Raka adalah seorang pemuda biasa yang bermimpi menemukan arti hidup dan cinta sejati. Namun, perjalanan hidupnya berbelok saat ia bertemu dengan sebuah dunia tersembunyi di balik mitos dan legenda di Indonesia. Di sebuah perjalanan ke sebuah desa terpencil di lereng gunung, ia bertemu dengan Amara, perempuan misterius dengan mata yang seakan memiliki segudang rahasia.
Di balik keindahan alam yang memukau, Raka menyadari bahwa dirinya telah terperangkap dalam konflik antara dunia nyata dan kekuatan supranatural yang melingkupi legenda Indonesia—tentang kekuatan harta karun kuno, jimat, serta takhayul yang selama ini dianggap mitos.
Dalam perjalanan ini, Raka harus menghadapi berbagai rintangan, termasuk rasa cintanya yang tumbuh untuk Amara, sembari berjuang mengungkap kebenaran yang tersembunyi di balik cerita rakyat dan keajaiban yang mengikat mereka berdua. Akan tetapi, tidak semua yang bersembunyi bisa dipercaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ihsan Fadil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10: Percakapan yang Menyentuh
Ketegangan di Tengah Kegelapan
Raka, Amara, dan Arjuna melanjutkan perjalanan mereka di dalam gua yang semakin gelap dan menekan. Suara air menetes dari stalaktit di atas kepala mereka menjadi satu-satunya irama di tengah keheningan yang membebani. Cahaya dari liontin Amara tetap menjadi pemandu mereka, meski sinarnya kini mulai redup.
“Berapa lama lagi kita harus berjalan?” tanya Arjuna, suaranya rendah tapi terdengar penuh kekhawatiran.
Raka berhenti sejenak, mengangkat obor untuk melihat dinding gua yang mulai dipenuhi ukiran baru—gambar pahlawan dan naga, seolah menggambarkan pertarungan besar. “Aku rasa kita sudah dekat. Lihat ukiran ini. Mereka seperti peta yang menunjukkan sesuatu.”
Amara melangkah lebih dekat, memperhatikan detail gambar. “Ini bukan hanya peta, Raka. Ini adalah cerita. Seorang pahlawan yang berusaha menyelamatkan dunia dengan kekuatan yang dia temukan di dalam dirinya sendiri.”
“Apa maksudmu?” tanya Raka, mendekat ke sisinya.
“Sepertinya...” Amara terdiam sejenak, lalu melanjutkan dengan hati-hati, “ada pesan di sini bahwa kekuatan itu bukan untuk dimiliki, tetapi untuk dipahami dan digunakan demi kebaikan bersama.”
“Dan apa yang terjadi jika itu jatuh ke tangan yang salah?” tanya Arjuna skeptis.
Amara menggeleng pelan. “Hancur. Semuanya akan hancur.”
---
Hati yang Terbuka
Mereka melanjutkan perjalanan hingga tiba di sebuah ruangan besar di dalam gua. Langit-langitnya menjulang tinggi, dihiasi kristal yang memancarkan cahaya lembut. Di tengah ruangan, ada sebuah altar batu dengan ukiran naga yang melingkar di sekelilingnya.
Amara mendekati altar itu, tangannya gemetar saat menyentuh permukaan yang dingin. “Ini tempatnya,” katanya lirih.
Raka menatapnya dari belakang, mencoba membaca ekspresi wajahnya. Ia mendekat, lalu meletakkan tangannya di pundak Amara. “Amara, kau terlihat cemas. Ada apa?”
Amara menarik napas dalam-dalam, lalu berkata pelan, “Aku merasa seperti pernah berada di sini sebelumnya, Raka. Tapi aku tidak tahu bagaimana atau kapan. Seperti ada sesuatu yang mencoba mengingatkanku.”
Raka terdiam sejenak, lalu berkata, “Apa pun itu, kita akan menghadapinya bersama. Kau tidak perlu memikul ini sendirian.”
Amara menoleh, menatapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Raka, bagaimana kalau semua ini terlalu berat? Bagaimana kalau aku melakukan kesalahan?”
