Yara Vianca tak sengaja mendapati buku nikah suaminya dengan wanita lain. Tentunya, dia merasa di khianati. Hatinya terlampau sakit dan perih, saat tahu jika ada wanita lain yang menjadi madunya. Namun, penjelasan sang suami membuat Yara tambah di buat terkejut.
"Benar, aku juga menikah dengan wanita lain. Dia Dayana, istri pertamaku." Penjelasan suaminya membuat dunia Yara serasa runtuh. Ternyata, ia adalah istri kedua suaminya.
Setelah Yara bertemu dengan istri pertama suaminya, di sanalah Yara tahu tentang fakta yang sebenarnya. Tujuan Alva Elgard menikah dengan Yara agar dia mendapat kan anak. Sebab, Dayana tak dapat hamil karena ia tak memiliki rahim. Tuntutan keluarga, membuat Dayana meminta suaminya untuk menikah lagi.
Alva tidak mengetahui jika saat itu ternyata Yara sudah mengandung. Karena takut bayinya di ambil oleh suami dan madunya setelah dirinya di ceraikan, ia memilih untuk pergi dan melepaskan suaminya.
5 tahun kemudian.
"Om Alpa, ada indomaletna nda?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kenz....567, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kerinduan si kembar
Jam makan siang tiba, Alva kembali ke ruangannya. Pria itu sangat lapar, dia mendudukkan dirinya di sebuah kursi dan meraih nasi bungkus yang dia ambil dari pekerjanya tadi. Sejenak, matanya menatap ragu ke arah nasi bungkus itu.
"Kenapa aku mengambil ini." Gumam Alva.
Tak ingin terlalu banyak berpikir, Alva menaikkan bahunya acuh. Dia lalu membuka bungkus nasi itu dan melihat apa saja isinya. Ternyata, hanya ada lauk tempe dan ayam balado saja. Sangat sederhana menurut Alva, tetapi bagi para pekerja mungkin terlihat sangat cukup.
"Apa aku harus memakannya dengan tangan?" Gumam Alva, dia tak terbiasa makan dengan tangan.
Cklek!
Alva mengalihkan pandangannya, dia melihat asistennya datang dengan nasi bungkus yang sama seperti miliknya. "Kamu ambil nasi bungkus juga?" Tanya Alva dengan heran.
"Eh, iya Tuan. Kata para pekerja nasi bungkusnya enak, makanya saya penasaran. Apalagi ayam pedasnya, sekelas chef rasanya!" Seru asistennya itu dengan semangat.
"Masa sih?" Ragu Alva seraya menatap ke arah makanan miliknya.
Penasaran, Alva segera mengambil sedikit dari bagian ayam itu dan memakannya. Perlahan, dia mengunyah dan merasakan rasa ayam balado pedas itu. Matanya berbinar terang, pria itu tersenyum senang.
"Enak sekali, rasanya seperti buatan ...."
Degh!
Senyuman Alva luntur, dia teringat sesuatu. Pria itu kembali menyuapkan makanan ke dalam mulutnya dan memastikan rasa yang ada. Ia sangat yakin, rasa masakan itu sangat familiar untuk nya. Jantungnya berdegup kencang, tatapan matanya terlihat kosong.
"Kenapa? Apa tidak enak?" Tanya asistennya dengan ragu.
Alva menggeleng, dia mengangkat pandangannya dan menatap ke arah pria yang berdiri di hadapannya. "Daniel, apa kamu tahu nasi bungkus ini di ambil dari mana? Maksudku, siapa yang memasaknya?" Tanya Alva dengan cepat.
Daniel mengerjapkan matanya, "Eh itu ... saya enggak tahu, kata Pak Lurah dari warga di dekat sini. Katanya sih, janda anak dua." Terang Daniel.
"Janda anak dua." Gumam Alva.
"Memangnya kenapa? Apa anda mau menambah istri lagi tuan? Janda lebih menggoda loh." Ledek Asistennya dengan menaik turunkan alisnya.
Alva mendengus sebal, "Jangan membuatku kesal!" Desis Alva dan beranjak pergi, meninggalkan Daniel yang terbengong di buatnya.
"Gak di habiskan, sayang banget. Lumayan, rezeki jodohnya Lisa. Uhuy!" Saat Daniel akan bersiap mengambil nasi bungkus Alva, tiba-tiba saja bosnya itu kembali dan membungkus kembali makanannya.
"Eh, tuan!" Pekik Daniel tak terima. Baru saja dia akan mengambilnya sebagai tambahan, tetapi bosnya justru mengambilnya kembali.
"Enak saja! Ini jatahku!" Desis Alva dan pergi dari sana.
"Ish!" Desis Daniel dengan kesal.
.
.
.
Yara kembali ke rumah dengan perasaan bahagia, dia telah mendapatkan uang yang Pak Lurah berikan untuk membayar nasi bungkus yang ia buat tadi. Walaupun untungnya tak besar, tetapi Yara merasa cukup untuk kebutuhannya serta anak-anaknya.
"Bunda." Panggil Jovan yang datang menemui Yara di kamarnya.
"Kenapa? Jovan butuh sesuatu?" Tanya Yara dengan lembut.
Jovan mendekati Yara, bocah menggemaskan itu terlihat menundukkan kepalanya. Seakan, ada hal penting yang akan dia katakan. Hanya saja, Jovan terlihat ragu untuk mengatakannya.
"Bunda, Jovan boleh lihat foto Ayah? Hanya foto saja, apa boleh?" Pertanyaan Jovan membuat Yara terdiam. Wanita itu mencoba tersenyum dan mengontrol perasaannya.
