Di Bawah Umur Harap Minggir!
*****
Salahkah bila seorang istri memiliki gairah? Salahkah seorang istri berharap dipuaskan oleh suaminya?
Mengapa lelaki begitu egois tidak pernah memikirkan bahwa wanita juga butuh kepuasan batin?
Lina memiliki suami yang royal, puluhan juta selalu masuk ke rekening setiap bulan. Hadiah mewah dan mahal kerap didapatkan. Namun, kepuasan batin tidak pernah Lina dapatkan dari Rudi selama pernikahan.
Suaminya hanya memikirkan pekerjaan sampai membuat istrinya kesepian. Tidak pernah suaminya tahu jika istrinya terpaksa menggunakan alat mainan demi mencapai kepuasan.
Lambat laun kecurigaan muncul, Lina penasaran kenapa suaminya jarang mau berhubungan suami istri. Ditambah lagi dengan misteri pembalut yang cepat habis. Ia pernah menemukan pembalutnya ada di dalam tas Rudi.
Sebenarnya, untuk apa Rudi membawa pembalut di dalam tasnya? Apa yang salah dengan suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8: Sarapan Bersama
Pagi menjelang. Lina terbangun setelah akhirnya bisa menikmati waktu tidur yang tak panjang. Ia baru bisa terlelap setelah lewat jam dua belas malam. Bagaimana tidak, ia tahu di luar ada mantan pacarnya yang menginap di rumah.
Jam sudah menunjukkan pukul lima pagi. Lina beranjak dari tempat tidur menuju ke luar kamar. Ia melangkah ke arah ruang tamu. Trian masih ada di sana, tidur di sofa mengenakan selimut yang diberikan olehnya. Trian juga tampaknya memakai pakaian milik adiknya. Terlihat baju kerja Trian terlipat rapi di atas meja.
Lina mengembangkan senyum. Entah mengapa hatinya merasa senang. Ia beralih ke arah dapur untuk membuat sarapan.
Biasanya ia malas-malasan untuk memasak. Apalagi suaminya jarang bisa menikmati hasil masakannya. Tapi, pagi ini ia seakan memiliki alasan yang kuat untuk memasak.
Lina mengeluarkan bahan-bahan yang ada di dalam kulkasnya. Ia begitu bersemangat untuk menyajikan menu terenak. Sampai waktu tak terasa terus bergulir.
Di ruang tamu, Trian mulai terusik dengan bau masakan yang menyeruak sampai ke hidungnya. Aroma yang lezat membuatnya terbangun. Tidak pernah di rumahnya ada aroma seperti itu. Dara tidak mungkin mau memasak. Trian sampai lupa kalau sekarang ia ada di rumah Lina.
Trian menyingkirkan selimut dari tubuhnya. Ia terduduk sembari menunggu nyawanya terkumpul semua. Benar saja, ia memang ada di rumah Lina. Semalam ia menginap karena Dara belum pulang.
"Senang sekali lelaki yang menjadi suamimu."
Dara terkejut mendengar suara tiba-tiba dari arah belakangnya. Ia menoleh, ternyata Trian sudah bangun.
"Kamu sudah bangun?" tanya Lina.
"Tentu. Siapa yang tidak akan bangun kalau mencium aroma seenak ini?" puji Trian.
Lina tersenyum-senyum. "Kamu duduklah dulu. Sebentar lagi aku selesai memasak," ucapnya sembari membalik perkedel yang sedang digorengnya.
Trian menurut. Ia duduk di ruang makan. Di atas meja sudah terhidang nasi, sayur sop, dan ayam. Dari aromanya saja ia sudah yakin jika makanan itu pasti enak.
"Menu terakhir sudah siap. Ayo kita sarapan!" ajak Lina seraya membawa piring berisi perkedel yang baru digorengnya.
Lina mengambilkan nasi untuk Trian. Ia juga mengambilkan lauknya sekalian. Perlakuannya membuat Trian merasa tersanjung dan berharap pasangannya juga bisa melakukan hal seperti itu.
"Apa tidurmu semalam nyenyak?" tanya Trian di sela-sela menikmati sarapan mereka.
"Tentu. Aku langsung tidur setelah masuk kamar," ucap Lina. Ia terlalu gengsi untuk mengakui jika semalam ia tidak bisa tidur. Jantungnya berdebar-debar dan perasaannya tidak tenang karena ada Trian di rumahnya.
"Baguslah kalau begitu. Berarti keberadaanku di sini ada gunanya. Sebagai satpam!" gurau Trian.
Lina tertawa kecil dengan lelucon itu. "Sepertinya memang kamu harus mendaftar jadi satpam komplek," usulnya.
"Kalau besok-besok suamimu lembur lagi bagaimana?" tanya Trian.
Lina terdiam. Ia tidak berpikir sampai ke sana. Kompleks itu masih sepi. Artinya dia akan sendirian di rumah setiap kali Rudi lembur.
"Iya juga, sih ... Mungkin aku akan minta pindah lagi. Bisa mati ketakutan kalau ditinggal terus di kawasan sepi seperti ini," gumam Lina.
