Masa lalu yang kelam mengubah hidup seorang ALETHA RACHELA menjadi seseorang yang berbanding terbalik dengan masa lalunya. Masalah yang selalu datang tanpa henti menimpa hidup nya, serta rahasia besar yang ia tutup tutup dari keluarganya, dan masalah percintaan yang tak seindah yang dia banyangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Delima putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15:Diantar pulang
Setelah bel pulang sekolah berbunyi, suasana di luar cukup ramai dengan siswa yang bergegas pulang. Aletha, yang biasanya pulang bersama kedua temannya, Lala dan Rere, kali ini berjalan pelan menuju gerbang sekolah sendirian. Kedua temannya mendadak ada urusan dengan seseorang, dan mereka hanya membawa satu mobil. Aletha merasa sedikit bingung, meski hatinya masih hangat setelah percakapan dengan Dafit pagi tadi. Ia berencana menelpon salah satu abangnya untuk menjemput, tetapi saat ia hendak melakukannya, tiba-tiba sebuah mobil mendekat.
Dafit muncul di depan gerbang sekolah dengan mobil hitamnya, mengenakan jaket hitam yang biasa ia pakai. Senyum tipis terpancar di wajahnya ketika melihat Aletha yang berdiri sendirian. Wajahnya terlihat sedikit cerah, meskipun ada sedikit kecemasan di balik tatapannya.
"Tha," panggil Dafit dengan suara lembut namun penuh perhatian, matanya mencari-cari reaksi Aletha, "Lo mau gue antar pulang?" katanya, seolah-olah menawarkan sesuatu yang lebih dari sekedar perjalanan pulang biasa. Ada nada harapan yang terpendam dalam suaranya, meski ia berusaha untuk tetap terdengar santai.
Aletha menoleh dengan sedikit terkejut, sejenak terdiam, lalu melihat mobil hitam itu dengan ragu. Matanya bertemu dengan mata Dafit, dan tanpa sadar, hatinya berdebar sedikit lebih cepat. Ia teringat obrolan mereka pagi tadi—saat Dafit mengungkapkan rasa tertariknya. Perasaan aneh itu masih terasa, namun ia berusaha untuk tetap tenang.
"Lo... serius?" tanya Aletha, meski suara yang keluar sedikit lebih lembut daripada yang ia harapkan. Ia memandangi Dafit, masih mencoba untuk menangkap ekspresi wajahnya, mencoba mencari tahu apakah ini hanya sekedar candaan atau ada maksud lain di balik ajakannya.
Dafit tersenyum lebih lebar mendengar pertanyaan itu, senyuman yang lebih tulus dari biasanya. “Serius banget, Tha,” jawabnya, sedikit tertawa untuk menenangkan diri sendiri, meski dalam hatinya ia merasa sedikit gugup. “Gue nggak pernah ngajak cewek pulang sebelumnya. Tapi, kalau itu lo... rasanya kayak nggak masalah. Lagian, lo kan nggak suka naik angkutan umum, kan?”
Aletha menatapnya sejenak, sedikit bingung, namun kemudian ia mengangguk pelan, seolah-olah tidak bisa menolak tawaran itu. "Hmm, boleh juga. Gue agak malas pulang naik angkutan umum," jawabnya, berusaha tidak terlalu terlihat antusias meskipun hatinya sedikit berbunga. “Tapi, lo tahu kan kalau gue nggak terlalu suka kalau orang lain ngelakuin terlalu banyak untuk gue.”
Dafit menatapnya penuh pengertian, mencoba menghindari kesan bahwa dia terlalu memaksa. “Gue ngerti kok, Tha. Ini nggak ada paksaan. Cuma pengen nganterin lo pulang. Kalau lo merasa nggak nyaman, gue ngerti kok. Gue bisa pergi aja,” jawabnya dengan nada yang lebih lembut dan penuh perhatian.
