Tumbal Jenazah

Tumbal Jenazah

Bab 1 ~ Terhina

Yuda sibuk menenangkan Gita – putrinya yang berumur sepuluh tahun. Menangis menginginkan mainan yang dipegang sepupunya. Hal yang biasa terjadi manakala mereka berkunjung dan bersilaturahmi ke keluarga besar sang istri. Asih -- istrinya yang memang berasal dari keluarga berada, sedangkan dia bukan siapa-siapa. Hinaan seakan sudah menjadi jamuan yang dipersembahkan untuk keluarga kecilnya.

“Bapak, Gita mau itu,” rengek Gita lagi menunjuk sepupunya yang memegang boneka dan sepupu lainnya memegang coklat.

“Iya, sayang. Nanti kita beli, Gita jangan nangis ya.”

Usapan di kepala Gita, berharap putrinya tidak merajuk dan menangis lagi. Sebenarnya Gita bukan anak yang rewel dan kerap merajuk menginginkan sesuatu, tapi kalau dikompori seperti ini ya muncul juga keinginan memiliki hal yang ia lihat.

Tidak masalah kalau dirinya dihina karena hidupnya yang biasa bahkan cenderung susah. Namun, tidak rela kalau sampai anak dan istrinya ikut terhina.

“Coba dulu kamu terima pinangan anak pak lurah desa sebelah, nggak akan kamu kayak gini. Suamimu itu sudah kere, tapi belagu. Istri bisa cari uang, tapi dilarang.”

“Iya, sekarang lihat. Anak mau jajan dan mainan aja nggak sanggup. Lihat tampang kamu Asih, sudah lecek, lusuh kayak nggak keurus.”

Yuda menahan geram mendengar percakapan dari dalam rumah, isinya hinaan dan menyudutkan sang istri. Rasanya ingin sekali dia segera menarik Asih dari sana dan membawanya pulang, tapi tidak ingin menunjukan emosi dan kemarahan di depan Gita. Lagi pula Asih masih butuh keluarganya.

Fokus mendengarkan percakapan, Yuda tidak menyadari Gita terjatuh karena didorong oleh sepupunya dan menangis.

“Dia dorong aku, Pak.”

“Enak aja, nggak bener itu. Justru Gita mau rebut coklat aku.”

“Iya, pencuri itu namanya.”

Yuda berjongkok mengusap lutut Gita yang kotor juga menghapus air mata putrinya.

“Aku nggak gitu, pak. Aku mau coklat dia, tapi nggak mencuri.”

“Bapak tahu, bapak tau, sayang.”

Sepupu-sepupu Gita berteriak mengejek kalau Gita pencuri membuat Asih dan kerabatnya keluar karena mendengar ribut-ribut.

“Gita, kenapa sayang?” tanya Asih menghampiri lalu memeluk putrinya yang masih terisak.

“Gita pencuri.”

“Iya, dia pencuri.”

“Ya ampun Asih, bukannya bikin senang anak istri malah minta anak kalian mencuri,” ujar kakak Asih yang tidak tahu kejadian sebenarnya.

Asih menatap suaminya.                                                                           

“Kita pulang. Sudah cukup hinaan mereka. Aku janji akan bawa kamu kembali ke rumah ini dan tidak akan mendapat hinaan mereka.” Yuda menggandeng tangan Gita dan merangkul bahu istrinya.

“Halah, gayamu Yud. Besok juga Asih disini untuk pinjam uang.”

“Ibu,” panggil Ikbal salah satu sepupu Gitu. “Gita tidak mencuri, mereka-mereka saja yang jahat.” Ia menunjuk adik dan sepupunya yang lain.

***

Sampai di rumah Asih tidak menanyakan kebenaran insiden tadi pada suaminya, ia tahu tidak mungkin Gita mencuri. Yuda terlihat sedang merenung di beranda rumah, sebagai istri yang baik seharusnya ia bantu menentramkan hati dan perasaan sang suami bukan menambah emosi dengan menanyakan kebenaran seakan tidak mempercayai sang suami.

