Mengisahkan tentang perjalana kehidupan seorang anak bernama Leonel Alastair yang berasal dari keluarga Von Adler. Kecintaannya pada musik klasik begitu melekat saat dia masih kecil, demi nama keluarga dan citra keluarganya yang sebagai musisi.
Leonel menyukai biola seperti apa yang sering dia dengarkan melalui ponselnya. Alunan melodi biola selalu membawanya ke masa masa yang sangat kelam dalam hidupnya.
Namun perlahan seiringnya waktu berjalan, kehidupan dan minatnya berubah. Dengan bantuan seorang kakak angkat Raehan dia memiliki tujuan baru, dengan tujuan tersebut dia bertemu seseorang yang menempati hatinya.
Bromance!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22: "Jejak Langkah di Jalan Sunyi"
Matahari mulai terbit, mengusir sisa-sisa gelap malam, seakan memberikan awal baru bagi Leonel. Bersama Raehan, ia menyaksikan semburat jingga yang perlahan menyebar di cakrawala dari balik jendela kedai. Pemandangan itu seolah menjadi simbol dari keberanian Leonel untuk memulai perjalanan baru dalam hidupnya.
Setelah beberapa menit menikmati ketenangan pagi, Raehan menatap Leonel dan berkata, “Kita perlu buat rencana, Nel. Kamu nggak bisa selamanya kabur tanpa tujuan. Kita harus pikirkan tempat yang aman buat kamu."
Leonel mengangguk, namun tampak ragu. Meski hatinya sudah mantap meninggalkan rumah, kekhawatiran dan ketidakpastian tentang masa depannya masih menghantui.
"Aku pengen tahu rasanya bebas, Rae, tapi aku takut… aku nggak tahu harus mulai dari mana," gumamnya.
Raehan tersenyum lembut. "Nggak perlu buru-buru. Kita mulai langkah kecil dulu. Aku tahu tempat yang mungkin bisa jadi awal yang bagus buat kamu," katanya, sambil memberikan secarik kertas bertuliskan alamat sebuah pusat komunitas di pinggiran kota.
Leonel memandangi kertas itu. "Pusat komunitas?"
“Ya,” jawab Raehan. "Di sana kamu bisa bertemu orang-orang baru, mungkin juga belajar sesuatu yang kamu suka. Mereka punya kelas seni, sastra, dan banyak hal lainnya. Tempat ini bukan cuma buat belajar, tapi juga buat ngumpul sama orang-orang yang punya pengalaman mirip kayak kamu.”
Leonel berpikir sejenak, dan menyadari bahwa ini adalah kesempatan untuk mencari jati dirinya. Selama ini, hidupnya hanya dipenuhi bayangan orang lain; mungkin kini saatnya ia menemukan cahayanya sendiri.
Dengan tekad yang mulai tumbuh, Leonel mengiyakan. “Aku akan coba, Rae. Tapi... kamu akan tetap di sini, kan?”
Raehan menepuk pundaknya. “Aku bakal selalu di samping kamu. Tapi mulai sekarang, kamu juga perlu belajar untuk berdiri sendiri. Ini hidup kamu, Nel. Hidup yang harus kamu jalani sesuai dengan keinginanmu, bukan harapan orang lain.”
Hari itu, mereka meninggalkan kedai dan melangkah menuju tempat baru yang akan menjadi titik awal kehidupan Leonel. Sementara Raehan mengantarnya, Leonel mulai merasakan campuran antara ketakutan dan antusiasme. Jalan di hadapannya masih asing, namun untuk pertama kalinya, ia merasakan harapan bahwa ia punya pilihan untuk menciptakan jalan hidupnya sendiri.
(Pusat Komunitas Mahkota Cahaya)
Sesampainya di pusat komunitas, Leonel melihat sebuah bangunan sederhana namun nyaman, dengan taman kecil di depannya. Di dalam, ia mendengar suara tawa, musik, dan perbincangan ramah dari beberapa orang yang sedang mengikuti kegiatan.
Seorang wanita paruh baya yang ramah menyambut mereka. "Selamat datang di Mahkota Cahaya. Apa ada yang bisa saya bantu?"
Raehan menjawab, “Ini adik saya, Leonel. Dia tertarik bergabung di sini dan mungkin mau coba beberapa kelas yang ada.”
Wanita itu tersenyum hangat ke arah Leonel. “Kita punya banyak kelas di sini, mulai dari seni rupa, musik, hingga menulis. Kamu bisa pilih yang kamu suka, atau kalau mau mencoba dulu, kami punya program uji coba selama beberapa hari."
Leonel tersenyum lemah. “Saya... saya mungkin ingin mencoba kelas menulis.”
Wanita itu mengangguk. "Pilihan yang bagus! Menulis itu seperti melukis perasaan dan pengalaman kita. Kelasnya mulai besok pagi. Semoga kamu menikmati pengalaman di sini."
Leonel mengucapkan terima kasih, lalu mengikuti Raehan keluar. Saat mereka sampai di pintu, Raehan kembali memeluk Leonel dengan erat.
“Ini perjalanan kamu sekarang, Nel. Kamu nggak sendiri. Kalau butuh, aku selalu ada. Tapi mulai saat ini, kamu harus percaya kalau kamu bisa melalui semuanya,” ujar Raehan, meyakinkan Leonel.
Leonel mengangguk dengan penuh keyakinan, lalu menatap kakaknya sekali lagi sebelum berjalan masuk ke dalam. Langkah pertamanya di pusat komunitas Mahkota Cahaya terasa berat, namun juga penuh semangat. Ia tahu bahwa ini hanyalah awal dari perjalanan panjang untuk menemukan dirinya.
Malam harinya, Leonel duduk di kamar kecilnya di pusat komunitas. Ia membuka sebuah jurnal kosong yang diberikan oleh Raehan, lalu mulai menulis, mencoba mengungkapkan perasaan dan pikirannya yang selama ini tersembunyi. Di atas kertas, ia mulai menuliskan seluruh ketakutannya, harapannya, dan mimpi yang belum pernah ia beranikan untuk dikejar.
Dengan setiap kata yang ia tulis, Leonel merasa semakin bebas dari bayangan keluarganya. Ia akhirnya menyadari bahwa mungkin, selama ini, ia bukan sekadar bayangan yang tak dianggap. Di sini, di tempat ini, ia bisa menjadi dirinya yang sebenarnya, tanpa takut atau merasa terkurung.
Dan dalam diam, ia tersenyum. Bab baru dalam hidupnya telah dimulai—bab yang ia tulis sendiri, tanpa bayangan siapapun.