Nadia, seorang gadis desa, diperkosa oleh seorang pria misterius saat hendak membeli lilin. Hancur oleh kejadian itu, ia memutuskan untuk merantau ke kota dan mencoba melupakan trauma tersebut.
Namun, hidupnya berubah drastis ketika ia dituduh mencuri oleh seorang CEO terkenal dan ditawan di rumahnya. Tanpa disangka, CEO itu ternyata adalah pria yang memperkosanya dulu. Terobsesi dengan Karin, sang CEO tidak berniat melepaskannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cecee Sarah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Satu
Malam itu desa sedang gelap gulita. Hujan turun deras sejak sore, membasahi setiap jengkal tanah hingga wangi khasnya memenuhi udara. Suara gemuruh sesekali membelah malam, diiringi kilat yang menyambar, menampakkan bayangan pohon-pohon yang bergoyang diterpa angin.
Nadia menggigil di bawah payung kecilnya, berjalan cepat menuju warung di ujung jalan desa. Listrik padam, dan ia hanya butuh satu hal—lilin. Di setiap langkahnya, genangan air memercik, membuat ujung celana dan sepatunya basah.
Namun tiba-tiba, langkahnya terhenti. Dari arah belakang, seseorang menarik lengan Nadia dengan kuat, begitu cepat hingga payungnya terlempar dan ia nyaris kehilangan keseimbangan.
“H-hei! Apa-apaan ini!” Nadia berusaha melawan, tapi genggaman pria itu terlalu kuat.
Ia diseret melewati jalan setapak kecil yang berliku, menuju sebuah rumah tua yang tampak tak terurus. Suara pintu kayu yang berderit terdengar menyeramkan saat ia didorong masuk. Pria itu mengunci pintu dari luar, meninggalkan Nadia dalam kegelapan yang pekat.
Nadia mencoba mengatur napasnya yang memburu. Pikirannya kalut, panik, dan jantungnya berdegup keras seakan ingin meledak. Di dalam ruang yang sunyi itu, hanya ada suara detak jam tua yang samar terdengar. Cahaya petir yang tiba-tiba menyambar di luar, menerangi ruangan untuk sekejap.
Dan di sana, di sudut ruangan, ia melihat sosok seorang pria. Siluetnya tegap, tinggi, dan entah bagaimana terlihat begitu menawan dalam kegelapan yang menambah kesan misterius.
"Siapa… kamu?" suaranya hampir berbisik, tak sanggup menahan rasa takut bercampur bingung.
Namun pria itu hanya diam, pandangannya tajam, membuat Nadia merasakan sensasi yang aneh. Ia merapatkan jaketnya, mencoba menenangkan diri. Ketakutannya tak juga berkurang; justru semakin memuncak ketika pria itu bergerak mendekatinya.
Dengan napas yang makin berat, ia mundur perlahan, berusaha menjaga jarak dari pria itu. Tapi tatapan dingin pria tersebut seolah membekukan gerakannya, membuatnya tak bisa berpikir jernih.
Nadia mulai merasa panik, dan kali ini ia benar-benar ketakutan. Pikirannya berteriak untuk bertindak, untuk mencari jalan keluar. Tanpa berpikir panjang lagi, ia berbalik dan melesat ke arah pintu, seolah harapan terakhirnya ada di sana. Tangannya gemetar ketika ia mencoba memutar gagang pintu, namun pintu itu terkunci rapat, tidak memberi celah untuknya keluar.
Paniknya makin memuncak. Nadia mulai mengetuk-ngetuk pintu dengan sekuat tenaga, lalu berubah menjadi memukul keras-keras hingga suaranya bergema di seluruh ruangan.
“Tolong! Tolong, buka pintunya! Siapa pun, tolong aku!” Teriaknya lantang, memecah keheningan malam yang diiringi suara hujan deras di luar jendela.
Tangannya yang gemetar semakin keras mengetuk pintu, namun hanya sunyi yang membalasnya, mengisyaratkan bahwa tak ada yang mendengarnya. Suara hujan dan gelegar petir di luar menelan suaranya, membuat ruangan itu terasa semakin mencekam.
Ia memukul pintu berulang kali, mencoba mencari kekuatan di tengah kepanikannya. Rasa dingin dari tatapan pria itu masih terasa di punggungnya, seakan mengawasi setiap gerakannya
Setelah beberapa saat, ia kehabisan tenaga, tubuhnya gemetar kelelahan. Hatinya serasa tenggelam dalam ketakutan yang semakin dalam. Hingga tiba-tiba, sebuah tarikan kuat mencengkeram bahunya dari belakang.
“Akh…!” Nadia merasakan dirinya ditarik lebih kuat dan didorong ke atas sofa tua di sudut ruangan. Dia terhempas dengan keras, dan sebelum dia bisa menyadari apa yang terjadi, sosok pria itu sudah berada di atasnya, mendominasi setiap inci ruang di sekitarnya.
Kilatan petir lain menyambar, menerangi wajah pria itu—tajam, tampan, dengan sepasang mata yang memancarkan sorot tak terbaca. Meskipun hanya siluet samar, ada sesuatu yang dingin dalam tatapannya, membuat Nadia terdiam di tempatnya.