Aletha melihat kesungguhan di mata Dafit, dan untuk beberapa detik, ia merasa sedikit bingung dengan perasaannya sendiri. Namun akhirnya, ia menghela napas dan tersenyum kecil. “Ya udah, gue ikut,” katanya sambil membuka pintu mobil dan duduk di kursi penumpang depan.
Dafit tersenyum lebar begitu mendengar jawabannya. Ia merasa sedikit lega meski tetap ada keraguan di dalam hatinya. “Ayo, Tha. Masuk sini,” katanya sambil menutup pintu mobil dan menghidupkan mesin, lalu melaju pelan meninggalkan keramaian sekolah.
Perjalanan mereka terasa berbeda dari biasanya. Suasana di dalam mobil terasa aneh, tidak ada obrolan yang mengisi ruang kosong, hanya suara mesin mobil dan deru angin yang menerpa kaca. Aletha melirik ke luar jendela, matanya mengikuti pemandangan yang berlalu, namun pikirannya sedikit kacau. Ia merasa canggung, tetapi entah kenapa, ada kenyamanan yang tak biasa di antara mereka.
Setelah beberapa menit, Dafit memutuskan untuk membuka percakapan, berusaha mencairkan suasana yang sedikit tegang. "Lo tahu, Tha, gue nggak pernah ngajak cewek pulang sebelumnya," katanya dengan suara pelan, "Tapi rasanya nggak masalah banget kalau itu lo."
Aletha menoleh ke arah Dafit, sedikit terkejut dengan pernyataan yang begitu langsung. "Lo beneran serius ya?" tanyanya, suaranya sedikit meragukan, meskipun ia merasa ada perasaan hangat yang perlahan tumbuh di dalam dirinya. Ia berusaha menahan perasaan itu, tetapi ada sesuatu yang membuat hatinya tergetar.
Dafit tersenyum, matanya tetap fokus ke jalan di depan, namun ada kepastian dalam suaranya. "Serius banget, Tha," jawabnya, kali ini dengan lebih percaya diri. "Gue cuma pengen lo tahu kalau gue siap jadi teman lo, bahkan lebih dari itu kalau lo nggak keberatan. Gue nggak pernah ngerasa gini sebelumnya. Gue merasa nyaman banget sama lo. Gue nggak tahu kenapa, tapi ada sesuatu yang bikin gue pengen lebih dekat sama lo."
Aletha merasa sedikit terkejut mendengar pengakuan itu. Ia menundukkan kepala sejenak, berusaha menenangkan pikiran yang mulai berlarian. “Hmm, lo emang nggak gampang ya, Angkasa,” jawab Aletha sambil tersenyum tipis, menggunakan nama panggilan yang sudah tak asing baginya. “Tapi gue nggak janji bakal langsung gampang percaya sama lo. Mungkin kita bisa lihat aja nanti. Gue masih butuh waktu buat pikirin semuanya. Gue nggak mau langsung terbawa perasaan.”
Dafit mengangguk, hatinya berdebar mendengar kata-kata Aletha. "Kadang, kita nggak perlu siap-siap banget. Mungkin kita cuma butuh waktu buat ngejalanin ini pelan-pelan. Gue nggak akan maksa lo untuk terbuka. Gue cuma pengen lo tahu, Tha, kalau gue di sini buat lo, kapan aja lo butuh." Ia berusaha meyakinkan Aletha dengan kata-katanya, meskipun hatinya sendiri sedikit ragu.
Aletha menghela napas panjang, sedikit terharu dengan pengertian Dafit. "Gue nggak tahu kenapa, Angkasa. Lo tuh selalu tahu apa yang gue butuhin, bahkan tanpa gue ngomong. Tapi ya, itu yang bikin gue bingung. Kenapa gue ngerasa kayak lo ngerti gue lebih dari yang lain? Gue nggak yakin gue siap buat semuanya."
