“Meski kita sudah menikah, aku tidak akan pernah menyentuhmu, Mbi. Haram bagiku menyentuh wanita yang tidak mampu menjaga kesuciannya seperti kamu!” Kalimat itu Ilham ucapkan dengan tampang yang begitu keji, di malam pertama mereka.
Selain Ilham yang meragukan kesucian Arimbi walau pria itu belum pernah menyentuhnya, Ilham juga berdalih, sebelum pulang dan menikahi Arimbi, pria itu baru saja menikahi Aisyah selaku putri dari pimpinan tertinggi sekaligus pemilik pondok pesantren, Ilham bernaung. Wanita yang Ilham anggap suci dan sudah selayaknya dijadikan istri.
Arimbi tak mau terluka makin dalam. Bertahun-tahun menjadi TKW di Singapura demi membiayai kuliah sekaligus mondok Ilham agar masa depan mereka setelah menikah menjadi lebih baik, nyatanya pria itu dengan begitu mudah membuangnya. Talak dan perpisahan menjadi satu-satunya cara agar Arimbi terbebas dari Ilham, walau akibat talak itu juga, Arimbi mengalami masa-masa sulit akibat fitnah yang telanjur menyebar.
(Merupakan kisah Mas Aidan, anak Arum di novel : Pembalasan Seorang Istri yang Dianggap Sebagai Parasit Rumah Tangga)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8 : Memperjuangkan Keadilan
Arimbi memberikan beberapa bukti transferan dari bosnya yang dikirimkan ke nomor rekening Ilham, kepada mas Aidan. Demi membantu Arimbi, Mas Aidan sampai berkunjung ke rumahnya.
Bukti transferan tersebut merupakan gaji Arimbi saat dirinya masih bekerja di Singapura. Gaji yang juga langsung dikirimkan kepada Ilham. Karena dulu, Ilham juga yang mengurus setiap kiriman dari Arimbi. Termasuk semacam sisa yang harus diberikan ke ibu Warisem, masih Ilham juga yang mengurus.
Yang mengganggu fokus mas Aidan bukan sepenuhnya kasus Arimbi dan Ilham, tapi malah keadaan ibu Warisem yang memprihatinkan. Sudah jalan ke rumah Arimbi becek dan mas Aidan sampai jalan kaki setelah sebelumnya sengaja nyeker, kini di hadapkan pada ibu Warisem yang sudah tak berdaya, hati seorang Mas Aidan langsung tergores. Tega-teganya Ilham menipu Arimbi dan ibunya. Padahal alasan Arimbi bekerja di luar negeri dan membiayai Ilham yang saat itu berstatus sebagai tunangan Arimbi, ia yakini demi memberikan kehidupan lebih baik juga kepada sang ibu.
“Setidaknya kalau dapat uang dua puluh juta saja dari Ilham, lumayan banget buat bayar hutang saya ke Mas, Mas!” sergah Arimbi sangat berharap dan menjadi tugas tersendiri bagi Aidan yang akan berusaha mewujudkannya. Ada dua wanita lemah yang sangat bergantung kepadanya, pikir Aidan.
Sekitar setengah jam kemudian, bersama Arimbi, Mas Aidan mendatangi rumah Ilham. Suasana di sana sudah terbilang ramai. Tak hanya oleh para tetangga yang tampaknya sedang rewang, kebiasaan yang akan terjadi di setiap ada acara besar yang mana tetangga akan ikut membantu di sana.
Tampak tiga buah mobil yang kiranya bisa menampung delapan orang untuk setia mobilnya. Yang mana di setia mobilnya ada logo nama sebuah pondok pesantren dan Arimbi duga merupakan rombongan dari pesantren Ilham bernaung.
“Kan sebelum pulang buat menikahi saya, dia sudah nikah sama anak pimpinan tertinggi sekaligus pemilik pesantren yang dia bilang wanita suci, Mas!” ucap Arimbi. Ia curiga, wanita suci yang sudah Ilham nikahi juga sudah ada di sana.
“Politiknya dia hebat, patut diacungi jempol, tapi enggak patut dicontoh!” komentar mas Aidan yang kemudian kebingungan lantaran kakinya penuh lumpur. Namun, dengan sigap Arimbi menuntunnya menuju sumur rumah sebelah.
Sumur tersebut berupa galian menyerupai selokan besar karena keberadaannya juga di depan rumah, tapi sengaja dibenteng menggunakan anyaman daun kelapa dipadukan dengan terpal. Jika mas Aidan amati, sebagian besar warga di sana masih belum memiliki kamar mandi layak. Beberapa di antaranya tampak masih memakai sumur di luar rumah dan itu bukan sumur yang sampai disemen permanen.
Arimbi menimba air, mengisi ember di sana hingga penuh kemudian mengarahkan mas Aidan untuk cuci kaki, sebelum ia tinggalkan pergi. Karena setelah fitnah keji yang ia dapat dari Ilham, Arimbi merasa harus jauh lebih berhati-hati karena semua yang berkaitan dengannya pasti akan merasakan dampaknya.
