Kimberly atau dipanggil Lily usia 21 tahun gadis tangguh yang memiliki bela diri tingkat tinggi dan kecerdasan di atas rata-rata. Mempunyai Alter Ego bernama Emily, orang yang dingin, terkejam tanpa ampun terhadap musuhnya, tidak mempunyai hati. Emily akan muncul apabila Lily dalam keadaan sangat bahaya. Namun konyolnya, Lily mati karena bola susu yang tersangkut di tenggorokannya ketika sedang tertawa terbahak-bahak karena melihat reality show Korea favorit nya.
Lily terbangun di tubuh Kimberly Queeni Carta, pewaris tunggal keluarga Carta, konglomerat no 02 di Negara nya. Mempunyai tunangan bernama Max yang tidak menyukainya dan terang-terangan menjalani hubungan dengan Lolita.
Kimberly sekarang bukanlah Kim si gadis lemah dan penakut seperti dulu. Kimberly menjadi sosok yang menakutkan dan membalikkan penghinaan.
Kimberly bertemu dengan Davian Isandor Dhars, tunangan masa kecilnya yang dingin dan diam-diam selalu melindunginya.
Akankah Lily akan menemukan cinta sejati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bergosip Bersama Suster Rumah Sakit
Lily berjalan menuju bagian administrasi setelah peristiwa tersebut. Matanya masih terbawa kesal dengan kejadian yang baru saja ia saksikan, terutama tentang sikap suami dari ibu hamil itu. Ia menyapa petugas administrasi dengan nada ingin tahu.
"Bu, ibu hamil yang tadi, namanya siapa ya?" tanya Lily, masih tergesa-gesa.
Petugas administrasi yang sedang sibuk mengatur dokumen itu menatapnya sebentar, lalu berkata, "Oh, itu Nella Firohtul Aini, nona. Yang sedang melahirkan, kan?"
Lily mengangguk cepat. "Iya, betul. Mereka pakai BPJS atau bayar sendiri?" tanyanya penasaran.
"Sebenarnya, mereka pakai BPJS sih. Tapi, lihat tuh, ibunya nggak mau kalau dia dioperasi. Ribut banget soal lahiran normal, padahal dokternya udah jelas bilang harus operasi," jawab petugas administrasi sambil mengeluh.
"Ah, iya, ribut juga. Mertua sih kadang nggak mikir ya," balas Lily sambil menggelengkan kepala. "Pusing banget, sih, lihat ibu mertuanya yang nggak mau ngerti," lanjutnya dengan nada kecewa.
Petugas administrasi terlihat sependapat, sambil menghela napas, "Yang lebih bikin kesal tuh suaminya. Ngapain coba diam aja, kayak nggak peduli sama istrinya. Terus ikut disalahin mertua, nggak bantuin sama sekali."
"Aduh, iya! Yang begitu tuh harus dibuang ke laut aja," kata Lily dengan nada sinis. "Kalau nggak berani ngomong, ngapain ada di situ?" lanjutnya sambil melemparkan pandangan tajam.
Suster yang tengah berjaga di dekat sana, yang ternyata ikut mendengarkan percakapan mereka, juga tidak bisa menahan diri. "Betul, Betul. Suami kayak gitu tuh nggak usah dipertahankan. Harusnya dia yang tegas sama ibunya, dong! Kasihan banget tuh istri."
Lily mengangguk setuju, "Bener banget. Masak harus ibu yang hamil yang lebih berani. Terus, kalau ibu mertuanya lebih dominan gitu, harusnya dia yang bela istrinya, dong." Lily kemudian memutar-mutar bola matanya dengan ekspresi kesal.
Petugas administrasi memiringkan kepala sambil tertawa kecil, "Sayangnya ya, banyak banget kasus kayak gitu di rumah sakit ini. Tadi ngeliatnya tuh bener-bener kayak sirkus! Udah mual lihat mereka berantem terus."
Lily tertawa sejenak, saking kesalnya tentang kasus ini. "Jadi, kalau buat perempuan gitu harus siap punya suami yang lebih tahu kondisi mereka, bukan malah nunggu dari belakang gitu, kan?"
Suster yang ada di samping mereka menimpali dengan suara seiring, "Kadang-kadang emang mereka cuman nunggu dirawat aja di rumah sakit. Hahaha... kita yang kerja malah ngeliatin aja!"
Percakapan mereka berlanjut dengan celotehan sinis penuh canda, dan tanpa sadar, waktu pun berlalu. Lily merasa sedikit terhibur bisa bercanda seperti ini walaupun kondisi tadi cukup membuatnya kesal.
🙋
Setelah berlama-lama mengobrol dengan petugas administrasi dan suster jaga, Lily merasa sudah cukup. Senyum sinis dan tawa mereka menemani langkahnya kembali menuju ruangannya.
Namun, ketika berbalik, salah satu suster jaga dengan wajah bingung mendekatinya. "Eh, Nona, sebentar... dari unit berapa, ya?" tanya suster itu, masih ragu.
Lily tersenyum santai dan menjawab tanpa ekspresi besar, "Oh, dari ruang VVIP nomor 01, lantai 2, gedung sebelah..."