"Apa kamu mau gantian menginap di rumahku?" tanya Trian menawarkan.
"Boleh juga sih idenya. Tapi, kamu pasti akan langsung dimarahi Dara," ucap Lina.
"Hahaha ... Dara itu baik hati, tidak mungkin marah kalau tujuannya menolong tetangga," kilah Trian.
"Ya, itu kalau sekedar tetangga. Dia kan belum tau kalau kita pernah pacaran. Bisa-bisa kamu digantung kalau ketahuan ada di sini sekarang!" ujar Lina.
"Hahaha ... Apa perlu aku panggil Dara ke sini sekalian? Mobilnya sudah ada di depan rumah. Artinya dia sudah pulang," kata Trian. Setelah bangun memang Trian sempat mengintip ke arah rumahnya.
"Kamu gila, apa?" Lina melotot. Ada-ada saja ide tak masuk akal dari Trian.
"Aku hanya bercanda. Tenang saja, aku tidak sebodoh itu. Aku juga tidak mau terjadi keributan," ucap Trian menenangkan.
Lina merasa lega. "Tapi, apa Dara tidak menghubungimu? Dia pasti sudah tahu kalau kamu tidak ada di rumah." Lina kembali merasa cemas.
"Dia pasti sedang tidur. Ponselnya juga sepertinya mati. Pesan yang aku kirimkan masih centang satu."
Keduanya melanjutkan sarapan sambil berbincang-bincang akan semua hal yang menarik. Pagi mereka kali ini terasa indah dengan gurauan dan candaan yang sesekali muncul. Mereka juga mencuci piring bersama setelah sarapan.
"Kalau begitu, aku pulang dulu, ya. Terima kasih untuk sarapannya," kata Trian berpamitan.
Lina tiba-tiba memeluk Trian sampai membuat lelaki itu mematung karena terkejut.
"Aku juga berterima kasih karena kamu semalam sudah mau menginap di sini," ucap Lina. Ia lantas melepaskan kembali pelukannya.
"Iya, sama-sama, Lina. Aku pulang dulu," pamit Trian lagi.
Trian membawa pakaian miliknya lalu bergegas keluar dari rumah Lina. Ia menghela napas dalam-dalam untuk menenangkan hatinya. Jantungnya terasa berdebar-debar. Hampir saja ia khilaf ingin mencium mantan pacarnya itu.
Perlakuan lembut Lina membuat perasaan-perasaannya yang dahulu seakan kembali tumbuh. Semalam saja ia menahan diri untuk tidak macam-macam kepada wanita yang sudah bersuami itu. Tapi, pelukan Lina seakan meruntuhkan benteng yang telah dibuatnya.
Trian membuka pintu rumahnya yang sudah terbuka. Tampak Dara yang masih terkapar di sofa. Bau alkohol menyeruak. Trian geleng-geleng kepala dengan kelakuan istrinya. Kemarin pasti Dara minum-minum lagi.
"Hm, kamu sudah pulang ...."
Saat Trian hendak melangkah ke kamar, Dara sepertinya terbangun.
"Kamu dari mana?" tanya Dara yang masih terbaring di sofa. Nada bicaranya juga terdengar lemas seperti orang yang mabuk.
"Aku olah raga pagi," kilah Trian. Ia tak ingin Dara tahu dirinya baru saja pulang dari rumah dara.
"Hah! Olahraga pagi. Hahaha ... Sejak kapan kamu suka olahraga?" ledek Dara yang masih belum kuat bangun.
"Belum terlalu lama. Baru sebulan terakhir. Kamu saja yang tidak tahu karena bangunmu kesiangan," sindir Trian.
"Hahaha ... Benar juga," gumam Dara.
Trian menahan kekesalannya dengan kelakuan Dara. Ia akan mengabaikannya saja seperti biasa dan bersiap pergi ke kantor.
"Trian," panggil Dara.
Langkah kaki Trian kembali terhenti. "Apa?" tanyanya.
"Buatkan aku sarapan. Aku lapar," rengek Dara dengan nada manja.
Trian menghela napas. "Aku tidak bisa. Aku harus siap-siap ke kantor. Kenapa kamu tidak minta tolong saja kepada temanmu yang tadi mengantarmu," ucapnya kesal.
"Hm, Latisha juga tidak bisa memasak sepertiku, Sayang. Ayolah, masakkan sesuatu untukku. Nanti akan aku telepon ayah supaya tidak memarahimu karena tidak berangkat kerja," bujuk Dara.
Trian mengepalkan tangannya. Ia merasa harga dirinya sedang direndahkan hanya karena ia memang bekerja di perusahaan milik mertuanya.
"Maaf, Dara. Lebih baik kamu menelepon ayahmu untuk mengirim pelayan. Aku mau berangkat kerja!" kata Trian tegas.
Ia bergegas menuju kamar dengan langkah memburu. Perasaannya begitu kesal dengan sikap Dara barusan.