Raka tersenyum, menggenggam tangannya dengan lembut. “Tidak ada yang sempurna, Amara. Tapi aku percaya padamu. Dan aku percaya kita bisa melalui ini, bersama.”
Kata-kata itu membuat Amara merasa sedikit lega. Ia mengangguk pelan, lalu kembali memusatkan perhatian pada altar.
---
Kekuatan yang Terbangkitkan
Tiba-tiba, liontin di leher Amara mulai bersinar terang. Cahaya itu memancar ke seluruh ruangan, menyinari ukiran naga di altar. Dalam sekejap, ukiran itu tampak hidup, bergerak seperti naga sungguhan yang terbang mengelilingi ruangan.
“Apa yang terjadi?” seru Arjuna, menarik busurnya dengan siaga.
Namun, Amara tampak tenang. Ia melangkah ke tengah ruangan, cahaya liontin semakin terang. Dari dalam altar, sebuah suara rendah bergema, berbicara dalam bahasa yang tidak mereka mengerti.
Amara menutup matanya, seolah mencoba mendengar lebih jelas. Kemudian ia berkata, “Dia bertanya apakah kita siap menerima ujian.”
“Ujian? Ujian seperti apa?” tanya Raka dengan nada waspada.
“Sebuah perjalanan ke dalam hati kita sendiri,” jawab Amara, suaranya penuh keyakinan.
Seketika, cahaya dari liontin menyelimuti mereka bertiga, membawa mereka ke dalam dunia yang berbeda—sebuah tempat yang penuh dengan kilasan masa lalu, ketakutan, dan harapan.
---
Pertemuan dengan Masa Lalu
Amara berdiri sendirian di tengah padang yang luas. Di hadapannya, ia melihat bayangan dirinya saat kecil, menangis sendirian di tepi sungai.
Ia mendekat, berusaha menyentuh bayangan itu, tetapi suara dari belakangnya menghentikan langkahnya. “Kau tidak bisa mengubah masa lalu, Amara,” kata suara itu.
Amara berbalik dan melihat sosok perempuan tua dengan wajah penuh kebijaksanaan. “Tapi aku bisa belajar darinya,” balas Amara.
Wanita itu tersenyum. “Jika kau bisa menerima masa lalumu, kau akan menemukan kekuatan yang sebenarnya.”
---
Kembali ke Dunia Nyata
Ketika cahaya itu memudar, mereka bertiga kembali berada di ruangan gua. Raka dan Arjuna tampak linglung, tetapi Amara tampak berbeda. Matanya bersinar dengan keyakinan baru, dan liontinnya kini bersinar lebih terang.
“Apa yang terjadi tadi?” tanya Arjuna.
Amara menjawab, “Kita diuji untuk menghadapi ketakutan dan keraguan kita. Dan kita berhasil.”
“Jadi apa langkah kita selanjutnya?” tanya Raka.
Amara menatap altar di depan mereka, yang kini memunculkan sebuah peta bercahaya. Ia mengambil peta itu dengan hati-hati, lalu berkata, “Kita melanjutkan perjalanan. Rahasia ini masih jauh dari selesai.”
Dengan peta baru di tangan mereka, ketiganya bersiap untuk melangkah ke tahap berikutnya dalam petualangan mereka—sebuah perjalanan yang akan membawa mereka semakin dekat pada jawaban, tetapi juga semakin berbahaya.
---
Keberanian yang Tersembunyi
Saat Amara memegang peta bercahaya itu, sebuah getaran halus terasa menjalar melalui tubuhnya. Peta itu tidak hanya menunjukkan rute, tetapi juga memancarkan aura yang seolah berbicara langsung ke jiwanya.
“Kalian merasakannya?” tanya Amara sambil menoleh pada Raka dan Arjuna.
“Apa yang kau maksud?” jawab Raka dengan dahi berkerut, sementara Arjuna mengamati peta dengan tatapan curiga.
“Peta ini... seperti memberikan kita lebih dari sekadar jalan. Ada pesan di dalamnya, tapi aku belum sepenuhnya mengerti,” kata Amara, suaranya bergetar antara rasa penasaran dan kekhawatiran.