Dafit menatapnya dengan lembut, merasakan kebingungan yang ada di dalam diri Aletha. "Kadang, kita nggak perlu siap-siap banget, Tha. Gue nggak akan buru-buru. Gue cuma pengen kita saling kenal lebih baik, dan kalau lo merasa nyaman, kita bisa coba lebih dari itu." Ia menambahkan dengan suara pelan dan penuh pengertian, "Gue nggak akan maksa. Semua ini di tangan lo. Gue cuma pengen tahu lo bisa ngandalkan gue, kapan aja."
Aletha menunduk, terdiam sejenak, lalu menatapnya dengan tatapan yang lebih dalam. “Kadang gue merasa takut, Angkasa. Takut kalau semuanya jadi lebih rumit. Gue nggak tahu gimana harus mulai atau apa yang harus gue rasain. Tapi lo, lo bikin gue ngerasa aman. Itu yang bikin gue bingung juga.”
Dafit menyentuh setir dengan lebih keras, berusaha menenangkan dirinya. “Itu wajar, Tha. Semua orang pasti merasa takut kalau ada perubahan. Tapi gue janji, gue nggak akan bikin lo merasa kesepian atau bingung. Kalau lo siap, kita jalan bareng. Kalau belum, kita bisa santai. Gue bakal sabar. Lo nggak sendiri, Tha.”
Aletha terdiam, pikirannya mulai tenang seiring suara lembut Dafit yang menyusup ke dalam hatinya. “Lo tahu nggak, Angkasa, lo itu beda. Lo bikin gue merasa nyaman dan nggak takut lagi untuk berhadapan sama semua yang bikin gue bingung. Mungkin, ya, kita bisa coba lihat ke depannya. Tapi nggak sekarang. Gue masih butuh waktu."
Dafit mengangguk dengan senyum penuh pengertian, meskipun hatinya berbunga mendengar kata-kata Aletha. "Gue ngerti, Tha. Gue akan menunggu sampai lo siap. Itu bukan masalah bagi gue." Ia mengucapkan kata-kata itu dengan penuh harapan dan keyakinan, meskipun ia tahu ini mungkin bukan akhir dari perjalanan mereka, tapi hanya permulaan yang penuh misteri.
Begitu mereka sampai di depan mansion Aletha, Dafit berhenti, menoleh ke arah Aletha dengan senyum yang lebih lembut, meskipun ada sedikit rasa berat di hatinya.
"Yah, sampai sini aja, Tha," kata Dafit dengan nada lembut, meskipun ia merasa sedikit enggan untuk mengakhiri perjalanan ini. "Gue senang banget bisa nganterin lo. Gue ngerasa... ada sesuatu yang beda, Tha. Gue nggak mau kalo ini cuma jadi perasaan sementara."
Aletha menatapnya sejenak, lalu mengangguk dengan senyum yang lebih tulus dari biasanya. “Thanks, Angkasa. Gue nggak tahu kenapa, tapi gue senang lo nganterin gue. Jangan khawatir, gue pasti baik-baik aja. Gue ngerti kok kalau lo punya banyak hal yang harus dipikirin. Gue nggak mau bikin lo bingung."
Dafit tersenyum, merasa lega dan senang mendengar kata-kata Aletha. "Gue senang bisa nganterin lo. Kapan-kapan kita ngobrol lagi, ya. Gue bakal nunggu kapan lo siap untuk ngobrol lebih banyak. Gue nggak masalah kalau lo butuh waktu. Gue akan sabar."
Aletha melambaikan tangan, berjalan menuju pintu mansion-nya, namun sebelum ia benar-benar pergi, ia menoleh sedikit dan memberikan senyum terakhir. Dafit menatapnya dengan mata penuh harapan, meskipun langkah mereka baru saja dimulai. Ia tahu bahwa perjalanan ini baru saja dimulai, dan meskipun ia harus menunggu, ia siap berusaha lebih keras untuk mendapatkan hati Aletha.