Yaya pikir mereka benar sebatas sahabat. Yaya pikir kebaikan suaminya selama ini pada wanita itu karena dia janda anak satu yang bernasib malang. Yaya pikir kebaikan suaminya pada wanita itu murni hanya sekedar peduli. Tak lebih. Tapi nyatanya, ia tertipu mentah-mentah.
Mereka ... sepasang kekasih.
"Untuk apa kau menikahi ku kalau kau mencintainya?" lirih Yaya saat mengetahui fakta hubungan suaminya dengan wanita yang selama ini diakui suaminya sebagai sahabat itu.
(Please yg nggak suka cerita ini, nggak perlu kasih rating jelek ya! Nggak suka, silahkan tinggalkan! Jgn hancurkan mood penulis! Dan please, jgn buka bab kalo nggak mau baca krn itu bisa merusak retensi penulis. Terima kasih atas pengertiannya.)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pesta Pernikahan
Pesta pernikahan itu berlangsung dengan meriah. Selaras dengan raut wajah sepasang pengantin yang sedang berdiri di atas pelaminan. Mereka tersenyum sumringah. Tergambar jelas kebahagiaan di wajah keduanya.
"Selamat ya!"
"Selamat. Semoga sakinah, mawadah, dan warahmah."
"Wah, akhirnya nikah juga."
"Selamat, Bro."
"Selamat, Mbak."
"Selamat ya, Cantik."
Ucapan selamat datang silih berganti dari para tamu undangan. Semua seolah turut berbahagia atas pernikahan kedua insan itu.
"Hai Ian, happy wedding ya. Semoga bahagia," ujar seorang wanita dengan seorang anak kecil di gendongannya.
Laki-laki yang bernama Andrian itupun tersenyum. "Hai Marissa. Terima kasih ya udah repot-repot datang," ucap Andrian.
"Om Ian, gendong." Anak kecil di gendongan Marissa tiba-tiba mengulurkan tangannya pada Andrian. Seperti sudah biasa, Andrian pun menyambut tangan kecil itu dan meraihnya ke dalam gendongannya. Gadis kecil itupun tersenyum lebar saat sudah berada di gendongan Andrian.
"Maaf ya, Ya. Anakku udah nempel banget sama Ian soalnya. Nggak bisa liat Ian sedikit, langsung minta gendong aja," ujar Marissa pada sang pengantin perempuan yang kerap dipanggil Yaya itu.
Nama panjangnya sebenarnya adalah Rayana Khanzania. Karena saat kecil ia tidak bisa menyebut huruf R, jadi ia kerap menyebut namanya sendiri Yaya, bukan Raya. Hingga akhirnya panggilan itu melekat hingga dewasa.
Yaya tersenyum kecil. Ia memang sudah tahu kalau Marissa merupakan sahabat laki-laki yang baru beberapa saat lalu menjadi suaminya.
"Iya, Mbak. Nggak papa. Mungkin itu karena ia melihat figur seorang ayah pada diri Mas Rian. Makanya dia sampai nempel gitu ke Mas Rian." Yaya berusaha memaklumi. Terlebih ia tahu kalau Marissa seorang janda. Bahkan Andrian kerap bertemu dengannya sambil mengajak gadis kecil bernama Tania itu. Apalagi saat melihat Tania, Yaya kerap teringat masa lalunya yang tidak memiliki seorang ayah. Ia pun memaklumi sikap manja Tania pada Andrian–suaminya.
Yaya tersenyum melihat Tania yang begitu manja pada Andrian. Saat Yaya mengalihkan pandangannya pada Marissa, entah mengapa ia melihat tatapan Marissa pada suaminya terlihat berbeda. Namun, Yaya tidak mau terlalu memikirkannya. Sebab yang ia tahu, Marissa merupakan sahabat kecil Andrian. Bahkan semua anggota keluarga Andrian pun mengenal baik Marissa.
"Dia benar-benar contoh family man. Pasti kalau kalian punya anak, dia akan sayang banget sama anak kalian." Yaya tersenyum mendengar kata-kata itu. Yaya pun mengakui kalau Andrian memang begitu telaten mengurus anak kecil. Namun, berbeda dengan ekspresi Marissa yang tampak sendu. "Ah, maaf, kok aku jadi melow ya. Mungkin karena aku kasihan sama Tania yang nggak pernah merasakan kasih sayang ayahnya. Sekali lagi selamat, ya." Marissa mencoba tersenyum lebar. Ia pun meminta Tania segera turun dari gendongan Andrian yang kerap ia sapa Ian itu.
"Tania, ayo turun, Nak!"
"Nggak mau. Mau cama Om Yan."
"Tapi Om masih sibuk, Nak."
"Ndak mau. Pokokna mau cama Om Yan," tolak Tania yang kini justru sudah memeluk erat leher Andrian. Marissa tampak salah tingkah. Yaya pun bingung harus apa sebab di belakang Marissa telah berjajar tamu undangan yang ingin bersalaman.
"Udah Sa. Nggak papa. Biar Tania sama aku aja."
"Tapi Ian ...."
"Mas." Yaya ingin meminta suaminya segera menyerahkan Tania pada Marissa mengingat mereka masih harus meladeni para tamu undangan. Tapi Andrian justru tidak mengindahkannya. Ia justru memilih mengajak Tania bersalaman dengan para tamu undangan membuat Yaya rasanya ingin kesal. Tapi ia mencoba bersabar. 'Namanya juga anak kecil,' batin Yaya mencoba menenangkan diri sendiri.
...***...
Resepsi pernikahan yang dilakukan di sebuah ballroom hotel itu pun akhirnya usai. Para tamu undangan pun akhirnya mulai undur diri menyisakan keluarga dan para pekerja saja.