Beres dengan acara membersihkan kaki, mereka sungguh mengunjungi kediaman rumah Ilham. Suasana di sana sangatlah ramai. Ada obrolan dan sampai menjadikan Ilham yang duduk berjejer dengan sosok bercadar, sebagai sentral kebersamaan di sana. Kebahagiaan di sana sungguh kental dengan kebahagiaan. Obrolan berbobot yang kadang disela canda dan juga beberapa dalil. Kontras dengan yang Arimbi alami. Tentunya, tetangga yang melihat kehadiran Arimbi langsung menjadikannya sebagai fokus perhatian. Semuanya kompak melongok, yang mana mas Aidan juga tak luput dari perhatian mereka. Tentu, sebagian dari mereka juga mengenal siapa mas Aidan.
Setelah berdeham, mas Aidan tak segan mengetuk pintu. Yang langsung jadi fokus perhatiannya ialah pria berambut ikal rapi, berwajah bersih dan tampak sangat berseri-seri dengan sorban putihnya. Sesekali, pria yang ia kenali sebagai Ilham itu bertukar tatapan dengan sosok bercadar hitam di sebelahnya.
“Assalamualaikum?!” tegas mas Aidan dengan gagahnya. “Bisa-bisanya dia bahagia di atas penderitaan wanita malang yang hidupnya menjadi makin susah setelah dia manfaatkan!” batinnya.
Dalam sekejap, suasana di sana menjadi hening. Namun seolah direncanakan, semuanya yang jumlahnya ada belasan orang dewasa laki-laki dan semua wanita bercadar, kompak menoleh sambil membalas salam mas Aidan.
Sebagai tuan rumah, Ilham yang belum kenal Mas Aidan sengaja berdiri kemudian menghampiri. Walau di sebelah mas Aidan ada Arimbi, Ilham yakin dirinya bisa menyelesaikan apa yang akan terjadi. Hal yang jujur saja sudah langsung membuatnya yakin masih berkaitan dengan uang Arimbi.
“Ada apa, yah, Mas?” tanya Ilham santun. Karena ia hanya akan membuka topengnya jika sedang bersama Arimbi yang baginya sudah tak berguna lagi.
“Ada banyak hal yang harus kita bahas, Mas. Perkenalkan, saya Aidan!” tegas mas Aidan sambil mengulurkan tangan kanannya.
Mendengar itu, Ilham langsung melirik tajam Arimbi. “Jika masih untuk mendengarkan drama dari wanita ini, saya benar-benar tidak ada waktu,” ucapnya, yang sekadar melirik Arimbi saja sudah tidak sudi. “Bisa dilihat, saya sedang banyak tamu!”
“Karena alasan saya ke sini memang untuk memperjuangkan nasib Mbak Arimbi, biarkan saya menjadi bagian dari tamu Mas dan membuat semuanya ikut menilai apa yang Mbak Arimbi alami. Ayo, kita sidang lagi karena sidang kemarin belum adil. Kebetulan, saya seorang pengacara dan warga sini pun sudah terbiasa saya bantu!” ucap Aidan lirih tapi sangat tegas. Tangan kanannya yang dibalas, ia biarkan terulur berusaha menyalami Ilham.
“Jika saya belum bisa meyakinkan Mas, mau tak mau saya akan meminta bantuan aparat desa lewat papah saya. Saya akan meminta bantuan Pak Kalandra yang merupakan anggota DPR kota kita, untuk ikut serta!” lanjut mas Aidan san sukses membuat wajah seorang Ilham menjadi masam.
“Ya Alloh, ... bismillah ya Alloh, lancarkan niat baik mas Aidan!” batin Arimbi yang balik menatap kesal Ilham tak lama setelah pria itu melakukannya lebih dulu.
“Bagaimana?” tanya Mas Aidan menagih, tapi yang ditagih malah bungkam. Segera ia mengeluarkan sederet bukti transfer uang yang ia dapatkan dari Arimbi.
“Urus besok saja kalau acara saya sudah beres!” yakin Ilham yang sengaja berucap lirih.
“Tidak bisa, saya maunya sekarang. Apalagi kasus ini sudah sangat merugikan.” Mas Aidan masih menatap Ilham dengan emosi yang masih bisa ditahan. “Papah saya juga seorang pengacara, dan beliau lebih senior dari saya. Jadi, andaipun Mas merasa tidak ada hitam di atas putih yang bisa dituntut, paling tidak orang waras bisa menilai. Apalagi sejauh ini, ketimbang hukuman penjara yang belum tentu jera, hukum sosial dari masyarakat jauh lebih berat. Bisa jadi, seumur hidup Mas jadi seret rezeki gara-gara masyarakat tidak terima dengan perlakuan keji Anda!” lanjut Mas Aidan lagi.
Ilham sungguh merasa ada di ujung tanduk. Ia sangat dendam pada Arimbi dan kenyataan tersebut ia wujudkan dari kedua tangannya yang refleks mengepal kencang di sisi tubuh.
Diamnya Aidan adalah emas bagi pria itu untuk memperjuangkan keadilan untuk orang-orang kecil yang lebih sering dipandang sebelah mata. Orang-orang kecil yang tak jarang juga akan dipandang lemah oleh hukum tanpa ada yang mendukung.