba-tiba datang ke dapur.
Ghina mengacuhkannya, masih sibuk dengan adonan kuenya.
“Non ... ada Tuan Edward,” ujar salah satu pelayan.
“Biarkan saja mbak, memangnya tidak lihat saya lagi ngapain,” jawab ketus Ghina.
Edward bukannya pergi dari dapur setelah penolakan Ghina, dia mendudukkan dirinya di bangku tinggi yang tersedia di meja dapur.
“Mbak ... buatkan saya kopi,” pinta Edward.
“Baik Tuan.”
Adonan kue sudah siap di masukkan ke oven, bahan-bahan dan perkakas masak di rapikannya. Edward memperhatikan lengan Ghina yang lincah membersihkan meja dapur, sambil menyesap kopinya.
“Ghina duduk, kalian semua tolong tinggalkan dapur dulu sebentar!” perintah Edward.
Para pelayan keluar dari dapur, meninggalkan mereka berdua, Ghina sudah duduk di hadapannya.
“Terima kasih sudah menerima perjodohan kita. Tapi bukan berarti saya menyukai kamu. Sebagai balasannya saya akan memberikan imbalan yang pantas buat kamu. Atau tinggal sebut aja kamu mau berapa?”
“Dan saya mengingatkan kembali, setelah kita menikah. Saya akan menikah dengan Kiren, istri yang saya anggap. Bukan kamu, jadi jangan khawatir kamu tidak akan saya sentuh sedikit pun!”
Ghina hanya menatap mata Edward dalam-dalam, sungguh malang nasib gue harus terpaksa menikah dan akan menjadi janda muda.
“Kenapa diam saja, sebutkan berapa yang kamu minta?”
“Nanti akan saya kasih tahu, bukan sekarang waktunya.” Ghina meninggalkan Edward begitu saja.
Sengaja dia mengakhiri pembicaraan dengan Edward, karena rasanya sesak, buru-buru dia menuju ke kamar mandi untuk menunggu waktu kue matang.
Edward tampak kesal di tinggal begitu saja oleh Ghina, saat dia masih berbicara.
30 menit kemudian ...
Ghina merasa cukup bersembunyi di kamar mandi, lalu bergegas mengecek oven, ternyata sudah matang kuenya.
Dikeluarkannya kue tersebut dari oven, lalu di tatanya di atas piring, kali ini dia membuat kue muffin kurma dan keju.
Dirasa sudah siap dihidangkan, Ghina membawa kuenya ke ruang tengah, tempat di mana kedua orang tua Edward dan kedua orang tuanya berbicara.
Selagi menata kue di meja, Ghina tidak memperhatikan kalau Edward masih ada di sana juga.
“Ghina jangan terlalu lelah,” pinta Oma Ratna.
“Iya Oma, cuma iseng bikin kue saja kok.” Ghina ikut duduk bersama mereka.
Opa dan Oma dengan senang hati mencicipi sajian kue yang dihidangkan Ghina. Sedang Edward tanpa peduli tatapan mata Ghina, dia mencoba kue buatan Ghina.
Enak sekali kuenya, batin Edward.
Kesepakatan dari kedua orang tua Edward dan Ghina sudah final, mereka akan menikah dalam waktu 2 minggu lagi, di adakan di salah satu hotel punya Opa Thalib.
Ghina hanya bisa bernapas panjang, sedangkan Edward terlihat santai.
.
.
2 hari setelah pertemuan di mansion.
Ghina mencoba merilekskan pikirannya, kebetulan sudah tidak perlu ke sekolah lagi karena tinggal menunggu pengumuman kelulusan.
Siang ini dia berencana akan jalan-jalan dengan Rika ke mall, setelah makan siang di rumah.
“Assalamualaikum,” sapa suara Pria dari depan pintu rumah yang kebetulan terbuka.
“Walaikumsalam, oh Edward ... masuk saja,” ujar Mama Sarah yang menyambut tamu di depan.
“Sekalian ikut makan siang ya,” ajak Mama Sarah.
“Iya Kak.” Edward ikut ke meja makan.
Ghina dan Bibi Inem sibuk menata masakan yang dia masak di meja makan. Tanpa memperhatikan siapa yang datang.
“Dah siap, makan yuk mam, bibi,” ajak Ghina sembari mengangkat wajahnya yang sedari tadi menata meja.
Dia lagi, buat apa datang ...!
“Ayo duduk Edward,” pinta Mama Sarah.
Edward mendudukkan dirinya di samping Ghina. Ghina tidak menyapanya Edward sama sekali, dia langsung menyiapkan makan untuk mamanya, dan mau tidak mau menyiapkan untuk Edward juga, baru buat dirinya.
“Kak Sarah, masakannya enak sekali,” puji Edward semangat menyantap makanannya.
“Bukan kakak yang masak, ini semuanya Ghina yang masak,” jawab Mama Sarah.
“Uhuk ... Uhuk ...!” Edward tersedak dengan makanannya, mendengar yang masak bocah kecil.
“Diminum Om airnya, biar gak nyangkut nasinya di tenggorokan.” Ghina menyodorkan segelas air di hadapan Edward. Pria itu langsung meminumnya sampai tandas.
Ghina kembali menyantap makan siangnya dengan cepat, sudah selesai makan dia langsung masuk ke kamar untuk berganti pakaian.
“Mama, Ghina pamit dulu ya, sudah janjian sama Rika,” ujar Ghina menghampiri mama Sarah yang masih berada di meja makan bersama Edward.
“Kamu mau ke mana? Saya sengaja datang ke sini menjemput kamu untuk membeli cincin nikah,” ucap Edward.
“Maaf Om Edward, Ghina sudah terlanjur janji sama teman. Seharusnya Om kasih kabar dulu kalau mau ajak Ghina pergi. Jangan dadakan!”
“Wah, hebat sekali ... kamu udah kayak CEO harus bikin janji dulu. Saya saja yang CEO rela mengcancel semua meeting siang ini!” sahut Edward tegas.
“Udah mam, Ghina pamit dulu ya.” Ghina langsung pergi. Tapi tidak seberapa lama. ”Apa-apaan si Om!” Lengan gadis itu sudah ditarik Edward.
“Ikut saya, enak saja kamu mengatur saya!” semakin erat Edward mencengkeram lalu menarik lengan Ghina menuju mobilnya yang terparkir di depan rumah Ghina. Dan membawa Ghina masuk ke mobilnya.
Wajah Ghina mulai cemberut, dengan cekatan diambilnya ponsel dari tas selempangnya, kemudian mengirim pesan ke sohibnya.
“Seharusnya Om dan mbak Kiren yang membeli cincin, bukan dengan saya. Lagi pula saya gak perlu dibelikan cincin, percuma cincinnya hanya numpang lewat!” ujar Ghina ketus.
“Maunya seperti itu, tapi apa kata Opa nanti.”
Lagi dan lagi ... semua karena Opa!
Ghina mengalihkan pandangannya ke luar mobil, menatap kosong. Andaikan Om mengajak membeli cincin karena cinta padaku ... andaikan saja!
.
.
bersambung