"Pesta pernikahannya cukup meriah, Besan. Meskipun diselenggarakan di hotel kelas tiga, tapi ternyata tetap cukup meriah. Saya tadi sudah cukup was-was lho. Saya pikir tadi pestanya akan terasa membosankan. Untung saja tidak," ujar pak Priambodo–ayah Andrian.
Danang tersenyum kaku. Kata-kata pak Priambodo memang terdengar memuji, tapi juga seakan merendahkan.
"Semua karena kerja sama semua pihak. Lagipula ballroom ini sudah cukup kok untuk menampung para tamu undangan. Yang penting semua sudah terkonsep dengan baik. Ditambah tangan-tangan yang memang ahli di bidangnya membuat acara ini berlangsung sesuai ekspektasi."
"Tapi tempatnya ini nggak sesuai ekspektasi, Pak. Padahal anda seorang dokter kepala, seharusnya bisa dong mengadakan pesta pernikahan di tempat yang jauh lebih baik. Bukan ballroom hotel kelas tiga seperti ini," celetuk Bu Nurlela–ibu Andrian.
"Ma, bisa bantu ambil Tania," ucap Andrian sengaja agar ibunya tidak kembali mengeluarkan kata-kata yang bisa menyinggung orang tua Yaya.
"Oh, si cantik ternyata ketiduran. Sini, sini, ikut sama Oma." Ternyata sejak tadi Tania masih berada dalam gendongan Andrian. Nurlela pun segera mengambil Tania dari gendongan Andrian.
Djiwa yang melihat itu pun menghampiri sang kakak. "Dia siapa sih, Mbak? Kok minta gendong Mas Rian melulu? Dia bukannya anak kekasih gelapnya Mas Rian 'kan?" celetuk Djiwa yang masih duduk di bangku SMA itu.
"Hush, jangan bicara sembarangan!" sergah Yaya pada adalah adiknya yang memiliki selisih 12 tahun tersebut. "Dia itu Tania, anak Mbak Marissa, sahabatnya Mas Rian," tukas Yaya memberitahu.
"Sahabat?" Alis Djiwa menukik tajam. Ia tersenyum remeh.
"Udah nggak usah mikir macam-macam. Mbak mau ke kamar dulu."
"Mau ngapain? Cie, cie, mau buat dedek bayi ya?" goda Djiwa.
"Djiwa! Anak kecil nggak boleh ngomong sembarangan," sergah Yaya dengan pipi memerah.
"Yaya, anak Papa." Danang menghampiri Yaya. Ditatapnya wajah anak sambungnya yang begitu ia sayangi itu. Ia tidak pernah membedakan Yaya dengan adiknya. Baginya, kedua anaknya adalah anugerah terindah dari Yang Maha Kuasa. Berkat Yaya pula akhirnya ia bisa bertemu dengan Dina yang mana sudah berhasil membantunya menyembuhkan luka hati yang ia buat sendiri.
"Papa." Mata Yaya berkaca-kaca saat melihat laki-laki paruh baya yang berhasil menjadi cinta pertamanya itu. Meskipun Danang hanya ayah sambung, tapi berkat Danang ia bisa merasakan kasih sayang seorang ayah yang telah lama ia rindukan.
"Selamat atas pernikahannya, ya, Sayang. Semoga jadi pasangan sakinah, mawadah, dan warahmah. Putri Papa kini sudah menikah. Sudah menjadi seorang istri dan mungkin tak lama lagi akan menjadi seorang ibu. Berbahagialah, Sayang. Jangan lupakan Papa, ya. Dan kalau ada apa-apa atau butuh sesuatu, ingatlah, ada Papa yang akan selalu ada untukmu," ujar Danang dengan mata berkaca-kaca. Ia bahagia karena sudah berhasil mengantarkan anaknya ke pintu gerbang pernikahan. Namun, Danang sedikit sedih, setelah ini pasti putrinya akan lebih sibuk dengan suaminya. Akan tetapi, Danang tidak mempermasalahkan itu sebab baginya yang terpenting adalah kebahagiaan sang anak.
"Papa." Bibir Yaya melengkung ke bawah. Ia mulai tersedu. Danang lantas memeluk tubuh Yaya yang sudah bergetar. Dina yang melihatnya terasa terharu. Inilah yang membuat Dina tak henti-henti jatuh cinta pada suaminya. Kasih sayangnya begitu tulus. Tak pernah sedikitpun Danang mengungkap masa lalu Yaya. Ia pun tidak pernah membedakan baik Yaya maupun Djiwa. Ia seorang family man sejati.
Dina pun ikut meneteskan air matanya. Dari samping, Djiwa merangkul pundak sang ibu.
"Mama pelukannya sama Djiwa aja yuk." Djiwa tersengih. Dina terkekeh seraya menghapus air matanya. Danang yang menyadari keberadaan dua orang kesayangannya yang lain pun meminta mereka mendekat. Ia pun ikut merangkul keduanya.
"Ck, kayak nggak bakal ketemu lama aja pake pelukan kayak gitu," bisik Nurlela saat melihat keempat orang itu berpelukan.
"Ma, udah. Entar ada yang dengar 'kan nggak enak," sergah Andrian membuat sang mama mendengkus.
"Tapi emang keluarga istrimu itu lebay sih, Kak. Kayak apa aja gitu," timpal Ellena–kakak perempuan Andrian.
"Tuh, Ellen aja setuju ucapan Mama." Andrian menghela nafasnya dan segera menjauh daripada terus mendengar ocehan ibu dan kakak perempuannya itu.
...***...
...Halo everybody, selamat datang di cerita kesekian D'wie. Mohon dukungannya dengan tidak skip bab ya! Semoga suka dengan ceritanya. Terima kasih. ❤️❤️❤️...
...***...
...Happy reading 🥰🥰🥰...