Pria itu mendekat, membungkuk hingga wajahnya hanya berjarak beberapa inci dari wajah Nadia. “Kenapa kamu berteriak? Tidak ada yang akan mendengarmu di sini.”
Dalam kegelapan yang pekat, Nadia bisa merasakan napas hangat pria itu di wajahnya. Mata mereka bertemu dalam kegelapan, dan meskipun dia tidak bisa melihat dengan jelas, dia tahu pria itu mengamatinya dengan intens. Tiba-tiba, suara klik dari sebuah pistol terdengar jelas, dan sesuatu yang dingin menyentuh pinggangnya. Suara itu diikuti dengan bisikan tajam yang penuh ancaman,
"Lepaskan."
Persis dengan apa yang semua orang pikirkan.
Satu detik.
Dua detik.
Hingga detik demi detik berlalu...
Dengan tangan yang gemetar, Nadia mulai melepaskan pakaiannya. Setiap gerakan terasa berat, seolah-olah dia sedang menanggalkan lapisan terakhir dari harga dirinya.
Perasaan malu dan ketakutan bercampur menjadi satu, membuat air matanya tak tertahankan lagi. Namun, dia tidak memiliki pilihan lain—pistol yang dingin masih menekan pinggangnya, mengingatkan dia akan bahaya yang mengintainya jika dia menolak.
Mata Samuel dipenuhi dengan hasrat yang intens. Dengan satu gerakan cepat, ia merobek lapisan terakhir pakaian Nadia, seakan itu hanyalah kertas tipis.
Dengan pakaian terakhir yang dilepas, tubuh Nadia memancarkan keindahan yang tidak tertutupi. Kulitnya yang halus tampak bersinar di bawah cahaya bulan, membentuk lekuk tubuh yang sempurna dengan pinggang ramping dan kaki panjang yang terentang. Setiap gerakan tubuhnya yang halus menjadi semakin menonjol, membuat keindahan fisiknya sangat memikat dan sulit diabaikan.
Samuel Alexander menatap Nadia dengan tatapan penuh hasrat, matanya dipenuhi dengan dorongan yang tak tertahan. Kegelapan malam dan tekanan situasi seolah menambah intensitas hasratnya, membuat setiap gerakan dan tatapan Samuel semakin mengungkapkan betapa mendalamnya keinginan yang dirasakannya.
Namun, ada sebuah alasan yang menggerakkan Samuel ke titik ini. Dia telah dijebak oleh musuhnya dan dipaksa mengonsumsi afrodisiak yang membuatnya berada dalam situasi ini. Dalam keadaan terpaksa dan tanpa pilihan lain, Samuel merasa bahwa melakukan hubungan seksual adalah satu-satunya jalan keluar untuk melepaskan dorongannya yang semakin membara.
Dengan dorongan yang tak tertahan, Samuel meraih tubuh Nadia dan menekannya dengan keras. Tangan-tangannya meraba dan menjelajahi kulitnya dengan penuh hasrat.
Ciumannya yang penuh gairah menutup mulut Nadia yang terkejut, menciptakan gelombang sensasi yang menambah ketegangan.
Air mata menggenang di matanya yang indah. Dengan putus asa, Nadia mendorong pria itu menjauh. "Lepaskan aku, dasar bajingan!"
Dorongan itu membuat bibirnya bebas sejenak, namun kehadiran pria itu masih mendesak. Kulitnya terasa begitu lembut, manis, dan aroma tubuhnya yang halus justru membuat keadaan semakin memanas.
"Lepaskan aku!" serunya, kini merasa sangat rentan dan malu. Nadia berusaha sekuat tenaga untuk melawan, mencakar dan menggigit dengan putus asa.
Namun perlawanan itu justru membakar keinginannya lebih jauh. Pria itu dengan mudah menangkap pergelangan tangannya dan menekannya di atas kepala, sementara satu tangannya yang lain tetap menjelajah tanpa ragu.
"Jangan melawan, atau aku tak segan melakukan hal lebih buruk." Suaranya serak, penuh gairah yang sulit dibendung. Meski begitu, nada dingin dan tatapan tajamnya mengungkapkan sisi kejam yang mengintimidasi.
Saat bibirnya digigit kuat dengan mata berkaca-kaca, pria itu tiba-tiba menyatu dengannya... Masuk ke dalam inti mahkotanya.
Wajahnya meringis kesakitan, rasa sakit itu begitu intens hingga ia merasa hampir tak tertahankan. Namun, di hadapan pria ini, ia menolak untuk berteriak dan kehilangan harga dirinya.
Terperangkap dalam kehangatan dan kelembutannya, pria itu semakin kehilangan kendali, seolah baru saja mengecap buah terlarang yang begitu manis.
Nadia belum pernah merasakan perlakuan sekasar ini sebelumnya. Dengan geram, ia membuka mulut dan menggigit bahu kirinya.
Meski ia bisa merasakan darah di mulutnya, pria itu hanya mengerang pelan dan tetap melanjutkan gerakannya.