Mendengar itu, wajah para petugas dan suster yang ada di dekat sana langsung berubah, mata mereka membelalak seakan baru tersentak oleh kenyataan.
"Sampai ketemu lagi, ya!" ucap Lily sambil melambaikan tangan, menyapa mereka dengan nada ramah dan ceria seperti tidak ada yang perlu dirahasiakan.
"Sampai ketemu, Nona. Hati-hati di jalan, ya..." jawab suster itu dengan sedikit kekaguman yang bisa mereka sembunyikan, walaupun ada sedikit heran di benak mereka tentang bagaimana sosok konglomerat seperti Lily bisa begitu rendah hati dan biasa saja.
Setelah Lily hilang dari pandangan mereka, mereka langsung heboh bersama.
Salah seorang dari mereka hampir tak percaya, "Gilaa Gilaa oh my good, VVIP nomor 01... itu kan di tempat konglomerat tuh, ya? Untuk pasien-pasien yang kaya banget..."
Suster lain yang masih terperangah mengangguk pelan. "Iya, benar. Biasanya orang-orang yang di sana... wah, kalau dari mereka sih, nggak pernah berinteraksi atau bercanda gitu di area umum. Kebanyakan pada sombong, semua minta dirawat secara eksklusif, tanpa mau terlihat... bukan kayak Nona yang asyik banget ngobrol di sini."
Ketika berjalan ke arah ruangannya, di hati suster dan petugas itu sudah muncul beberapa tanda tanya. "Apa memang benar dia anak konglomerat? Tapi kenapa sikapnya beda banget sama pasien-pasien kaya yang sering kami rawat...," pikir mereka dalam hati, seolah terus menelisik sebuah misteri yang belum terungkap.
Suster itu pun nyaris tak percaya melihat Lily yang santai, berjalan-jalan dan bercanda dengan para petugas tanpa ada tanda-tanda keangkuhan atau kesombongan dari kalangan konglomerat pada umumnya.
sedangkan Lily yang telah menjauh dari tempat itu, ia tahu apa yang di fikiran semua perawat dan petugas administrasi disana. Lily hanya tertawa kecil, tampak santai dan tetap melangkah menjauh dari sana.
Namun dalam hatinya, ia sedikit tersenyum. "Kalau mereka tahu betapa sederhana aku dibandingkan ekspektasi mereka, pasti mereka lebih bingung." Lily merasa di satu sisi, kesederhanaan dirinya, tanpa menyombongkan status keluarga, mungkin bisa jadi kejutan tersendiri bagi orang-orang di sini.
Lily melangkah pelan menuju ruang VVIP yang sudah menunggu di lantai atas, sedikit merasa seperti orang luar yang bukan bagian dari dunia mereka yang berkelas. Namun ia menyukainya, perasaan bebas tanpa beban.
🛁
Sesampainya di ruangannya, Lily langsung menuju kamar mandi, mencuci wajahnya dengan sabun muka dan menyikat giginya dengan gerakan yang santai. Setelah itu, ia berdiri di depan cermin sejenak, memandang dirinya dengan ekspresi bosan.
Lily mendesah pelan, menyeka air di wajahnya dengan handuk kecil. "Kayaknya besok harus mandi deh... pikirnya, sambil melirik sekeliling ruangan yang mewah. "Badan udah lengket banget, dan bau jigong. Kurang afdol kalau cuma dilap doang."
Ia merasa sedikit risih dengan kondisi tubuhnya yang terasa lengket setelah seharian bergerak keliling rumah sakit, tanpa sempat mandi. "Meskipun di sini serba elegan, tetap aja gak nyaman kalau tubuh gak segar." Lalu, Lily melihat bak mandi besar yang ada di sudut kamar, dan berencana untuk mengisi waktu dengan bersantai mandi keesokan harinya.
"Besok aja, deh. Kalau lagi bosen, kan bisa jadi momen bersantai. Tapi hari ini, masih mending dilap pakai handuk, kan?" katanya, sedikit tertawa pada dirinya sendiri.
Dengan pemikiran itu, Lily mengambil handuk besar dan melap badan yang terasa lengket. Namun, dalam hati, ia tahu bahwa seiring waktu, selalu ada hal-hal kecil yang bisa membuatnya merasa lebih nyaman.
Setelah selesai dengan kegiatannya, Lily membuka pintu ruangannya dan keluar dengan langkah ringan. Namun, begitu ia melangkah ke ruang tengah, matanya langsung tertumbuk pada sosok pria tampan yang duduk santai di sofa mewah itu.
Lily tertegun sejenak. "Dave?" pikirnya, tak percaya.
Ya, ternyata lelaki yang tampaknya sedang memanjakan diri di sofa itu adalah Dave, kekasih rahasianya. Meskipun seragam sekolah yang ia kenakan tampak agak kusut, Dave tetap terlihat sangat tampan, dengan rambutnya yang sedikit berantakan namun tetap menyatu dengan pesona wajahnya yang tajam dan penuh percaya diri.
mantap grazy y
lanjut lagi Thor...