Gita sudah tertidur, Asih pun hendak menuju dapur. Memasak apa yang bisa keluarganya santap, meski hanya seadanya. Terdengar suara perdebatan, Asih yang baru meraih panci pun kembali menaruhnya dan gegas keluar.

“Mas,” panggilnya melihat sang suami kalah debat dengan tiga orang pria yang datang.

“Asih, masuk!”

“Ck. Ini istrimu toh? Cantik, kenapa nggak disuruh ngel0nte aja bisa bantu perekonomian keluarga.”

“Iya, aku juga mau jadi pelanggannya.”

“Diam!” teriak Yuda. “Pergi kalian, aku akan bayar hutangku lengkap dengan bunganya bulan depan. Aku pastikan itu!”

“Halah, dari mana Yud. Ngomong kayak orang bener aja, kalau nggak sanggup aku terima cicilan dibayar oleh istrimu,” ujar pria tua dengan perut gendut dan kumis melintang di atas bibirnya. Pria itu terkenal sebagai lintah darat di kampung tersebut. “Kalian mau juga toh?” tanyanya pada kedua kacung sekaligus bodyguard.

“Maulah.” 

Asih yang takut mendengar usulan tadi, langsung bersembunyi di belakang tubuh Yuda dan mencengkram erat kaos yang dikenakan pria itu.

Sedangkan Yuda yang emosi langsung mengangkat kursi kayu di sebelahnya akan dipukulkan ke arah si lintah darat.

“Mas, jangan!” tahan Asih.

Pria bertubuh gempal merangsek mundur diikuti oleh dua kacungnya yang mulai ketakutan.

“Pergi, aku bilang pergi. Bulan depan aku akan bayar hutang-hutangku,” teriak Yuda seakan kesetanan dan terus mengayun kursi yang dipegang ketiga pria agar pergi dari tempat tinggalnya.

“Gila kamu Yud. Awas saja kalau bulan depan tidak bisa bayar, aku bawa istrimu!”

Brak.

Kursi tadi dilempar Yuda setelah ketiga pria tak diundang sudah tidak terlihat di area rumahnya. Masih dengan nafas terengah ia menoleh ke arah Asih yang masih ketakutan.

“Jangan takut, aku yang akan cari jalan keluarnya dan jangan minta aku turuti usul kamu.” Yuda pun meninggalkan beranda. Asih sudah tahu kemana tujuannya, pasti halaman belakang.

Tempat tinggal yang mereka tempati saat ini adalah peninggalan orangtua Yuda, keluarga pendatang membangun rumah di lahan yang cukup luas. Sayangnya usaha toko kelontong mereka bangkrut dan meninggalkan hutang. Asih pernah mengusulkan untuk menjual aset yang dimiliki Yuda lalu pindah ke tanah kelahiran suaminya, memulai semua dari awal. Namun, ide tersebut ditentang oleh Yuda.

Sedangkan di belakang rumah, Yuda duduk di atas bale tepat di bawah pohon besar. Membuka ponselnya berharap ada kawan yang menjawab pertanyaannya tentang lowongan pekerjaan. Fokusnya tertuju pada notifikasi pesan dari media sosial.

[Mengatasi masalah keuangan dengan cepat, tanpa ada capek banting tulang. Bukan pencuri atau perampok, usaha yang tidak terlihat tapi menghasilkan kekayaan]

“Usaha apa bikin kaya, tapi nggak capek,” gumam Yuda.

Penasaran, ia pun mengklik pesan iklan tersebut.

“Hah, ini sih … pesugihan.”

Meski takut dan tidak akan melakukan hal itu, tapi Yuda tetap membaca kelanjutan pesan tadi. Sudah banyak diketahui kalau pesugihan membutuhkan tumbal, biasanya akan mencelakai keluarga. Mana mungkin Yuda akan mengorbankan keluarganya.

“Keluarga tidak akan menjadi tumbal,” ujarnya lirih dan semakin tertarik mencari tahu informasi tersebut. 

Terpopuler

Comments

Vita Liana

Vita Liana

baru baca

2024-08-26

0

Zuhril Witanto

Zuhril Witanto

lanjut

2024-07-12

0

Zuhril Witanto

Zuhril Witanto

ternyata ada yang baru...

2024-07-12

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!