"Jovan gak bahagia hanya tinggal dengan Bunda yah?" Tanya Yara seraya mengelus lembut kepala putranya.
Jovan menggeleng, "Bukan gitu Bunda, tapi Jovan mau tahu tentang Ayah." Ujar Jovan dengan sorot mata yang serius.
Yara menghela nafas pelan, "Jovan, dengar. Kamu tidak perlu tahu siapa dia, dan dimana dia. Cukup kamu tahu, Bunda disini bersamamu. Kalau perlu, lupakan dia dan anggap saja dia sudah tidak ada." Ujar Yara dengan sedikit emosi Wanita itu lelah, putranya malah menanyakan tentang pria yang kembali membuat Yara teringat akan cerita pahit kehidupannya.
"Jovan hanya mau tahu, Bunda." Teguh Jovan, tampaknya pria kecil itu sangat penasaran bagaimana rupa sang ayah.
Yara menghela nafas pelan, "Jovan, Bunda lelah. Bisakah kamu keluar dulu?" Usir Yara secara halus.
Jovan menatap sang bunda dengan mata berkaca-kaca, dia tak bermaksud membuat sang bunda marah. Namun, rasa penasarannya membuat Jovan kekeuh ingin tahu. Dengan perasaan sedih, Jovan pun beranjak pergi. Meninggalkan Yara yang memijat keningnya seraya meneteskan air matanya.
"Ibu, Yara rindu hiks ... Yara rindu hiks ... Yara gak kuat ibu. Yara gak kuat jadi seperti ibu hiks ... Yara gak kuat hiks ...." Isak Yara seraya menutup matanya.
Selama lima tahun, Yara sama sekali tak menghubungi keluarganya. Dia seakan hilang dari mereka yang memiliki hubungan dengannya. Yara takut, sangat takut jika Alva menemukan keberadaannya dan mengambil anaknya. Yara tidak mau itu terjadi, tetapi tak dapat di pungkiri jika dia merindukan ibu dan adiknya.
Perlahan, Yara membuka laci nakas. Dia mengambil ponselnya dari sana dan menyalakan layarnya. Wanita itu terlihat ragu untuk memencet salah satu nama kontak di panggilan yang selama lima tahun ini tidak dia sentuh.
Sementara itu, Vara sedang bermain bersama temannya di depan rumahnya. Gadis kecil itu tampak bahagia mendorong temannya yang sedang bermain sepeda. Walaupun Yara belum membelikannya sepeda, tetapi Vara bisa meminjam milik temannya.
"Eh lihat, aku baru di belikan boneka baru sama papaku kemarin." Seru seorang anak perempuan seraya menunjukkan mainannya pada Vara.
"Woah, bagus banget! Nanti aku mau minta di belikan ayahku juga lah!" Sahut yang lain.
Sementara Vara, dia hanya diam. Matanya terlihat berkaca-kaca, dia menatap boneka itu dengan tatapan sendu. Perlahan, Vara berbalik. Dia memasuki rumahnya dengan berlari kencang dan meninggalkan para temannya yang asik menyambut mainan baru milik yang lain.
"BUNDAAA HIKS ... BUNDAA!" Seru Vara yang mana membuat Yara terkejut. Dia segera menghapus air matanya dan keluar dari kamar untuk menghampiri putrinya.
Brugh!
"Ada apa?" Kaget Yara ketika putrinya langsung memeluk kakinya dengan erat.
Vara tak membuka suara, dia hanya memeluk kaki sang bunda dengan menangis lirih. Yara semakin khawatir, dia mencoba untuk menenangkan putrinya. Namun, tangisan Vara semakin kencang. Yara bingung mengapa putrinya jadi seperti ini.
"Vara, Vara kenapa sayang?" Tanya Yara dengan lembut.
Vara tak membuka suara, dia hanya bisa menangis. Tangisan Vara membuat Jovan keluar dari kamarnya. Pria kecil itu menatap kembarannya dengan tatapan penasaran. Melihat kehadiran putranya, Yara di tambah di buat sedih. Dia melihat mata sembab putranya yang terlihat sekali sehabis menangis. Ada apa dengan kedua anaknya? Mengapa hari ini hati mereka begitu sensitif. Apa Vara juga menangis karena persoalan ayahnya? Sama seperti Jovan?
"Bela di belikan boneka cama ayahna hiks ... Vala mau minta juga cama ayah hiks ... culuh ayah pulang Bunda!"
Deghh!?
Air mata Yara luruh, dia langsung berlutut di hadapan putrinya yang baru saja menjelaskan semuanya. Yara tak bisa berkata-kata, dia hanya memeluk erat putrinya dengan air matanya yang terus mengalir. Jovan yang tadinya terdiam pun turut memeluk keduanya. Isakan tangis dari tiga orang itu membuat siapapun yang mendengarnya pasti merasa sedih.
Tok! Tok!
Suara ketukan pintu membuat Yara menghentikan tangisnya, dia melepas pelukannya pada kedua anaknya dan menghapus cepat air matanya. "Sebentar yah, Bunda lihat siapa yang datang. Jovan, tolong ajak adiknya minum dulu." Pinta Yara sebelum beranjak untuk membukakan pintu untuk sang tamu.
Cklek!
"Ya, ada perlu a ...,"
Degh!
Tubuh Yara lemas, matanya membulat sempurna. Rasanya, jantungnya terasa berhenti berdetak. Kedatangan pria di hadapannya, membuat Yara mematung. Dia tak bisa berkata-kata lagi, selain menjatuhkan kembali air matanya dengan tatapannya yang kosong.
___
Jangan lupa dukungannya🥰🥰
teruslah berkarya