Raka mendekat dan meletakkan tangan di pundaknya. “Apa pun itu, kita akan mengungkapnya bersama. Kau tidak perlu memikul semua ini sendiri.”
Namun, sebelum Amara sempat menjawab, lantai gua mulai bergetar. Batu-batu kecil jatuh dari langit-langit, dan suara gemuruh mulai terdengar dari kejauhan.
“Apa lagi ini?” seru Arjuna, segera meraih busur dan bersiap siaga.
Amara menatap peta itu lagi, dan cahaya dari peta memunculkan simbol naga yang bergerak, mengarah ke salah satu lorong di sisi kanan gua. “Kita harus pergi sekarang! Peta ini menunjukkan jalan keluar.”
Raka dan Arjuna tidak membuang waktu. Mereka mengikuti Amara yang berlari menuju lorong yang dimaksud. Getaran semakin kuat, dan suara gemuruh berubah menjadi raungan—sebuah suara yang tidak menyerupai makhluk biasa.
---
Pertemuan dengan Sang Penjaga
Saat mereka berlari menembus lorong, mereka tiba di ruangan lain yang lebih besar, dengan langit-langit yang dipenuhi stalaktit berkilauan. Di tengah ruangan itu, seekor makhluk besar menyerupai naga berlapis batu berdiri menghalangi jalan keluar. Matanya yang menyala merah menatap mereka dengan penuh kewaspadaan.
“Ini penjaga altar,” bisik Amara, matanya membelalak.
“Naga?” gumam Raka sambil mengangkat pedangnya.
Arjuna menatapnya dengan serius. “Apa kita harus melawan makhluk sebesar itu? Kita bahkan tidak tahu bagaimana melukainya!”
Amara melangkah maju, mencoba menghentikan keduanya. “Tunggu! Kita tidak di sini untuk melawannya. Peta ini menunjukkan bahwa naga ini bukan musuh, tetapi ujian terakhir.”
Naga itu mengaum, getarannya mengguncang seluruh ruangan. Dari mulutnya, keluarlah api kecil yang tidak membakar tetapi membentuk simbol di udara. Simbol itu serupa dengan yang ada di liontin Amara.
“Liontinku... ini kuncinya!” Amara segera mengangkat liontin itu, yang kemudian memancarkan cahaya terang. Naga itu berhenti mengaum, lalu menunduk seolah memberikan penghormatan.
“Dia... menerima kita?” tanya Raka tak percaya.
Amara mengangguk, suaranya dipenuhi rasa kagum. “Dia mengizinkan kita lewat. Tapi ini juga peringatan, Raka. Dia hanya akan melindungi kita selama kita tetap berada di jalur yang benar.”
---
Rahasia yang Tersimpan
Saat naga itu perlahan bergerak ke samping, membuka jalan keluar, Amara mendekati makhluk itu. Dengan keberanian yang tak terduga, ia mengulurkan tangannya dan menyentuh kulit naga yang dingin seperti batu. Mata naga itu bertemu dengan matanya, seolah berbicara tanpa kata.
“Apa yang dia katakan?” tanya Raka, yang mendekat dengan hati-hati.
Amara tersenyum samar. “Dia mengatakan bahwa perjalanan ini bukan hanya tentang menemukan kekuatan, tetapi juga tentang memahami tanggung jawab. Dia mempercayai kita untuk melanjutkan, tetapi kita harus siap menghadapi apa pun yang ada di depan.”
Mereka bertiga melangkah keluar dari ruangan besar itu, meninggalkan naga yang kembali ke posisi semula, menjaga altar dengan setia. Jalan di depan mereka dipenuhi oleh cahaya lembut dari peta bercahaya, yang kini tampak semakin jelas menunjukkan tujuan mereka berikutnya.
---
Penutup Bab
Bab ini berakhir dengan perasaan campur aduk di antara ketiganya. Raka dan Arjuna mulai menyadari betapa besar tanggung jawab yang mereka pikul, sementara Amara merasa semakin yakin bahwa liontinnya bukan sekadar artefak biasa—itu adalah kunci untuk masa depan yang lebih besar. Di luar gua, malam mulai menyelimuti, tetapi harapan mereka tetap menyala.